Buya Syafii Maarif: Mujtahid “Negara Islam” ke NKRI

Buya Syafii Maarif: Mujtahid “Negara Islam” ke NKRI

- in Narasi
5078
0

“Saya Dulu Pendukung Negara Islam”. Itulah ungkapan bernada humoris Buya Ahmad Syafii Maarif, pada saat penulis silaturahim dan ngobrol santai dengan Sang Guru Bangsa ini di Nogotirto, Yogyakarta beberapa waktu lalu. Bagi penulis, pernyataan itu tidak mengagetkan, karena pemikiran beliau pada mulanya memang begitu adanya.

Naluri “fundamentalis” dalam diri Buya Syafii Maarif memang cukup kuat, bahkan dapat disebut sebagai salah satu suporter fanatik “Negara Islam”. Seperti diungkapkan dalam Autobiografinya; “Cita-cita politikku tetap saja ingin “menaklukkan” Indonesia agar menjadi negara Islam, padahal batang usiaku ketika itu sudah di atas 40 tahun”. Pada tahun 1979 sampai-sampai mengeluarkan pernyataan yang cukup vulgar di depan Prof. Fazlur Rahman di Chicago: “Profesor Rahman, please just give me one fourth of your knowledge of Islam, I’ll convert Indonesia into an Islamic State” (Profesor Rahman, mohon limpahkan kepadaku seperempat dari ilmumu tentang Islam, saya akan mengubah Indonesia menjadi sebuah Negara Islam). Tentu Rahman geli mendengar ucapan ingusan ini, tetapi dengan sopan dijawab: “You can take all of my knowledge.” (Anda boleh ambil seluruh ilmuku). (Ahmad Syafii Maarif, 2006, h. 171-172 & 357).

Namun kini, Buya Syafii Maarif justru lebih dikenal sebagai tokoh pembela NKRI dan penentang terdepan terhadap kelompok-kelompok pengusung Negara Islam. Mantan pimpinan Muhammadiyah ini berbalik arah sampai seratus delapan puluh derajat; dari dua kutub ekstrem: fundamentalis ke pluralis-toleran, dari syariah oriented menjadi seorang pembela Pancasila dan demokrasi. Baginya, gerakan segelintir orang yang berupaya membangun kembali sistem kekhilafahan yang telah hancur di ujung era Turki Usmani adalah bentuk kesia-sian belaka.

Dengan segala kiprah akademik dan sosialnya, Buya Syafii Maarif dikenal sebagai Cendekiawan Muslim modern yang pluralis, inklusif, moderat, terbuka, dan toleran, bahkan menjadi salah seorang dari sedikit Guru Bangsa yang kita miliki hari ini, yang dalam konteks pemikiran lebih dekat ke NU, atau lebih tepatnya mirip Gus Dur dari pada pemikiran Muhammadiyah itu sendiri. Bagi sebagian lain, publik mengenalnya sebagai seorang tokoh liberal, bahkan “guru” bagi orang-orang liberal.

Memahami pemikiran tokoh kelahiran Sumpur Kudus, Sumetera Barat, pada 31 Mei 1935 ini memang cukup rumit, terutama yang berkait dengan persoalan-persoalan keislaman dan keindonesian. Sebab sikap Buya Syafii Maarif serta ijtihādnya adalah sebuah dinamika pencarian tanpa henti; dari jihad “Negara Islam” ke jihad NKRI.

Sebagai Guru Besar Ilmu Sejarah, pemikiran Buya Syafii Maarif yang tampak berubah-ubah alias tidak istiqamah sudah barang tentu buah dari hasil dialog dengan sejarah. Tanpa lelah, alumnus Universitas Chicago Amerika Serikat ini menelusuri rekam jejak sejarah kebangsaan Indonesia, bahkan tidak pernah menampakkan pesimisme, apalagi apatis dalam melihat masa depan Indonesia. Panji optimisme terus berkobar, tidak pernah padam dalam usaha mengintegrasikan keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan dalam satu nyanyian Nusantara, yaitu Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara.

Khilafah dan Teologi Maut

Sebagai orang yang pernah berada di garis depan pendukung “Negara Islam” atau “Khilafah Islamiyah”, adalah hal yang wajar jika kini Buya Syafii Maarif kembali berada di garda terdepan sebagai pengkritik terhadap kelompok-kelompok radikal penganut “teologi maut”, yang dikenal dengan jargon “hidup mulia atau mati syahid”,—yang berupaya mendirikan Khilafah Islamiyah di bumi Indonesia ini. Terlepas dari ketidaksenangan kalangan tertentu terhadap pandangan-pandangannya, Buya Syafii Maarif—meminjam istilah Azyumardi Azra adalah “solitary public intellectual”, intelektual publik yang sendirian berani bersuara di tengah membisunya banyak kalangan dalam menghadapi kelompok-kelompok radikal pengusung Khilafah Islamiyah.

