Idul Fitri: Revolusi di Jalan Sunyi untuk Rukun

Idul Fitri: Revolusi di Jalan Sunyi untuk Rukun

- in Narasi
1291
0

Kita semua sepakat bahwa momentum Idul Fitri merupakan kesempatan yang berharga bagi semua pihak untuk kembali mempererat tali persaudaraan yang renggang atau pun menjalin tali silaturahmi guna dapat saling mengenal satu dengan yang lain. Lalu apakah kemeriahan perayaan Idul Fitri selama ini hanya menjadi monopoli umat Islam semata? Tentu sebagian dari kita ada yang akan menjawabnya dengan kata tidak secara lantang. Ada pula yang terlebih dulu melihat ke belakang dengan hati-hati bagaimana relasi mereka sebagai penganut agama yang berbeda ketika Idul Fitri berlangsung tiap tahunnya. Yang terakhir adalah yang berkata bahwa kemeriahan itu merupakan monopoli umat Islam semata, karena hal itu merupakan tradisi ritual agama Islam. Secara Teologis hal ini memang sudah jelas, namun bagaimana dengan realitas di lapangan. Sebab sejak zaman dulu, ruang identitas yang ada di negara ini sebenarnya sudah sangatlah cair.

Untuk di tahun 2017 ini saja, ada sejumlah tempat yang masyarakatnya berupaya mengukuhkan sikap toleransi melalui aksi nyata mereka. Aksi nyata yang pertama adalah di Bogor. Di mana pawai takbir keliling ternyata tak hanya dihadiri oleh pemimpin daerah dan Umat Islam saja. Di tahun ini, pawai takbir keliling pun dihadiri pula oleh pemimpin agama lain yaitu dari Romo Endro Susanto, Pr dari gereja Katedral Bogor dan Guntur Santoso, tokoh masyarakat Tionghoa dari Vihara Dhanagun. Yang kedua adalah sikap yang tidak kalah terpuji yang ditunjukkan oleh Bupati Manokwari ketika membuka kemeriahan malam takbiran di Manokwari, Papua. Dalam kesempatan tersebut Pemimpin wilayah tersebut pun menyerukan agar momen tersebut digunakan untuk dapat saling meminta dan memberikan maaf satu sama lain. Yang ketiga adalah apa yang terjadi di Denpasar, Bali. Tepatnya di kampung Kepaon, terdapat sejumlah pemuda yang merupakan umat Hindu yang juga turut serta dalam mengiringi umat Islam yang berkeliling kampung untuk melakukan takbiran dengan alat musik khas Bali .

Ketiga cuplikan informasi di atas adalah secuil kejadian yang terjadi pada tahun 2017 ini saja. Bila kita berupaya sedikit saja melacak ke belakang lagi mengenai sikap umat agama lain ketika perayaan Idul Fitri dan menjelang perayaan tersebut, maka yakinlah bahwa semakin banyak hal yang akan kita temukan. Salah satunya adalah saling bersilaturahmi dan saling mengunjungi keluarga, kerabat maupun tetangga yang merayakan perayaan Idul Fitri meskipun memiliki keyakinan yang berbeda. Sampai di sini saja, jelas terlalu angkuh bila kita yang merupakan masyarakat Indonesia masih juga melantangkan pernyataan bahwa kemeriahan perayaan Idul Fitri hanya menjadi monopoli bagi Umat Islam an sich. Sebab baik disadari atau pun tidak, peristiwa Idul Fitri sudah menjadi agenda dan bagian dari bangsa ini. Di mana, ruang interaksi untuk saling memaafkan dan bersilaturahmi menjadi hal yang dilakukan oleh semua pihak tanpa memandang identitasnya. Segala macam media pun digunakan untuk dapat menyampaikan hal tersebut.

Mestinya dengan semua hal-hal seperti di atas, kondisi negara kita sewajarnya jauh dari persoalan identitas dan rasisme. Hanya saja kenyataannya, hal tersebut masih menjadi persoalan. Hal ini terjadi karena masih adanya gagasan-gagasan yang kerap dihembuskan sejumlah pihak kecil namun kerap menghiasi panggung media dengan seruan-seruan yang bernuansa chauvinisme.

Sebuah Revolusi di jalan Sunyi

Dalam upaya memperbaiki keadaan yang ada, jelas dibutuhkan sebuah dorongan dari dalam untuk menumbuhkan cinta kasih terhadap sesama. Hal ini tidaklah cukup diselesaikan hanya dengan teriakan stop perlakuan diskriminatif, stop sikap chauvinis, persekusi dan mengkafirkan pihak lain. Salah satu bentuk perubahan yang penting untuk dilakukan adalah sebuah bentuk revolusi di jalan sunyi. Revolusi ini bermakna sebagai sebuah perubahan yang dilakukan secara mendalam namun berorientasi secara personal. Tujuannya adalah untuk mengubah paradigma-paradigma chauvinis dan radikal yang hadir belakangan ini hadir. Bentuk nyata dari gagasan ini adalah dengan kembali menyelami makna penting dari Idul Fitri.

Salah satu nilai yang kerap kita dengar, namun tidak jarang kita abaikan ketika bulan Ramadan dan momen Idul Fitri tiba adalah memperkuat tali silaturahmi antar sesama manusia. Kita sering kali larut dalam kebahagiaan dan keriuhan yang tercipta dalam keluarga (satu identitas kegamaan) kita. Tak jarang hal ini membuat kita melupakan orang-orang di sekeliling kita yang berbeda agama. Padahal dalam Islam sendiri pun diajarkan konsep persaudaraan yang tidak hanya berhenti pada persaudaraan antar sesama muslim (ukhuwah islamiyah) saja. Persaudaraan antar yang berbeda agama pun diajarkan, yaitu dalam ide Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Insaniyah. Dari sini seyogyanya semua umat Islam di Indonesia bisa melihat bahwa sangat penting adanya untuk tidak berhenti pada satu nilai saja. Semua pihak wajib mengamalkan dan memperjuangkan 2 nilai yang lainnya, yang acap kali terabaikan atau bahkan dengan sengaja diabaikan.

Seperti halnya memahami Pancasila, tidaklah berhenti hanya pada sila pertama saja. Ada keempat sila lainnya yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Sehingga bila kita mengembalikan semangat Idul Fitri yang ada dengan melakukan sebuah bentuk revolusi di jalan sunyi dengan cara refleksi dan kontempelasi relasi kita dengan semua individu, maka kita perlahan mencoba menanamkan kerukunan pada kebhinekaan NKRI dalam fikiran kita semua.

Facebook Comments