Semua Dituduh Kafir, Siapa yang Muslim?

Semua Dituduh Kafir, Siapa yang Muslim?

- in Narasi
9904
0

Trend baru sedang menjangkiti orang-orang beragama Islam akhir-akhir ini. Banyak yang terjangkit virus berislam secara hitam-putih. Kelompok muslim yang berpendapat bahwa hitam adalah jalah Tuhan, niscaya menyalahkan dan mengkafirkan kelompok yang memegang teguh prinsip putih. Begitu juga sebaliknya, kelompok muslim yang berpendapat bahwa putih adalah jalah Tuhan, niscaya menyalahkan dan mengkafirkan kelompok yang memegang teguh prinsip hitam. Dari kenyatan-kenyataan tersebut, timbul beberapa pertanyaan, siapakah yang benar di antara mereka? Kelompok manakah yang benar-benar kafir? Dan, kelompok manakah yang benar-benar muslim?

Siapa yang Kafir?

Istilah “kafir” selalu saja dimunculkan baik untuk kalangan internal maupun kalangan eksternal umat Islam. Untuk kalangan internal umat Islam biasanya ditujukan kepada orang-orang atau kelompok yang secara pemikiran berbeda. Adapun pada kalangan eksternal umat Islam, ditujukan kepada orang-orang yang berbeda agama.

Rasulullah SAW menyatakan bahwa siapa yang mengafirkan saudaranya dan ternyata tidak kafir maka yang menuduh itulah yang kafir. Melihat fenomena yang seperti ini dirasa masih perlu mengedepankan makna kafir yang sesungguhnya. Sekalipun secara sah dan meyakinkan bahwa mereka adalah kafir namun tidak ada alasan untuk menghukum mereka kecuali jika mereka melakukan perbuatan-perbuatan pidana.

Makna “kafir” secara etimologi, menurut al-Jaza’iri dalam tafsirnya Aysar al-Tafasir, ialah tertutup dan ingkar. Adapun menurut pengertian hukum ialah mendustakan Tuhan atau mendustakan ajaran-ajaran yang dibawa oleh para rasul-Nya baik secara totalitas ataupun secara parsial (Achyar Zein, 2017). Berdasarkan pengertian tersebut, maka istilah “kafir” berlaku di semua agama yaitu orang-orang yang tidak mengamalkan ajaran agamanya secara totalitas. Dengan demikian, istilah ini tidak hanya untuk orang-orang yang di luar Islam bahkan di dalam Islam itu sendiri masih terdapat kafir.

Kemudian makna kafir yang secara syar’i seperti yang dikemukakan oleh al-Jaza’iri di atas menunjukkan bahwa kafir memiliki nilai yang berfluktuasi. Karena itu, ada kafir yang masih sebatas parsial (pada aturan tertentu) dan ada pula kafir yang bersifat totalitas (semua ajaran). Rasulullah SAW di dalam beberapa hadisnya menyatakan siapa saja yang meninggalkan shalat dengan sengaja maka yang bersangkutan adalah kafir yang nyata. Kemudian di hadis yang lain disebutkan bahwa perbedaan antara orang-orang Mukmin dengan orang-orang kafir adalah meninggalkan shalat.

Disinilah, jelas bahwa orang Islam yang tidak menjalankan agama secara sepenuhnya, dia layak disebut kafir, meskipun tidak sepenuhnya kafir. Hal ini karena al-Qur’an dalam surat Ibrahim ayat 7 juga pernah menyebut orang yang tidak mensyukuri nikmat sebagai seorang yang kafir. Meskipun beberapa ulama lebih sepakat menyebutnya kufur daripada kafir, karena kafir identik dengan orang yang tidak mau menyembah Allah Swt.

Terlepas dari itu semua, dapat dipahami bahwa seseorang tidak layak disebut “kafir” ketika ia mampu menjalankan syari’at dan nilai-nilai agama secara sepenuhnya. Artinya, ketika agama Islam menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, maka ia yang mengaku beragama Islam juga menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Sehingga, ia benar-benar menjelma menjadi pribadi yang tidak suka meremehkan dan melecehkan orang lain. Ia menghargai hak-hak orang lain.

Siapa yang Muslim?

Secara etimologi, “islam” berarti selamat dan tunduk pasrah. Maka, orang-orang yang mengaku beragama Islam selayaknya menjadi penebar keselamatan bagi lainnya dengan selalu tunduk dan pasrah kepada Allah Swt. Dalam kondisi ini, Islam sebagai agama damai, tentu sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Tak ayal, al-Qur’an menggunakan istilah yang beragam untuk orang-orang yang di luar Islam. Istilah yang digunakan oleh al-Qur’an lebih cenderung kepada perilaku yang bersangkutan bukan berdasarkan keyakinannya.

Orang-orang yang di luar Islam kadang-kadang dipanggil oleh Alquran dengan sebutan ahlul kitab, utul kitab, saudara dan lain-lain. Panggilan yang digunakan ini memiliki nuansa kemanusiaan yang diduga dapat melahirkan rasa persaudaraan, penghormatan dan toleransi yang tinggi. Sebaliknya, Alquran juga memanggil sebagian orang dengan sebutan musyrik, kafir, fasik dan munafik. Panggilan ini lebih mengarah kepada perilaku mereka yang dapat merusak tatanan kehidupan seperti melakukan intimidasi, mengadu domba, merendahkan HAM dan lain-lain.

Dalam ajaran Islam, perbedaan keyakinan belum cukup dijadikan alasan untuk melakukan perang kecuali jika mereka memerangi terlebih dahulu (Achyar Zein, 2017). Perang inipun dilakukan pada batas kewajaran yaitu setimpal dengan yang mereka lakukan bahkan dilarang keras melakukan sesuatu yang melampaui batas. Di sini, kita dapat melihat bahwa Islam itu menduduki posisi yang aman, luhur dan mulia. Amat berkebalikan dengan kafir, fasik, ataupun munafik. Maka, selayaknya orang yang memegang agama yang luhur itu, berperilaku luhur pula. Dengan cara, tidak mencemarkan nama Islam dengan tindakan-tindakan keji dan munkar. Misalnya, menuduh seorang muslim berbeda dengan label “kafir”, sementara kita tidak mengetahui apakah memang ia benar-benar “kafir”.

Lagipula, bukankah Rasulullah pernah bersabda, bahwa ketika Beliau memohon agar tidak ada fitnah dan perbedaan di antara umatku, (tetapi) Dia tidak mengabulkannya (Shahih Muslim, 52: 2890). Inilah yang menjadi landasan, agar kita sebagai orang yang sama-sama memeluk Islam, jangan mudah melakukan klaim kebenaran dan mengkafirkan orang lain. Sebab, Al-Qur’an juga jelas menegaskan bahwa sosok itu disebut kafir bukan hanya karena berbeda pandangan keyakinan, tapi juga karena akhlaknya yang jauh dari laku terpuji. Wallahu a’lam.

Facebook Comments