Khilafah: Ideologi Impor

Khilafah: Ideologi Impor

- in Narasi
1411
0

Setiap negara pasti mempunyai sejarahnya sendiri. Begitu juga Indonesia, yang sejak awal, berdasarkan fakta sejarah, para pendiri bangsa sudah berdialog cukup alot dan matang untuk mengadopsi dan memodifikasi suatu ideologi dan dasar negara. Berdasar pada pengalaman sejarah, muncullah sebuah konsensus bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang beridiologi Pancasila. Dengan demikian, Indonesia bukan negara agama, juga bukan negara sekuler, apalagi komunis.

Belakangan ini, banyak orang mengira bahwa ideologi dan gaya hidup negara lain itu lebih baik daripada ideologi negeri sendiri. Inilah tren atau fenomena yang kini muncul di tengah-tengah masyarakat. Ideologi “impor” dipandang sebagai sesuatu yang harus ditiru dan diterapkan dalam konteks keindonesiaan, tanpa adanya filterisasi. Jika tidak, maka, akan dianggap ketinggalan zaman.

Tidak hanya dalam ideologi, secara umum, masyarakat kita lebih suka dan bangga produk luar negeri. Maka, dalam konteks belajar misalnya; orang yang memiliki kesempatan belajar di luar negeri dianggap hebat. Akibat dipersepsikan sebagai kalangan yang hebat dan elite, tidak jarang ketika ia kembali ke Tanah Air, mereka berusaha menerapkan atau memaksakan budaya luar itu di kampung halamannya. Sebagai contoh, ketika seseorang studi di Arab Saudi (timur tengah), sepulang dari sana ia lebih Arab dari orang Arab. Sama halnya ketika seseorang studi di Barat, ia justru melebihi orang barat ketika sudah kembali ke Tanah Air.

Fenomena semacam ini mencerminkan betapa budaya dan ideologi kita tidak tertanam betul dalam sanubari yang terdalam. Idealisme dan rasa bangga akan budaya, agama, dan keluhuran nilai-nilai serta tradisi asli Indonesia sudah memudar. Padahal, orang luar (asing) ketika menginjak dan berinteraksi dengan penduduk Indonesia (pribumi), orang tersebut terkagum-kagum akan keelokan dan keunikan budaya, nilai-nilai, ideologi, bahkan cara beragama orang Indonesa.

Selain itu, ada celah bagi kelompok radikal Islam yang hendak mendirikan Negara agama. Mereka menuduh Pancasila telah gagal meujudkan masyarakat yang adil, dan sejahtera. Massifnya korupsi, perbuatan asusila, ketidakadilan ekonomi, dan ambruknya moral dan etika diduga keras akibat gagalnya pemerintahan Pancasila. Jadi, menurut mereka, Pancasila tidak bisa menyelesaikan sengkarut dan krisis moral dan sejenisnya, yang terjadi saat ini. Untuk itu diperlukan ideologi yang lebih mujarab dan mantab. Nah bagi mereka, ideologi itu adalah Piagam Jakarta.

Kira-kira itulah argumentasi yang dibungkus melalui narasi dan propaganda dalam dunia maya maupun nyata dan sasarannya adalah orang awam dan generasi muda yang notabene memiliki semangat yang menggebu-gebu dan mudah dipengaruhi serta umumnya mereka juga lemah pemahan tentang ideologi Indonesia yang sejati.

Cara Merawat

Tantangan kita saat ini, terutama mahasiswa adalah bagaimana merawat ideologi Pancasila di kalangan generasi muda dan konsisten memupuk ideologi tersebut. Setidaknya ada beberapa cara untuk merawat ideologi Pancasila di tengah menguatnya arus ideologi-ideologi yang hendak menghancurkan dan menggantikannya. Pertama, pemahaman komprehensif. Bahwa Pancasila tidaklah bertentangan dengan Islam. Bahkan, Pancasila sejatinya terinspirasi dari Piagam Madinah yang di dalamnya memuat nilai-nilai Islam seperti persatuan, keadilan, dan lainnya. Jadi, apabila saat ini elite pemerintah cenderung korupsi dan sejenisnya, maka itu yang salah adalah orangnya. Dan bisa dipastikan orang tersebut tidak memahami atau paham tapi tidak berperilaku berdasarkan Pancasila. Maka, sebagai rakyat harus terus mendorong dan memberikan teladan bagaimana Pancasila di aktualisasikann dalam kehidupan sehari-hari (Yudi Latif: 2011).

