Hikayat Kebohongan

Hikayat Kebohongan

- in Narasi
2098
0

DALAM khazanah pewayangan ada tiga macam jagad (loka): jagad manusia, para dewa, dan jagad jin setan peri perayangan. Dunia kita di hari ini pun juga terdiri dari tiga macam dunia: dunia nyata, maya, dan yang terakhir—untuk meminjam istilah Henri Corbin ketika mengulas Syaikh al-Akbar, Muhyiddin Ibn ‘Arabi, lepas dari konteks—dunia “imajinal.”

Sebagaimana yang lazimnya dicitrakan sebagai “lelaki,” dunia nyata adalah tempat di mana—dalam kategori lama—seseorang masih menjadi dirinya sendiri, apa adanya, sebelum publik menyesapnya. Adapun dunia maya adalah dunia “perempuan” di mana ia adalah tempat untuk mematut diri, bersolek, menjadi subjek yang dituntut, dibentuk. Dalam pandangan ini, dunia virtual semacam televisi masuk dalam kategori maya. Lantas, bagaimana dua dunia ini bersinggungan?

Siapa pun tahu IS (Islamic State), salah satu organisasi teroris internasional itu. Banyak anggotanya yang telah insyaf mengungkapkan kekecewaannya. Umumnya, mereka yang berasal dari Indonesia, selain “surga” yang dijanjikan, tergiur pula oleh duitnya. Konon, setiap kepala akan diganjar 25 juta perbulan untuk berikrarsetia kepada IS. Dan 100 juta perbulan bagi yang membawa isteri dan anak-anaknya untuk berhijrah dalam kubangan irasionalitas menjelang nubuwwah. Demikianlah IS bersolek ria di dunia maya, baik itu internet (website dan media-media sosial) maupun pesan bersuara. Mereka selalu mencitrakan dirinya sebagai orang-orang yang dekat dengan agama. Padahal, dalam kenyataannya, sangat berbanding terbalik.

Telah menjadi rahasia umum, kehidupan kelompok IS sangat jauh dari klaim dan kemasan mereka di dunia maya. Seorang wartawan Reuters yang pernah menyaru dan masuk ke sarang IS mengungkapkan bahwa mereka karib dengan alkohol dan depresi. Seorang perempuan asal Indonesia yang pernah menjadi anggotanya juga mengabarkan bagaimana mereka memperlakukan perempuan. Dan kemarin, di akhir tahun, dengan diawali pekik takbir, ratusan sufi dan anak-anak dibantai secara keji saat menunaikan ibadahnya di Mesir. Adakah yang bertanya, shalat jum’atkah mereka?

Di era kontemporer ini peran dunia maya sangatlah vital. Dan saya kira, di hari tak ada yang tak bersinggungan dengan dunia yang sudah diramalkan kemunculannya oleh film Matrix itu. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang tak akrab dengan dunia maya, misalnya, seperti yang masih banyak kita jumpai di pelosok desa?

Ada satu strategi, yang saya amati, ketika apa yang tengah viral di dunia maya disebarkan secara verbal dan parsial, khususnya kepada orang-orang yang memang tak sedang minat atau fokus ke suatu isu yang tengah viral, atau malah dilontarkan kepada orang-orang yang sama sekali tak menguasai gadget apalagi akrab dengan internet yang menyediakan segudang informasi: kalangan akar-rumput.

Konsekuensi dari lontaran-lontaran verbal secara parsial tersebut adalah terbentuknya jagad imajinal. Alhasil, ketika apa yang tengah ramai diperbincangkan di dunia maya kemudian disebarkan secara parsial lewat lontaran-lontaran verbal di dunia nyata tersebut menjadi bersilangsengkarut di imajinasi. Dan imajinasi ini pengaruhnya sangat besar. Sebab, di wilayah imajinal ini semua informasi dapat menjadi terbolak-balik, orang-orang yang tak tahu jutrung-annya secara otomatis ikut membentuk dan memberi tafsir atas isu yang sedang ramai diperbincangkan secara sekenanya. Dan hal ini berakibat pada berubahnya kenyataan, kondisi riilnya, atau paling tidak—bagi yang menyengaja—berharap demikian.

Konsekuensi overlapping triloka ini sangat tampak ketika menjelang ataupun saat perhelatan-perhelatan politik semacam pilkada atau pilpres berlangsung. Pembunuhan karakter juga dapat dipicu oleh lebih dipercayainya jagad imajinal ini daripada jagad nyata dan maya. Di samping itu, untuk konteks Indonesia, agenda akbar kaum islamis di era kontemporer untuk menegakkan daulah ataupun khilafah islamiyyah dapat pula memanfaatkan jagad imajinal ini—apalagi setelah dengan cara apapun, baik parlementer maupun extra-parlementer, dipersempit ruang-geraknya.

