Islam Substansial Yes, Islam Formal No!

Islam Substansial Yes, Islam Formal No!

- in Narasi
2223
0

Indonesia adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim, tetapi tidak menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Apakah ini salah? Tidak. Justru inilah khas dan keunikan bangsa kita. Mengapa demikian? Sebab bangsa kita dihuni tidak hanya oleh satu umat, dan meski umat muslim menjadi mayoritas, juga terbagi ke dalam berbagai kelompok, aliran, dan organisasi.

Sejarah perumusan hingga pengesahan Pancasila sebagai ideologi negara sesungguhnya memberikan pelajaran berharga, bahwa founding fathers telah mempertimbangkan realitas keindonesian yang mempunyai banyak perbedaan suku, agama, dan bahasa lokal, namun dapat disatukan oleh kebersamaan dan semangat persatuan lewat semboyan Bhineka Tunggal Ika. Implementasi ajaran Islam dalam ketatanegaraan, dengan demikian, lebih mengutamakan substantif daripada formil, atau dalam istilah lain disebut, Islam substansial yes, Islam formal no!

Karena itu, relasi agama dan negara/politik dalam konteks negara Indonesia, jika ditinjau dari tiga paradigma yang lazim dikemukakan oleh sejumlah pemikir, lebih tepat masuk pada kategori simbiosis-mutualitis, yaitu hubungan yang saling membutuhkan, terjadi dialog dan kerja sama antar keduanya. Menurut pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik. Hal ini hanya dapat terlaksana jika ada lembaga yang bernama negara, tetapi tidak dalam bentuk formal. Sebaliknya, negara tanpa agama, akan terjadi kekacauan dan perilaku amoral dalam negara.

Sedangkan dua paradigma lain sangat jauh dan terlihat ekstrim. Pertama, Paradigma integralistik, yang mengandaikan hubungan agama dan negara sebagai satu kesatuan, yang tidak boleh dipisahkan. Negara dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Teori ini disebut juga dengan paham teokrasi.

Indonesia jelas tidak bisa dikatakan negara teokrasi atau berparadigma integralistik. Sebab pemilihan presiden, misalnya, dilakukan secara demokratis, bukan berdasarkan trah keturunan warisan keluarga, sebagaimana pengalaman pada masa kepemimpinan kerajaan atau dinasti/khilafah Islamiyah. Begitu pula, kebijakan negara, menjadi keputusan integral dengan fatwa agama, seperti kewajiban nasional membayar zakat, dan jika ada yang melanggarnya akan dikenai sanksi pidana. Bukankah di Indonesia tidak sampai demikian?

Kedua, paradigma sekularistik, yaitu tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dan agama. Dalam paham ini, negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan duniawi, sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Pandangan ini juga tidak punya relevansi dengan kehidupan riil masyarakat Indonesia.

Bukan sekularistik dan integralistik

Jika Indonesia menganut paradigma sekularistik, mestinya tidak ada Kementerian Agama yang ikut teribat aktif dalam urusan agama. Seorang yang hendak menunaikan haji, misalnya, ia harus mengurus sendiri atau dibantu oleh ormas Islam, agen travel, atau lembaga yang sama sekali tidak punya keterkaitan dengan negara. Nyatanya, persiapan menunaikan haji, di Indonesia melibatkan Kementerian Agama dan juga Kementerian Luar Negeri, dan bahkan presiden langsung untuk melakukan lobi soal quota jamaah Indonesia, penginapan, kolter pemberangkatan, dan lain sebagainya.

Berdasarkan tipologi di atas, maka dapat dimengerti pernyataan Presiden Joko Widodo tentang wacana perlunya memisahkan urusan agama dan politik agar tidak dicampuraduk, tetap dalam koridor paradigma simbiosis-mutualistis. Presiden pasti sadar dan tahu konsekuensi yang sangat sulit—untuk tidak mengatakan mustahil—Indonesia yang mayoritas Islam, hendak menerapkan kehidupan sekularistik sebagaimana pengalaman negara-negara di Barat.

Sebaliknya, justru dikhawatirkan adalah desakan dari sebagian kalangan, terutama kalangan ormas Islam tertentu yang menginginkan pola integralistik. Dalam hal ini, pernyataan Presiden Joko Widodo bisa ditafsirkan hendak menyasar kelompok tersebut, yang momentumnya lewat kriminalisasi Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.

Memang tidak ada yang kebal hukum, termasuk kasus penistaan agama yang menimpa Ahok. Namun jika diamati dari sejak awal kasus ini bergulir, sangat bermuatan politis agar Ahok terlempar dari bursa pencalonan gubernur Jakarta. Kelompok-kelompok yang anti-Pancasila berkolaborasi dengan partai tertentu memuluskan niat jahatnya dengan cara memanfaatkan fatwa MUI, lalu memobilisasi massa melakukan demo berjilid-jilid, hingga pada statemen-statemen provokatif yang berujung makar, dan seterusnya.

Pilkada Jakarta kali ini telah memberikan panggung megah bagi kelompok-kelompok Islam berhaluan syariah, tetapi dengan fakta itu pula, kita dapat mengetahui dengan terang, siapa pengkhianat bangsa dan siapa yang secara tulus hendak berkontribusi positif untuk bangsa tanpa harus merombak ideologi negara. Pantaskah kita melupakan dan mengkhianati kontribusi founding fathers yang dengan perjuangan jiwa dan raga telah melahirkan bangsa merdeka, Indonesia?

Hanya anak durhaka yang melupakan jasa orangtuanya—sebagaimana dengan individu dan atau kelompok tertentu yang anti-Pancasila.

Facebook Comments