Bakti Santri untuk Negeri

Bakti Santri untuk Negeri

- in Keagamaan
5401
0

Ada sebuah kisah menarik, yang dalam dunia santri kisah ini sudah populer. Sebuah kisah tentang Abu Nawas. Suatu hari Abu Nawas dan keluarganya menahan lapar. Mau masak tapi persediaan di rumah tidak ada, mau hutang lagi di pasar tapi merasa tidak enak karena hampir seluruh pedagang sudah dihutanginya dan hutang yang kemarin belum dibayarnya. Hingga suatu malam, Abu Nawas memiliki ide dan istrinya menyetujui ide akal-akalannya itu.

Kemudian esok harinya, kampung di mana tempat tinggal Abu Nawas geger, karena istrinya mengumumkan bahwa suaminya pagi itu mati mendadak. Sontak, warga kampung, termasuk baginda Sultan Harun Al Rasyid, segera takziah ke rumah Abu Nawas. Rumah Abu Nawas penuh sesak pun tak terelakkan.

Istrinya kemudian memasang kotak besar di dalam rumahnya, karena tradisi di kampung itu setiap pelayat akan memberikan bantuan uang sebagai wujud rasa bela sungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan. Karena tumpukan uang itu sudah penuh hingga menggunung, istrinya segera mengambil sebagiannya untuk dimasukkan ke kantong yang telah disediakan, termasuk dengan uang dinar segepok dari banginda Sultan.

Langsung, tiba-tiba tubuh Abu Nawas yang telah dibalut kain kafan itu bergerak. Orang-orang yang berkerumun di rumahnya itu kaget, tapi untungnya di antara mereka ada yang berkomentar bahwa hal seperti itu adalah biasa, karena tubuhnya Abu Nawas masih hangat. Abu Nawas yang memang pura-pura meninggal dunia, tak tahan melihat perilaku istrinya yang mengambil uang di kantong secara terus menerus, ia pun bangkit dan berteriak “ampun, ampun, ampun”.

Sontak, orang-orang lari tunggang langgang karena melihat Abu Nawas yang katanya meninggal dunia itu kembali hidup dan teriak. Setelah semuanya pergi, ia segera mencekal lengan istrinya dan berkata dengan ketus, “di mana seluruh uang yang kamu simpan tadi?”. Istrinya yang memang sudah mengenal watak suaminya itu langsung menimpali “mas, sudah lama aku ingin membeli gelang, seperti ibu-ibu tetangga kita”. Abu Nawas juga dengan ketus berkata “dasar, perempuan”. Seolah tak mau kalah, istrinya pergi dan menimpalinya dengan mengatakan “dasar, orang sableng”.

Dengan narasi yang agak panjang tersebut, saya hendak mengatakan, cara berkabung masing-masing orang dan kelompok, memiliki cara yang beragam. Demikian pula yang dikabungi, motivasinya pun juga cenderung beragam. Demikian juga ekspresi yang ditujukan kaum santri terhadap apa yang dikabunginya. Beragam ekspresi dan gerakan mereka tunjukan.

Di sini, saya ingin menunjukan bahwa seorang santri itu memiliki kemampuan banyak. Mereka dapat bergaul dengan siapa saja dan dari kalangan mana saja. Sekarang terbukti, sudah banyak kaum santri yang hingga menjadi pemimpin suatu lembaga pendidikan, perusahaan, dan bahkan menjadi kepala negara. Yang terakhir ini, seperti KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa dengan Gus Dur.

Modal (dasar) itu kaum santri dapatkan tentu di bangku pesantren. Abdullah Syukri Zarkasyi (dalam Mastuhu, 1996) membagi pesantren menjadi tiga. Pertama, pondok pesantren tradisional. Tipologi pesantren yang pertama ini adalah yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistem madrasah digunakan untuk memudahkkan sistem sorogan yang dipakai dalam pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pelajaran umum.

Kedua, pondok pesantren modern. Tipologi pesantren yang kedua ini sistem, metode dan sarana-prasarana sudah seperti pendidikan modern Ketiga, perpaduan antara tradisional dan modern. Kendati memadukan di antara keduanya itu, tentu saja mengikuti prinsip al-muhafdzatu ‘ala qadimis shalih wal akhdu ‘ala jadidil ashlah (mempertahankan tradisi yang dianggap masih relevan dan menambah hal-hal baru yang lebih baik sebagai pendukung yang sudah ada). Selain kitab-kitab klasik yang diajarkan, juga diajarkan ilmu pengetahuan umum dengan cara membentuk madrasah atau sekolah.

Dengan adanya tipologi pesantren ini menunjukan bahwa dunia pesantren sudah terbuka dengan dunia modern. Kemudian jika melihat perkembangan saat ini, dapat dikatakan dalam dunia santri atau pesantren tengah mengalami “ledakan intelektual”. Banyak para pemikir di tanah air yang dulunya pernah nyantri di bangku pesantren. Mereka telah menunjukan kapabilitas dan kredibilitasnya lewat berbagai media. Dan juga di sektor strategis lainnya.

Kabar tersebut tentu sangat menggembirakan. Artinya, bakti santri kini tak dapat dianggap remeh. Bahwa bakti mereka terhadap bangsa Indonesia tak hanya ikut dalam mengusir penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan hingga titik darah penghabisan. Pada 22 Oktober 1945 para santri ikut berjuang melawan tentara NICA di bawah pimpinan Brigjen AWS Mallaby (Kompas, 1/8/2015).

Sebab itu, tanggal 22 Oktober 2016 oleh presiden Jokowi mulai ditetapkan sebagai hari santri nasional. Penetapan itu tertuang dalam Keputusan Presiden nomor 22 tahun 2015. Kini, tinggal bagaimana kaum santri memaknai peringatan itu. Apakah hanya dimaknai sebagai seremonial, ataukah terus memberikan kontribusinya terhadap kemajuan bangsa Indonesia.

Seperti Abu Nawas di atas, semoga perkabungan yang dimaksudkan tersebut hanyalah akal-akalan, agar dapat bangkit menggunakan akal beneran. Bukan untuk rebutan uang takziah, melainkan menunjukan kesungguhan yang ditunjukan dengan santri terus berbakti pada negeri ini. Ini jihad santri untuk bangsa Indonesia. Wallahu a’lam.

Facebook Comments