Selain itu, konsensus politik yang dilakukan oleh pendiri bangsa yang kemudian melahirkan Indonesia merupakan negara kesatuan yang tidak mendasarkan pada suatu ajaran tertentu, melainkan berdasarkan Pancasila harus dinilai sebagai “ijtihad” politik yang fair. Karena secara historis-sosiologis agama-agama yang berkembang di Indonesia kala itu sudah menamamkan saham sejarah yang membentuk karakter bangsa ini dan memberikan kontribusi luar biasa (Sri Sunanto, 2017).

Kedua, Islam tidak mengenal bentuk negara. Dewasa ini ada semacam kekecewaan dari umat Islam yang mayoritas tetapi tidak banyak hak-haknya yang belum terpenuhi. Maka, solusi atas semua itu adalah mendirikan khilafah. Bagi mereka, khilafah-lah yang mampu menjawab solusi krisis di Indonesia serta dapat mengembalikan kejayaan Islam.

Akan tetapi, Islam bahkan Nabi memberikan teladan—ketika di Madinah—untuk tidak menjadikan suatu negara berlandaskan Islam. Nabi lebih mengedepankan sebuah dialog dan membangun toleransi antar sesama melalui sebuah perjanjian bersama. Sejarah politik Islam menyebutkan bahwa umat islam telah memliki berbagai eksperimen atau variasi sistem sosial-politik, tidak hanya khilafah, namun ada juga kerajaan, kenegaraan formal (Republik Islam Iran, dan pluralis (Indonesia). Dan yang demikian itu sah-sah saja, tidak melenceng dari jaran Islam.

Tegasnya, Islam tidak memaksakan kehendak untuk begini dan begitu, terutama dalam hal politik. Nabi, sekali lagi, pernah bersabda: antum a’lamu bi umuri dunyakum. Ulama-ulama Indonesia menangkap pesan tersebut untuk menyebarkan Islam berdasarkan tradisi-tradisi masyarakat Indonesia.

Jadi, tidak usah bangga akan ideologi dari luar yang belum tentu cocok dengan karakter masyarakat Indonesia. Maka umat Islam Indonesia harus yakin, Pancasila tidak hanya sesuai dengan Islam, melainkan juga mengakomodasi umat Islam serta memberikan kesempatan seluas-luasnya Islam mewarnai dan berkontribusi terhadap kemajuan Indonesia.

Ketiga, keteladanan. Rakyat Indonesia (masih) mengandalkan, bergantung dan berharap kepada pemimpin negeri ini. Sementara, banyak pemimpin negeri ini tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat, terutama dalam hal pengamalan Pancasila. Padahal, memimpin adalah soal keteladanan. Oleh sebab itu, segenap petinggi republik ini harus mampu menjadi publik figur atau teladan yang baik (pemimpin pancasilais).

Dan tantangan kita saat ini adalah menjaga negara dari hal-hal yang dapat merusak tatanan. Dan kita harus sepakat untuk menjaga dan merawat ideologi Pancasila dari serbuan pihak luar dan dalam. Khilafah, radikalisme, fanatisme, dan intoleransi adalah ancaman serius. Untuk itu harus ditolak!

Bersamaan dengan itu, ideologi yang sudah mapan dan terbukti mempersatukan segala perbedaan yang ada di bumi pertiwi ini, yakni Pancasila, harus dirawat dan dijaga betul dari ideologi-ideologi yang dapat merusaknya. Sebab, jika NKRI dan Pancasila diusik (diganti), sungguh tidak ada jaminan satupun yang berani menyatakan bahwa Indonesia akan lebih baik daripada hari ini. Justru besar kemungkinan, bangsa dan negara ini terancam bubar. Maka, tidak ada cara lain selain kita jaga dan rawat NKRI dan Pancasila. Wallahu a’lam.

Facebook Comments