Kebhinekaan dan Toleransi sebagai Pondasi Indonesia Raya

Kebhinekaan dan Toleransi sebagai Pondasi Indonesia Raya

- in Narasi
1749
0

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat, ayat 13)

Ayat ini sangat penting menjadi refleksi hari lahir BNPT ke-7. Tantangan berat ihwal kebhinekaan akhir-akhir ini mengalami pergolakan yang serius, karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mulai mempermasalahkan keanekaragaman yang melekat dalam diri bangsa ini. Cemooh dan ujaran kebencian terkait perbedaan aliran, suku, dan agama makin sering muncul di permukaan, sehingga mengganggu persatuan dan kesatuan yang sudah terajut begitu harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

QS al-Hujurat ayat 13 menjadi jawaban bahwa keanekagarama memang sudah hukum alam (sunnatullah). Ayat ini turun karena ada sekelompok umat Islam yang menghina Bilal bin Rabah, ahli adzan jaman Nabi, ketika mengumandangkan azan. Bilal dihina karena berkulit hitam seperti gagak hitam. Karena penghinaan itu, turunlah ayat ini yang begitu tegas menyatakan bahwa yang terbaik di sisi Allah bukanlah warna fisik manusia, melainkan tingkat ketakwaan manusia kepada-Nya. Bilal yang begitu hitam memang sudah pemberian terbaik dari Allah, dan itu sama sekali tidak mengurangi derajat keluhurannya. Ukuran fisik tak ada pengaruh sedikitpun dengan kehormatan dan martabat manusia.

Kebhinekaan memang sudah melekat kuat dalam jati diri bangsa ini. Sejak negara ini berdiri, para pendiri bangsa sudah sadar betul bahwa wajah anak bangsa ini sangat beragam. Tidak boleh ada dominasi dan paksaan satu kelompok kepada yang lain. Semua setara sebagai warga negara. Di depan hukum, latar belakang agama dan suku tidak ada hubungannya. Di depan hukum negara, semua sama dan setara. Semua dijamin oleh UUD 1945. Pancasila juga sudah menegaskan bahwa semua mendapatkan keadilan secara menyeluruh, tanpa pilih kasih. Negara ini milik semua, dan harus diperjuangkan oleh semua.

Spirit inilah yang menjadikan Gus Dur semasa hidupnya selalu berjuang membela manusia, apapun suku dan agamanya. Kegigihan Gus Dur membela kemanusiaan ini, menurut KH Mustofa Bisri (Gus Mus), karena Gus Dur memang mencintai manusia. Pembelaan Gus Dur itu manifestasi cintanya kepada sesame tanpa melihat latarbelakang apapun. Karenanya, tidak salah kalau peringatan haul wafatnya diperingati semuanya, bukan saja kaum nahdliyyin dan umat Islam semata. Gus Dur mencintai, maka Gus Dur juga dicintai. Cinta yang dilandasi hakekat ketuhanan dan kemanusiaan, bukan cinta untuk kepentingan politik dan untuk dikagumi.

Menurut KH Husein Muhammad (2011), akar pemikiran dan gerak Gus Dur tak bisa dilepaskan dari basis spiritualitas yang melekat dalam diri Gus Dur. Karena itu, Gus Dur adalah seorang yang selalu berkehendak hidupnya diabadikan sepenuhnya bagi manusia dan kemanusiaan. Ia tak memikirkan dirinya sendiri. Ia memiliki sumber inspirasi bagi gagasan ini sebagaimana para sufi memilikinya. Di atas landasan spiritualitas inilah, bagi Kiai Husein, Gus Dur berpikir, bergerak, dan bertindak. Ia selalu ingin agar manusia dihargai dan dihormati sebagaimana Tuhan menghormatinya. Manusia setara di hadapan-Nya. Maka identitas-identitas asal yang diciptakan Tuhan dan label-label yang dilekatkan masyarakat kepada manusia: warna kulit, jenis kelamin, asal-usul, agama/keyakinan, tempat tinggal, dan lain-lain, hilang dari perhatian dan penilaiannya. Perhatian dan penilaian ditujukan hanya pada tingkah lakunya pada orang lain.

Senada dengan Kiai Husein, Syaiful Arif (2013) melihat Gus Dur sebagai sosok humanis. Penemuan ajaran kemanusiaan di dalam Islam menjadi titik tolak keyakinan intelektual Gus Dur. Makanya, ketika terjadi ketegangan antara agama dan kebudayaan, maka kemanusiaanlah yang harus didahulukan. Mengapa? Pertama, karena untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Kedua, untuk mengembangkan struktur masyarakat yang adil. Bagi Gus Dur, kemanusiaan harus diwujudkan melalui upaya pemenuhan hak dasar manusia di dalam kerangka kehidupan sosial yang adil.

Pondasi Indonesia Raya

Kebhinekaan merupakan pondasi Indonesia Raya. Dengan kebhinekaan inilah Indonesia lahir dan tegak sampai hari ini. Mereka yang mengingkari kebhinekaan, maka mereka ingkar dengan jati diri Indonesia. Makanya, pondasi ini harus selalu dirawat dengan semangat toleransi. Menurut Gus Dur, spirit toleransi sejatinya berdiri tegak dalam doktrin ajaran Islam. Secara tegas al-Quran menyatakan bahwa “tidak ada paksaan dalam agama” (Al-Baqarah: 2: 256). Jadi, tidak dibenarkan adanya paksaan. Kewajiban kita hanyalah menyampaikan agama kepada manusia dengan cara yang baik dan penuh kebijaksanaan serta dengan nasihat-nasihat yang wajar.

Dalam hadits, spirit toleransi tertera dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari yang mengabarkan bahwa Nabi ditanya: “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab “agama asal mula yang toleran (al-hanîfiyyatus samhah). DalamAl-Jami’ As-Shaghir, Imam al-Suyuti menjelaskan bahwa Nabi bersabda, “seutama-utama keimanan adalah sabar dan toleransi ” (afdlalu aliman al-shabru wa al-samhah). Kesabaran dan toleransi bersanding sangat dekat, karena pribadi yang sabar pastilah menebarkan etos toleransi kepada sesama. Toleransi tanpa kesabaran hanyalah uapan gas yang membahayakan. Kesabaran yang berwujud dalam toleransi termanifestasikan dalam pribadi agung, Muhammad SAW.

Dengan spirit toleransi inilah, BNPT dan bangsa ini bertugas bersama-sama dalam merajuk persaudaraan. Merajut persaudaraan merupakan proses menjadi (process of becoming), bukan proses apa adanya (process of being).Process of becomingmenuntut keteguhan prinsip dalam menjalani lelaku kehidupan dengan terus setia dengan proses.

Facebook Comments