Lahirnya Benih Radikalisme Agama

Lahirnya Benih Radikalisme Agama

- in Narasi
1470
0

Radikalisme bukan kesengajaan melainkan keinginan yang menggebu untuk menekuni agama hingga kebablasan. Mari kita lihat. Orang yang hidupnya penuh dengan kesalahan di masa muda akan segera berubah religius ketika tua. Hal ini dimaksudkan untuk menebus segala dosa yang telah lalu. Pelan-pelan, orang lain yang tidak sejalan dianggap keliru karena tidak menempuh jalan religius sebagaimana dirinya. Tidak hanya itu. Anak-anak dan seluruh keluarganya juga dipaksa bertingkah sereligius mungkin. Dalam keluarga lahir aturan-aturan agama yang kaku dan tidak bisa diganggu gugat.

Orang seperti ini akan semakin rutin mengikuti pengajian-pengajian di beberapa majlis ta’lim. Umumnya, yang mereka ikuti adalah pengajian yang kiainya tidak hanya fasikh membaca teks-teks arab tapi juga tampil kearab-araban. Sebaliknya, kiai yang lebih mengindonesia dianggap kurang religius sealim apapun soal Islam. Mereka pun rutin membaca buku-buku panduan agama seperti dzikr, shalat, sunnah, dan lain-lain. Begitu juga soal larangan dan perintah dalam agama. Mereka sangat hati-hati dalam beragama. Buku-buku bacaan yang mreka dalami diyakini sebagai kebenaran dalam beragama.

Sepintas cara beragama seperti di atas tidak memiliki masalah. Namun tanpa dibarengi dengan pemikiran kritis dan kontekstualisasi maka religiusitas itu akan mengkerangkeng dirinya. Ada ayat perang maka akan segera terbakarlah jiwanya untuk menghunus pedang. Membaca ayat tentang jihad maka bergetarlah hatinya untuk segera berangkat. Semangat itu semakin bergemuruh apabila mengingat dosa-dosa di masa lalu. Mereka pikir jalan untuk menebus kesalahan itu adalah berkorban demi agama. Seolah-olah kematian dirinya akan segera diangkut ke surga setelah membela agama mati-matian.

Kondisi ini semakin diperparah oleh suguhan fitnah-fitnah keji soal orang non muslim dari kiai panutannya. Fitnah bahwa umat Islam sedang terdzalimi akan mudah dilahap oleh orang seperti ini. Karena mereka kehilangan filter bernama akal sehat hanya karena ketakutan akan siksa neraka. Mereka tak punya kesempatan untuk mencari kebenaran berita tersebut. Yang timbul dalam pikirannya adalah apa yang mereka terima dari kiai panutannya merupakan satu-satunya kebenaran. Sehingga mereka merasa berkewajiban untuk mengirim pesan “waspada” pada orang lain.

Sebagai timbal balik dari sikap di atas, mereka biasanya lebih banyak menasehati orang lain agar lebih serius beragama. Teks-teks terjemahan agama yang mereka ambil dari petikan buku-buku hikmah dikirim dan disebarkan kepada orang lain. Tak peduli orang lain suka atau tidak akan nasehat tersebut. Mereka tidak mempersoalkan apakah orang lain meminta nasehat atau tidak. Dan di saat bersamaan mereka semakin tampak religius dan merasa paling dekat dengan Allah walau hanya melalui bacaan teks-teks terjemahan. Seolah-olah terjemahan sama persis dengan agama.

Gejolak keberimanan seperti di atas pada gilirannya melahirkan sikap asosial. Mereka akan menjajuhi teman-temannya yang tidak sejalan dan sebaliknya teman-temannya akan merasa risih dengannya karena perubahan sikap mereka. Perubahan sikap yang tidak memperdulikan orang lain dan hanya mementingkan agama dan kebenaran dirinya sendiri. Kepada tetangga juga demikian, tidak secair sebelum dia menggeluti agama. Timbul kriteria tetangga dalam benaknya. Misalnya, seiman, seorganisasi, atau sepengajian. Di luar itu, hanya disapa basa basi sekedarnya dan merasa tidak memiliki keterhubungan dengan dirinya. Maka jangan ditanya, bagaimana sikap mereka kepada orang yang beda agama.

Cara beragama seperti di atas tergolong bukan ajaran Islam. Ajaran Islam selalu menggelayut antara teks dan akal. Baik dalam fiqh maupun tauhid selalu ada dalil naqli yang diambil dari ayat-ayat al Qur’an dan hadits dan ada dalil ‘aqli sebagai pertimbangan atas realitas. Jika ada ayat al Qur’an, misalnya, yang berbunyi “bunuhlah orang-orang musyrik dimanapun anda menemuinya” maka peran akal adalah menimbang kembali apakah ayat tersebut harus dipahami secara tekstual atau kontekstual. Ibn Arabi, misalnya, memaknai ayat tersebut bukan sebagai perintah membunuh orang musyrik melainkan menghilangkan bisikan kemusyrikan dalam hati seperti menuhankan pikiran sendiri, uang, dan lain-lain.

Bahkan secara terang-terangan al Qur’an melarang radikalisme agama. “La taghlu fi dinikum” jangan ekstrim dalam beragama, demikian firman Allah dalam al Qur’an. Karena al Qur’an mencatat bahwa kehancuran kehidupan manusia disebabkan karena radikalsime dan ekstrimisme agama sebagaimana yang terjadi pada orang-orang Yahudi dan Nashrani di masa dulu. Sebagai ganti dari radikalisme, al Qur’an memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih beriman atau tidak, asalkan dalam kedamaian. Karena Islam memang mencintai kedamaian. Wallahu a’lam.

Facebook Comments