Barangkali di hari ini, dengan dominannya jagad imajinal dalam kehidupan kontemporer, seorang elit politik tiba-tiba gelagapan ketika ucapan ataupun sikap-sikapnya di medsos disikapi secara lain di kenyataan. Padahal, ia sama sekali tak bermaksud demikian. Populisme kanan, saya kira, juga tumbuh karena overlapping triloka ini, di mana orang-orang yang memang tak berkompeten turut ikut memberi tafsir, memoles dan mengebiri informasi, dan akhirnya membentuk realitas. Akibatnya jelas: gedrah atau chaos sosial-kultural. Siapakah yang paling diuntungkan atas fenomena ini? Untuk jangka pendek, sudah sangat jelas: kalangan yang kerap membungkus kepentingan politiknya dengan gamis agama (politik sektarian).

Hoax dan Populisme Kanan

Tak bisa dipungkiri, kita memang sedang hidup di era di mana apa-apa yang dahulu dianggap bernilai menjadi tak lagi bernilai. Banyak figur atau kelompok yang masih memiliki komitmen kebangsaan kuat dan concern terhadap pluralitas justru tak disukai—bahkan dicacimaki. Ada satu tembang yang saya kira tepat untuk melukiskan nihilisme ini. Sebagaimana Nietzsche, Ranggawarsita pun, dalam Serat Sabdajati, pernah menyingkap hijab tentang pudar dan hilangnya nilai-nilai. Di mana untuk konteks Indonesia hari ini, Pancasila dan konstitusi beserta para elitnya, entah itu elit politik, agama, budaya, maupun akademisi yang masih memiliki komitmen kebangsaan dan kebhinekaan yang kuat sudah tak ada harganya sama sekali—hilang kewibawaan.

Para jalma sajroning jaman pakewuh

Sudranira andadi

rahurune saya ndarung

keh tyas mirong murang margi

kasekten wus nora katon

(Para manusia di kala petaka

Jadi rendah yang parah

Gangguan makin mengguncang

Banyak berontak menyimpang jalan

Keluhuran tak lagi kentara)

Apakah ini, secara kebudayaan, adalah salah satu gejala posmodernitas? Saya bersikukuh, bukan. Posmodernisme, bahkan di Indonesia sekalipun telah berlalu. Senihilisnya Derrida ataupun Foucault—untuk menyebut beberapa pemikir kunci posmodern—masih memperjuangkan sesuatu, memegang sesuatu, berharap sesuatu.

Saya tetap berkesimpulan: populisme kanan adalah penyebabnya. Sebab, ketololan-ketololan yang berlangsung selama ini selalu diatasnamakan atau dilegitimasi oleh sumber-sumber agama. Argumen-argumen yang banyak beredar untuk mendukung atau mempertahankan ketololan-ketololan ini diambilkan dari sumber agama. Meskipun tampak juga ketololan mereka ketika membawa-bawa agama, namun bagi kalangan awam, hal itu dipandang—katakanlah: shahih. Jadi, sasaran mereka memang orang-orang yang sama sekali tak paham agama. Jika pun nantinya ada perbenturan, katakanlah, antara kalangan yang memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi dengan kalangan yang membawa-bawa agama—dalam hal ini “Islam”—, itu pun dilakukan oleh orang-orang yang sebenarnya tak tahu sama sekali tentang renik dan varian dalam “Islam.” Karena “Islam” sebagaimana yang saya maksud di atas, hanyalah “Islam” yang membenarkan perilaku mereka, ketololan-ketololan akut mereka.

Tentang jagad imajinal dan hoax di atas sangat nyata dan massif terjadi di kalangan akar-rumput, di wilayah pedesaan. Tapi sejatinya, populisme kanan ini tak semata menguat di Indonesia—tumbuh-kembangnya sangat tergantung oleh modal sosial-kulturalnya. Di Amerika dan sebagian Eropa, fenomena ini juga menguat. Salah satu karakteristiknya adalah adanya pendangkalan dan irasionalitas yang mendasari ideologi dan gerakan mereka.

Ideologi-ideologi “kanan”—yang lazimnya bersifat sektarian, antipluralisme, antidemokrasi dan menafikan hukum manusia atas dasar—yang mereka klaim sebagai—hukum Tuhan (sehingga berakibat pada dimimpikannya daulah ataupun khilafah islamiyyah)—memanfaatkan kondisi ini. Kalangan akar-rumput, yang memang tak akrab dengan suatu isu yang tengah viral, dilontarkan secara verbal dan parsial sifatnya. Di sinilah dunia imajinal berperan dan bekerja. Lontaran-lontaran yang bersumber dan beredar berantai dari orang-orang yang tak jelas juntru-ngannya tersebut akan membentuk narasi tersendiri di wilayah imajinal. Bahkan, yang paham juntrung-annya sekali pun terkadang bingung tentang apa dan kepada siapa lontaran-lontaran verbal tersebut sebenarnya dilontarkan. Hingga ujungnya ia sendiri merangkai narasi di imajinasinya yang sama sekali lain dengan apa yang sebenarnya ia sudah ketahui. Efeknya? Jelas, imajinasi adalah salah satu piranti manusia yang tak bisa disepelekan. Dahulu, saat revolusi mahasiswa Prancis ’68 berkobar, banyak terpampang grafiti di tembok-tembok Sorbonne. Salah satunya: “All power to the Imagination” ataupun “Imagination is seizing power.”

