Kalimah Sawa’ : Meretas Perdamaian, Menuai Rahmat Kebangsaan

Kalimah Sawa’ : Meretas Perdamaian, Menuai Rahmat Kebangsaan

- in Narasi
1460
0

”Katakanlah! Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang sama, yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita pesekutukan Dia dengan sesuatu pun. Dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka ’saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)’”

(QS. Ali Imran: 64)

Dalam literatur sejarah disebutkan, bahwa perjumpaan antar agama di negeri ini pada awalnya relatif ’damai’ dan tak ada ketegangan. Penyebaran Islam di bumi pertiwi dilakukan tanpa agresi dan penyerangan terhadap kelompok agama lain. Agama Islam mendapat tempat di hati masyarakat non muslim (Hindu-Budha) justru karena karakternya yang damai, melalui jalur perniagaan, pertalian keluarga dan teladan moralitas yang mulia (al-akhlaq al-karimah).

Pergumulan kemudian menjadi lebih rumit, kompleks, dan keras ketika perjumpaan dan hubungan antar agama bertaut dengan dimensi politik dan kekuasaan. Truth claim (klaim benar sendiri) yang dibungkus kehendak untuk mendominasi dan menguasai menjadi akar permasalahan yang memperuncing perbedaan dan akhirnya memantik ketegangan, pertikaian dan kekerasan ”atas nama agama”.

Padahal, sebenarnya teologi Islam sangat mengapresiasi eksistensi umat lain di luar Islam. Al-Quran menyebut umat dua agama samawi pendahulunya, Yahudi dan Kristen dengan sebutan Ahli Kitab yang diikat dengan persamaan komitmen tauhid tentang keesaan Allah SWT. Predikat ‘Ahli Kitab’ memberikan kedudukan kurang lebih setara antara muslim dan non muslim. Rasulullah sendiri hidup berdampingan dengan umat lain dengan membuat aturan bersama yang bernama Piagam Madinah. Piagam Madinah merupakan perjanjian antara umat Islam dan Umat non muslim untuk saling menghargai, tidak saling menyerang, dan hidup berdampingan dalam perdamaian.

Kalaupun ada konsep Jizyah (semacam retribusi yang dibebankan kepada umat non Islam), itu merupakan kewajiban warga Madinah untuk berkontribusi kepada negara. Kaum non muslim yang membayar Jizyah tidak dikenakan kewajiban zakat, sedangkan kaum muslim diharuskan membayar zakat. Dengan demikian, masing-masing umat mempunyai kewajiban kepada negara. Perbedaan istilah diberlakukan untuk mengidentifikasi masing-masing identitas. Rasulullah memberi pesan moral bahwa perbedaan tidak perlu dihindari, melainkan harus dirayakan.

Konflik dan pertikaian yang terjadi dengan mengatasnamakan agama merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai masing-masing agama. Jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya tidak ada konflik yang didasarkan atas keyakinan beragama. Pertikaian dan konflik lebih banyak disebabkan oleh persolan sepeleh dan bersifat personal. Konflik menjadi meluas dan ganas ketika sentimen keagamaan “dipaksa” untuk terlibat dalam konflik itu.

Untuk menciptakan kerukunan, peran tokoh agama sangat signifikan dalam mengarahkan keberagamaan umat, dan itu harus dimulai dari metode atau strategi dakwah. Tokoh agama dituntut memerankan fungsi agama untuk kemaslahatan manusia. Sejatinya mereka mengembangkan interpretasi (tafsir) yang memiliki semangat perdamaian dan kerukunan antarumat beragama. Pengembangan interpretasi semacam ini, diyakini mampu mencerahkan keberagamaan umat, sehingga ajaran ketuhanan menjadi fungsional, bahkan mampu menciptakan kedamaian, keadilan, toleransi, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya dalam kehidupan bemasyarakat dan berbangsa (Tarmizi Taher, 2004).

Perdamaian dan kedamaian dalam sistem kehidupan sosial menjadi bagian vital dari agama Islam. Kemajuan peradaban Islam yang berkibar pada periode Abbasiyah adalah sintesis hubungan yang harmonis antara Islam dan non Islam. Pun demikian dalam menegakkan bangsa ini, hubungan yang dialegtis nan mesra antara Islam dengan agama-agama lain mampu menjadikan bangsa ini berdiri tegak.

Konflik, kekerasan, dan aksi terorisme dengan mengatasnamakan agama selalu dimulai dengan keakuan, fanatisme buta, dan merasa benar sendiri (truth claim). Kekerasan sikap bahwa keyakinannya, atau bahkan kelompoknya saja yang paling benar dan paling selamat memantik pemahaman untuk menegasikan kelompok dan keyakinan yang lain. Padahal, prinsip dasar Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw adalah pembenahan karakter dan keberadaban umat manusia.

Innama bu’itstu liutammima sholiha al-akhlaq, sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan karakter yang baik,” demikian sabda Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Hal demikian diafirmasikan oleh Al-Quran, Surat Al-Qalam:4, “Wa innaka la ‘ala khuluqin ‘adhim. Dan sungguh engkau mempunyai karakter yang agung.”

Selaras dengan hal demikian, hendaknya dipahami bahwa eksistensi Islam sebagai sebuah agama adalah untuk membentuk tatanan kehidupan yang damai, penuh kerukunan, dan harmonis. Islam diturunkan ke muka bumi sebagai panduan agar manusia dapat menjalani fungsi utamanya sebagai khalifatullah fil ‘ardh, wakil Allah untuk memakmurkan bumi dan menjaga kedamaiannya dengan menjauhi perilaku merusak di muka bumi (ifsad fil ardh) dan menghindari potensi konflik dan saling menegasikan antara sesama umat manusia (safk al-dima’).

Tugas kekhalifahan manusia adalah mengusahakan sebaik-baiknya untuk memastikan kehidupan berjalan dengan penuh kedamaian dan menjauhi kekerasan. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan berikutnya. Tidak ada rumus yang mengatakan bahwa perdamaian dilahirkan dengan mengangkat senjata, melancarkan teror dan agresi kekerasan. Islam sesungguhnya bermakna damai. Maka, kedamaian hanya bisa ditegakkan dengan meninggikan Islam sebagai agama perdamaian.

Facebook Comments