Khilafah Islamiyah menurut murid Fazlur Rahman ini bukanlah produk syariah. Secara teori posisinya tidak lebih dari sekadar masalah ijtihad semata. Mantan orang nomor wahid di Muhammadiyah ini juga menolak slogan al-Islāmu huwa al-dīnu wa al-daulah (Islam adalah agama dan sekaligus negara) yang nampaknya justru telah mengaburkan hakikat yang sebenarnya dari dīn dan posisi kenabian Muhammad. Dīn (agama) menurut Buya Syafii Maarif adalah sesuatu yang immutable (abadi), sedangkan daulah adalah sesuatu yang mutable (berubah). Menempatkan daulah setarap dengan posisi dīn (Islam), itu sama artinya dengan mengagungkan negara sepertinya halnya mengagungkan dīn al-Islām. (M. Syafi’i Anwar, “Syafii Maarif, Bung Hatta, dan Deformalisasi Syariat”, h. 40).

Tata politik dan pemerintahan yang khas Islam menurut Buya Syafii Maarif tidak ditemukan di dalam al-Qur’an. Demikian juga konsep tentang pemerintahan pada masa empat al-Khulafa’u al-Rasyidūn, maupun pasca al-Khulafa’u al-Rasyidūn atau sistem politik kontemporer tidak ditemukan suatu yang khas Islam. Menurutnya, dari sisi moral, keadilan, dan egalitarianisme, memang era awal Khilafah cukup ideal untuk dijadikan acuan, sehingga wajar jika Ibn Taimiyah menyebutnya Khilafah al-Nubuwwah (Khilafah Kenabian). Namun perlu diingat, bahwa tiga khalifah pasca-Abu Bakr (632-644), wafat berkuah darah. Umar bin Khatab (634-644) dibunuh oleh non-Muslim, sementara Utsman bin Affan (644-656) dan Ali bin Abi Thalib (656-661) adalah korban political game sesama Muslim yang sangat tragis, menghebohkan, dan memalukan. (Ahmad Syafii Maarif, 2009, h. 192).

Dengan demikian, Buya Syafii Maarif berharap bahwa kelompok pengusung Khilafah Islamiyah segera sadar diri, dan mengajak umat Islam Indonesia untuk selalu bersatu mendukung NKRI dan ideologi Pancasila sebagai tujuan final yang hendak dicapai oleh umat di seluruh pelosok Tanah Air. Lebih lanjut, Buya Syafii memberikan alasan sebagai berikut: 1) negara Indonesia tidak hanya menjamin kebebasan umat Islam untuk menjalankan ajaran Islam, tetapi juga negara memberikan fasilitas, 2) konstitusi negara tidak bertentangan dengan–bahkan, hingga pada taraf-taraf tertentu merefleksikan ajaran tauhid Islam. (Ahmad Syafii Maarif, 1985, h. 110 & 144).

Karena itu, Buya Syafii Maarif mengkritik keras terhadap kelompok-kelompok yang getol berupaya mendirikan “Negara Tuhan” sembari membajak ayat-ayat Tuhan yang sakral, dan juga setiap usaha dari manapun, yang mencoba memisahkan Pancasila dari intervensi wahyu adalah ahistoris, sebab Pancasila yang dirumuskan pada tanggal 18 Agustus 1945 itu tidak sama dengan formula Pancasila yang disampaikan oleh Sukarno pada tanggal 1 Juni 1945.

Cendekiawan pengagum Mohammad Hatta ini bercita-cita membangun peta bumi pertiwi yang ramah, nyaman dan aman di satu pihak, serta tidak lagi sibuk mempersoalkan hubungan Islam dan negara, sehingga terwujud sebuah taman sari indah khas Indonesia. Bagi murid Fazlur Rahman ini, Islam Indonesia diharap dapat memberikan dasar-dasar spiritual, etis dan moral bagi pembangunan nasional, karena Islam dimengerti sebagai ruh dan spirit yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945, bahkan mencerminkan nilai-nilai Islam, seperti monoteisme, persatuan, kerakyatan, permusyawarahan, dan keadilan sosial.

Diusianya yang cukup senja, gagasan genuine dan jernih Buya Syafii Maarif mengalir jauh melampaui sekat-sekat bak air dari “Guru Bangsa” ini diharapkan menjadi secawan optimisme di tengah jibaku bangsa Indonesia yang hingga kini terus diterpa dan “diserang” oleh kelompok penganut “teologi maut” itu. Kewajiban kita sekarang adalah bagaimana mengawal dan mempertahankan benteng NKRI dan ideologi Pancasila agar tidak ambruk. Pancasila, NKRI dan demokrasi yang kokoh harus ditopang oleh nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan yang kokoh pula. Wallahu A’lam bi as-Shawab.

Facebook Comments