Hoax: Raison d’Etre Moralitas Desa

Berbicara tentang desa di hari ini sudah semestinya pula berbicara tentang UU Desa sebagai pusat orientasi pemerintahan dan kehidupan warganya. Salah satu nawacita Jokowi-JK adalah membangun Indonesia dari pinggiran. UU Desa sebenarnya sudah tegas, dipakainya Pancasila dan konstitusi sebagai satu-satunya acuan baik dalam hal mengatur pemerintahan maupun kehidupan warganya. Tapi kenapa sampai ada fenomena desa Islam—atau paling tidak, ada yang memiliki aspirasi semacam itu?

Dalam UU Desa dapat dimengerti bahwa desa di masa sekarang dapat dianalogikan sebagai sebuah negara. Maka sejauh mana azas rekognisi, salah satu azas yang membedakan konsep desa baru dan desa lama, ini berlaku?

Ada yang berupaya menyajikan atau mencitrakan bahwa desanya bercorak Islam, konsekuensinya, mereka dapat memanfaatkan azas rekognisi tersebut. Saya tak akan menyebut bahwa ada pemerintahan bayangan yang menyertai pemerintahan Jokowi-JK. Tapi sangat kental terasa bahwa yang sebenarnya sekedar norma budaya yang bersifat turun-temurun, misalnya, berupaya dibelokbelokkan atau ditafsirkan sebagai hukum Islam. Dan Islam di sini, yang saya maksudkan, bukanlah sejenis Islam yang seperti dibawakan, misalnya, KH Hasyim Asy’ari ataupun KH Wahid Hasyim yang, dalam catatan Gus Dur, menyandarkan hukum agama pada hukum nasional (“A. Wahid Hasyim, NU, dan Islam”/ www.gusdur.net). Dus, meletakkan Pancasila dan konstitusi di atas ideologi Islam. Sehingga sangat tampak bahwa jika pun di hari ini semangat Islam begitu menyalak dan mewabah bukanlah sejenis Islam yang bercorak kebangsaan di atas. Barangkali, Islam yang mewabah di hari ini, seandainya mengikuti logika salah satu nawacita Jokowi-JK untuk membangun Indonesia dari pinggiran, adalah sejenis Islam transnasional yang sudah menyaru, mengilfiltrasi khalayak ramai. Satu karakteristik mereka adalah dihembuskannya istilah abstrak “Islam” yang telah dihilangkan renik, varian, dan tipologi di dalamnya. Tapi sebenarnya, ketika ditelisik,yang mereka pakai sebagai ukuran adalah ukurannya kaum wahabi-takfiri. (AD/ART ormas-ormas keagamaan yang ditengarai radikal mencerminkan abstraksi “Islam” tersebut). Hal ini terbukti dengan karakter paham wahabi-takfiri yang bersifat literal, ekslusif, dan ilusif. Untuk berbicara tentang daerah pinggiran, yang memang prosentase intelektualnya lebih kecil di banding daerah-daerah pusat, Islam jenis ini mudah untuk merasuk. Akhirnya, populisme kanan terbentuk.

Ada satu hoax agung yang sebermulanya adalah ajaran agama yang ditafsirkan secara dangkal dan berbahaya, terus-menerus dipupuk, dijejalkan pada khalayak ramai yang kebanyakan tak terdidik: berhukum pada hukum manusia adalah kafir. Pada titik ini, apa yang sudah saya ungkap di muka soal kesengajaan melontarkan isu-isu yang tengah viral di dunia maya secara verbal dan parsial kepada khalayak awam sangat tampak merasuki bawah-sadar mereka—sampai-sampai sangat bersifat eskatologis namun bukan sebagaimana eskatologinya paham-paham keagamaan mainstream yang selama ini ada di Indonesia.

Analogi desa sebagai sebuah “negara”—sebagai konsekuensi lahirnya UU Desa dan salah satu Nawacita Jokowi-JK di atas—tak urung akan dimanfaatkan oleh kalangan islamis untuk melakukan formalisasi Islam. Agendanya jelas: lahirnya Desa Islam dengan bersembunyi di balik azas rekognisi, meluas ke tuntutan adanya perda syari’ah, dan akhirnya daulah ataupun khilafah islamiyah.

Facebook Comments