Kebhinekaan, Mendidik Manusia Indonesia Menjadi ‘Dewasa’

Kebhinekaan, Mendidik Manusia Indonesia Menjadi ‘Dewasa’

- in Narasi
2768
0

Kita beruntung, dan harus bersyukur bahwa NKRI tegak di atas ilmu para ulama. Sehingga, negara Indonesia dalam realitas yang sangat majemuk dan memiliki beragam perbedaan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke mampu berupaya untuk saling hidup rukun dalam bingkai kebhinekaan dan sikap toleransi. Meski dewasa ini isu perpecahan mengalir dalam kehidupan kita, kita masih percaya bahwa para penjaga kebhinekaan juga tidak terlelap. Sebab kita berupaya menjaga perdamaian, tidak hanya sebagai menjalankan kewajiban sebagai warga negara. Bahkan yang paling utama, kitaa berupaya menjaga perdamaian karena niatan ibadah kepada-Nya.

Bahwa Islam merupakan agama yang cinta damai, tiada yang memungkiri. Perdamaian sesungguhnya akan membawa pada kebahagiaan. Dan, menciptakan perdamaian di tengah beragam konflik sesungguhnya merupakan sumber kebahagiaan. Konsep kebhinekaan, yang digali dari Pancasila mengajarkan kita untuk bijaksana hidup damai di atas perbedaan. Perbedaan itu merupakan hal yang niscaya. Perbedaan memberikan zona menantang bagi kita untuk terus menjadi pribadi matang yang menepikan ego kekanakan (child ego).

Ego kekanakan, pada dasarnya kerap diekspresikan oleh kaum radikal. Tindakan child ego-nya meliputi mengebom, takfiri, menyakiti, membuat kerusuhan, dan hal-hal radikal senada lainnya. ego kekanakan hanya mementingkan dirinya sendiri, dan hakikatnya menepiskan sisi-sisi insyaniyah kita sebagai manusia. Begitulah, kerapkali perdamain dirusak oleh ego kekanakan yang sama sekali tidak memikirkan win-win solution.

Pribadi yang matang dan dewasa, tentu tidak akan melakuka tindakan radikal, sebab mereka percaya segala hal bisa dikomunikasikan. Lagi pula, ego dewasa akan membimbing seseorang untuk dapat mewujudkan persatuan dalam keragaman. Jika kita cermati, sesungguhnya ajaran Pancasila mengajak kita pada proses pendewasaan kepribadian dan kematangan jiwa yang akan menuntun kita pada kebahagiaan. Konsep kebhinekaan yang kita pelajari sejak kecil, memang harus selalu kita kuatkan. Kita pupuk dengan kebersamaan, dan pemahaman Islam rahmatan lil ‘alamin yang menyejukkan.

Konsep kebhinekaan memang harus terkristal dalam diri kita, anak-anak kita, dan generasi penerus bangsa. Sebab, konsep itu merupakan pondasi terbentuknya pribadi yang sehat. Dengan pribadi yang sehat, insyaallah, kita tidak akan menyakiti orang lain, dan enggan melakukan tindakan radikal. Kepribadian yang sehat mampu berdamai dengan orang lain, meski memiliki pendirian yang berbeda.

Konsep kebhinekaan sejalan dengan ajaran Islam, yang mengajarkan bahwa menjaga perdamaian di muka bumi merupakan tugas kemanusiaan kita. Maka, menyakiti, bertindak radikal, dan bersikap ‘keras’ harus kita hindari. Alangkah lebih baik, bika kita mampu mewujudkan iklim persaudaraan dan persatuan yang solid. Sikap radikal dari beberapa oknum hanya akan melemah jika kita mampu membangun persatuan dalam perbedaan. Allah Swt. menciptakan perbedaan bukan untuk saling berperag, namun agar saling berdialog, saling melengkapi, sehingga tercapai harmoni.

Menjadi manusia Pancasila memang tidak mudah. Akan tetapi, pelan-pelan hal itu bisa kita capai jika kita mau dan terus berusaha mengamalkan akhlak mulia sebagaimana yang diteladankan Nabi Muhammad Saw. Betapa banyak teladan mengenai sikap damai Rasulullah Saw. dalam menghadapi perbedaan. Rasulullah Saw. selalu bersikap dewasa dan matang dalam menghadapinya, sehingga orang-orang terpukau dengan akhlak beliau, dan berbondong-bondong masuk Islam.

Rasulullah Saw., panutan kita telah memberikan teladan bahwa perbedaan tidak perlu disikapi secara radikal. Sebaliknya, perbedaan harus disikapi dengan sikap penuh perdamaian. Sebab andaikata kita bersikap keras dan kasar, maka yang akan terjadi adalah perpecahan. Pungkasnya, mari kita belajar menjadi manusia yang dewasa dengan mengaktualisasikan konsep bhineka tunggal ika. Wallahu’alam.

Facebook Comments