Indonesia Tanpa Khilafah

Indonesia Tanpa Khilafah

- in Narasi
1250
0

Berbicara tentang agama dalam diskursus tentang politik, tentu akan menempatkan kita pada luasnya literatur yang telah mengulas akan hal ini. Namun bila kita mempersempitnya pada locus tentang negara kita, maka mayoritas perdebatan banyak didominasi tentang bagaimana Islam sebagai agama mayoritas memberikan pengaruhnya pada negara ini. Sehingga bila kita mengikuti dinamika isu yang ada, maka isu mengenai pembentukan Khilafah merupakan salah satu isu yang beberapa kali didengungkan terutama oleh kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir, kelompok Ikhwanul Muslimin dan yang lainnya(ed. Wahid, 2009).

Secara singkat, gaya perpolitikan yang terbentuk dalam corak pemerintahan khilafah memiliki penekanan kuat pada kekuatan sosok seorang pemimpin yang memerintah. Jelas, sistem monarki merupakan manifestasi yang pas untuk pemerintahan model ini. Dengan memberi penekanan bahwa konsep pemerintahan yang teosentris harus diwujudkan, maka pemimpin atau khalifah yang memperoleh amanah mendapatkan tugas dan wewenang untuk mengantarkan masyarakat yang dipimpinnya untuk dapat memperoleh keberkahan duniawi dan ukhrawi.

Proyek Penciptaan Delusi

Persoalan muncul tatkala hal tersebut coba untuk diterapkan. Dalam konteks negara Indonesia, pemunculan narasi-narasi mengenai keadaan masyarakat yang sangat jauh dari kemakmuran, adanya musuh bersama yang harus dilawan, amplifikasi persatuan umat Islam, serta penciptaan narasi mengenai bagaimana keislaman yang kaffah (asli) menjadi hal-hal yang terus disuarakan oleh para pentolan dan anggota kelompok-kelompok semacam itu. Hal ini bertujuan untuk memoderasi cara pandang masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam guna memperjuangkan konsep khilafah tersebut. Fondasi ide-ide tadi semakin diperkokoh dengan penyebarluasan keadaan yang sangat memprihatinkan dari masyarakat Muslim yang ada di luar negri. Lagi-lagi tujuannya hanya untuk terus mengobarkan api semangat kebersatuan umat Islam.

Kekokohan legitimasi NKRI yang terus dirongrong dari dalam oleh politik sektarian semacam ini tidak akan mereka khawatirkan. Justru bila hal tersebut bisa segera terjadi maka langkah mereka akan lebih mudah untuk merebut pemerintahan.(ed. Wahid, 2009) Paradigma ini dibangun berdasarkan pada keyakinan bahwa masyarakat muslim dunia pun menginginkan hal ini untuk terwujud. Dalam kacamata Benedict Anderson apa yang terjadi tersebut merupakan sejumlah bentuk manifestasi dari imagined community (Anderson, 2001, 8-9) Pihak yang menjadi targetnya kebanyakan adalah para kaum muslim urban yang kurang memiliki waktu untuk belajar secara mendetail tentang ajaran agama Islam yang rahmatan lil’alamin.

Persoalan berikutnya adalah ahistorisnya masyarakat kita terhadap kenyataan tentang sistem Khilafah. Sejak 3 Maret 1924, tidak pernah ada lagi sistem kekhalifahan yang mampu berdiri untuk menghimpun semua umat Islam yang ada. Sejarah mencatat bahwa kekhalifahan Ustmaniyah, Turki merupakan sistem kekhalifahan terakhir yang mampu berdiri. Gambaran ini jelas menyatakan bahwa pada akhirnya sistem kekhalifahan yang selama ini disuarakan tidak mampu menarik persatuan umat Islam seluruh dunia. Dengan kata lain, yang ada hanyalah sebuah delusi tentang kebersatuan seluruh umat Islam dalam sebuah tatanan kehidupan. Sementara konsep sebuah bangsa yang memiliki tatanan pemerintahan yang memiliki legitimasi menuntut adanya sebuah kedaulatan. Tanpa hal ini, sampai kapan pun semua gagasan tersebut hanya menjadi sebuah pepesan kosong.

Kontempelasi Ajaran Gus Dur

Berangkat dari itu semua, satu hal yang harus kita sepakati bersama adalah penciptaan wacana Khilafah hanya bertujuan untuk mencerai-beraikan negara ini. Jelas tidak ada tempat untuk hal itu di negara ini. Untuk mengatasi persoalan kompleks tersebut agaknya kita perlu mengingat kembali setiap ajaran seorang Gus Dur, Guru Bangsa yang dimiliki negeri ini. Lewat pemikirannya yang melampaui zamannya, ia telah mengingatkan kita akan potensi kekayaan sekaligus bahaya yang dimilikinya, yaitu keberagaman negeri ini. Gagasannya tentang “…melestarikan keutuhan NKRI, Pancasila, UUD 1945, menegakkan warisan luhur tradisi, budaya dan spiritualitas bangsa Indonesia…”(ed. Wahid, 2009) menjadi hal yang terus disuarakannya hingga akhir hayat.

Keberaniannya untuk mengambil sikap berdiri bukan hanya sebagai ulama perwakilan agama Islam namun juga sebagai seorang ulama bangsa yang mengajarkan kenegarawanan, membuat kita masih menjadi Indonesia hingga saat ini. Kepeduliannya yang besar terhadap keberagaman dan kemanusiaan, menjadikan sosok Gus Dur bukan lagi hanya milik umat Islam saja, melainkan Indonesia dan seluruh umat manusia. Dengan mengkaji ulang setiap pemikiran tentang kemanusiaan dan NKRI seorang Gus Dur tentu akan mengajarkan kita bahwa Indonesia adalah Indonesia, Indonesia bukan negara Islam atau pun khilafah. Indonesia adalah Pancasila.

Facebook Comments