Kasih Sayang Penduduk Langit

Kasih Sayang Penduduk Langit

- in Narasi
2257
0

Setelah wafatnya, Sufi Besar Abu Bakar al-Syibli (w. 334 H) hadir dalam mimpi sahabatnya. Dalam mimpi itu, al-Syibli yang dijuluki majnun atau Si Gila, ditanya perihal kehidupannya setelah meninggal. Ia lalu menuturkan dialognya dengan Allah SWT.

“Wahai Abu Bakar al-Syibli, tahukah engkau, atas dasar apa Aku mengampuni dosa-dosamu?” tanya Allah SWT.

“Karena kesalehan amalku,” jawabnya.

“Bukan!”

“Karena ketulusan ibadahku.”

“Bukan!”

“Karena hajiku, puasaku dan shalatku.”

“Bukan!”

“Karena hijrahku bersama orang-orang saleh dan karena pencarian ilmu yang aku jalani”.

“Bukan!”

al-Syibli pun gamang. Ia telah berusaha menjawab atas dasar apa Allah SWT mengampuninya. Namun segala amalan terbaik yang telah dipersembahkannya, ternyata tidak menyebabkannya diampuni. Dalam penasarannya, ia mengiba untuk mendapatkan jawaban dari-Nya.

“Tuhanku, lantas karena apa?”

“Ingatkah engkau, tatkala tengah berjalan di pedusunan Baghdad, engkau mendapati seekor kucing kecil yang lemah karena kedinginan. Ia meringkuk saking dinginnya. Lantas engkau menaruhnya di kantong, karena kasih sayangmu untuk melindunginya.”

“Benar, wahai Tuhanku.”

Bi rahmatika li tilka al-hirrah rahimtuka/Karena belas kasihmu pada kucing kecil itulah, Aku mengasihimu.”

Kisah yang menggetarkan iman ini tercantum dalam Kitab Syarah Nashaih al-‘Ibad (h. 8), karya Syeikh Nawawi al-Jawi. Kisah serupa terjadi pada Imam Muhammad al-Ghazali (w. 505 H) dengan lalatnya, yang juga diterangkan dalam kitab yang sama. Jalur transmisi kisah-kisah ini sangat spiritual, yang karenanya tidak bisa diukur secara akademik. Itu sebabnya, kebenaran kisah-kisah ini masih membuka ruang diskusi. Tak heran, jika sebagian menolak dan sebagian lain menerima, bahkan mengaguminya sebagai teladan luhur.

Saya sendiri tidak terlalu hirau benar tidaknya kisah ini, karena tidak menyangkut persoalan akidah atau ibadah mahdhah. Saya lebih memilih tenggelam untuk merenungi makna luhur yang terselip di baliknya, ketimbang sibuk mendiskusikan statusnya, untuk kemudian saya amalkan dalam keseharian. Toh, yang jelas, kisah itu dicatat oleh Syeikh Nawawi, ulama Nusantara asal Tanara Banten yang representatif dan diakui keagungannya oleh kalangan muslim baik di dalam maupun luar negeri. Jika beliau saja menerimanya, kenapa saya yang hina dan dangkal keilmuannya ini menolaknya?

Itulah kisah sayang Abu Bakar al-Syibli pada makhluk Allah Swt bernama kucing (hirrah). Dalam kisah yang lain, seseorang yang mengurung kucing dan tidak memberinya makanan diganjar neraka oleh Allah Swt. Dalam kisah yang lain lagi, karena anjing yang kehausan dan seorang pelacur tergerak menolongnya, maka ia diganjar surga. Kisah-kisah ini diceritakan oleh Nabi Muhammad dalam beberapa Hadisnya.

Kepedulian atau ketidakpedulian kita pada makhluk Allah SWT di atas bumi ini, akan berdampak pada kasih sayang atau murka Allah Swt. Kerahmatan kita padanya menghadirkan kasih sayang-Nya. Sebaliknya, ketidakpedulian kita padanya akan menghadirkan murka-Nya. Dampaknya bisa jauh hingga ke akhirat: surga atau neraka. Maknanya, tindak tanduk kita sebagai muslim sejati sudah semestinya dikedepankan. Bahkan yang membuat Allah Swt menyayangi Abu Bakar al-Syibli, nyatanya bukan karena ibadah-ritual yang dijalaninya, melainkan karena kepeduliannya pada makhluk lemah bernama kucing.

Kisah Abu Bakar al-Syibli, Imam al-Ghazali, juga pelacur yang peduli pada makhluk-makhluk lemah itu sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal dalam karyanya, Musnad Ahmad bin Hanbal. Beliau bersabda: “al-Rahimuna yarhamuhum al-Rahman. Irhamu man fi al-ardhi yarhamkum man fi al-sama/Orang-orang yang menyayangi akan disayangi Tuhan Yang Maha Penyayang. Sayangilah penduduk bumi, maka kalian akan disayangi penduduk langit.

Siapapun yang peduli dan sayang pada makhluk di bumi ini, maka penduduk langit akan menyayanginya. Kasih sayang penduduk langit ini sudah semestinya menjadi perhatian seluruh penduduk bumi, karena kasih sayang inilah sejati-sejatinya kasih sayang. Dengan menyayangi makhluk Allah Swt berupa hewan, maka penyayangnya akan dihormati oleh Allah Swt. Apalagi menyayangi manusia, makhluk yang paling dimuliakan oleh Penciptanya. Sebaliknya, tidak peduli dan menghinakan manusia, berarti akan menyebabkan kasih sayang Allah Swt dan penduduk langit tidak akan pernah didapatkan.

Yang juga penting dicatat, keterangan Rasulullah Saw dalam riwayat Ahmad bin Hanbal di atas cakupannya sangat luas. Tidak terbatas kasih sayang pada kaum muslim atau yang segelongan, namun pada seluruh jenis makhluk dari berbagai latar belakangnya, baik agama, suku, bahasa, budaya maupun selainnya. Karena itu, jika diantara kita lebih gemar saling menyakiti dan tidak memedulikan satu sama lain, atau tidak menghargai pada perbedaan, maka berarti kita abai pada ajaran luhur Islam ini.

Nyatanya, betapa banyak di antara kita yang tega menyakiti, baik fisik maupun psikis, saudara muslim kita sendiri karena perbedaan latar belakang mazhab fikih atau akidahnya. Sebagian kita juga tak sungkan dan tak canggung membunuh saudaranya yang lain, yang juga mengucapkan kalimah syahadat yang sama. Dengan mereka yang berbeda keyakinan, sebagian dari kita juga acap menampakkan wajah laknatnya, bukan wajah rahmatnya. Inilah ironi keberagamaan sebagian kita, yang tidak lagi berjalan di rel utama keislaman yang rahmah li al-‘alamin. Man lam yarham la yurham. Siapa tidak menyayangi, maka ia tidak layak disayangi. Yuk, kita curi perhatian dan kasih sayang penduduk langit dengan menebarkan kasih sayang pada seluruh makhluk-Nya tanpa kecuali.

Facebook Comments