Idul Fitri Mengajarkan Guyub Rukun

Idul Fitri Mengajarkan Guyub Rukun

- in Narasi
1292
0

Bagi umat muslim, wabil khusus yang berada di Indonesia, Idul Fitri merupakan hari raya yang penuh dengan nuansa guyup rukun. Bahkan, momentum Idul Fitri seakan menjadi momentum puncak atas capaian selama satu tahun merantau di tanah kelahiran orang lain. Ketika Idul Fitri tiba, hampir setiap warga yang merantau ke daerah lain akan berbondong bondong mudik ke kampung halaman dengan membawa prestasi yang selama setahun dicarinya.

Terlepas dari besar ataupun kecilnya prestasi yang dibawa oleh para pemudik, niatan utama setiap warga pulang ke kampung halaman adalah menjalin hubungan kembali dengan sanak saudara serta tetangga yang selama beberapa saat ditinggalkan. Dalam kegiatan ini terdapat adagium Jawa yang cukup menarik, yakni “Mangan ora mangan, sing penting kumpul” (ada atau tiadanya makanan tidak menjadi persoalan, yang terpenting adalah bisa berkumpul).

Ajaran guyup rukun yang terjadi di negara Indonesia ini bukan tanpa landasan. Agama Islam mengajarkan adanya silaturahmi, menjalin persaudaraan. Bahkan, acara silaturahmi selepas Idul Fitri yang dikemas dalam bentuk “Halal bi halal” pun merupakan buah karya ulama sepuh beserta founding father bangsa Indonesia. Konon, sebab diadakannya acara halal bi halal adalah merupakan upaya KH Abdul Wahab Hasbullah beserta Presiden Soekarno dalam rangka mempersatukan para tokoh bangsa yang sedang bertikai.

Tiga tahun setelah Indonesia, tepatnya pada pertengahan bulan Ramadan, Presiden Soekarno meminta pendapat KH Abdul Wahab Hasbullah (Mbah Wahab) terkait dengan pertikaian yang terjadi pada para punggawa bangsa. Menurutnya, kenyataan semacam ini akan menjadikan bangsa Indonesia semakin terpuruk, sehingga perlu menyatukan antara satu pihak dengan yang lainnya. Mbah Wahab pun menyarankan agar diadakan silaturahmi antara satu tokoh dengan yang lainnya. Apalagi, di bulan Syawal merupakan bulan yang sangat tepat untuk meredam pertikaian antar-kelompok yang sedang bertikai.

Mendengar jawaban Mbah Wahab, Presiden Soekarno pun mengungkapkan rasa pesimis akan keberhasilan rencana ini. Hal ini terjadi karena acara silaturahmi sudah sering dilakukan di lingkungan istana juga masyarakat awam. Mbah Wahab pun membuat istilah baru, yakni “halal bi halal” sebagai wadah silaturahmi antar-kelompok punggawa bangsa yang sedang berseteru. Maksud dan tujuan istilah halal bi halal adalah menghalalkan perkara yang dianggap haram, yakni pertikaian antara satu kelompok dengan yang lainnya, dengan cara saling memaafkan. Maka, bermula dari sinilah acara halal bi halal terus dilakukan hingga akhirnya menjamur di seluruh kalangan muslim Nusantara.

Bermula dari sinilah, momentum Idul Fitri, lengkap dengan acara halal bi halal-nya merupakan saat tepat untuk membangun keguyupan bagi seluruh lapisan bangsa. Guyup rukun bukan berarti harus menyeragamkan ketika ada perbedaan antara satu orang/golongan dengan yang lainnya. Lebih dari itu, pencapaian guyup rukun dilakukan dengan cara memahami serta menghormati perbedaan antara satu orang/golongan dengan lainnya.

Al akhir, marilah kita jadikan Syawal ini sebagai bulan yang penuh dengan kelapangan dada. Mari berusaha memberikan maaf kepada siapapun, baik yang telah meminta maaf secara zahir maupun belum/tidak. Mari ciptakan jalan kedamaian bermula dari menumbuhkan benih-benih cinta kasih kepada sesama. Selanjutnya, mari kita kembangkan rasa cinta tersebut sehingga bisa berbuah dan dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita. Dengan begitu, keguyub-rukunan antara satu orang dengan yang lainnya akan tercapai. Puncaknya, kita akan mampu membangun kehidupan bersama yang penuh dengan ketenteraman dan kedamaianserta penuh dengan kasih sayang Tuhan. Jika kalimat terakhir tersebut yang terjadi, siapakah yang tidak menginginkan?

Facebook Comments