Larangan Membunuh Pengucap “Salam”

Larangan Membunuh Pengucap “Salam”

- in Narasi
2258
0

Suatu ketika Rasulullah Saw mengirimkan pasukan perang, yang di antaranya terdapat al-Miqdad. Ketika sampai di tempat tujuan, penghuninya telah lari semuanya, kecuali seorang kaya raya. Seketika itu ia mengucapkan: “Asyhadu an la ilaha illa Allah.” Tetapi orang kaya itu dibunuh juga oleh al-Miqdad. Bersabdalah Nabi: “Bagaimana pertanggungjawabanmu kelak di akhirat dengan ucapannya, la ilaha illa allah?

Dalam riwayat lain disebutkan, orang kaya yang dibunuh adalah Mirdas bin Nahiq, orang Fadak, dan pembunuhnya adalah Usamah bin Zaid. Sedangkan nama pemimpin pasukan adalah Ghalib bin Fudhalah al-Laitsi. Ketika kaum Mirdas melarikan diri, tinggallah Mirdas seorang diri sedang menggiring kambing-kambingnya ke gunung. Ketika orang-orang menyusulnya, ia mengucapkan: “La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah”. Usamah tetap saja membunuhnya.

Ketika mereka pulang, turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu: “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Nisa [4]: 94).

Ibn Hajar al-Asqalani (Fath al-Bari: XII/243) dan Imam al-Mawardi (Tafsir al-Mawardi: I/530) menceritakan, apa yang dilakukan Miqdad atau Usamah bin Zaid, itu karena mereka menilai si korban melafalkan kalimah tauhid hanyalah untuk menyelamatkan diri (ta’awwudzan). Mereka menilai ucapannya tak lebih sebagai kamuflase atau pengelabuan.

Mereka hanya mendasarkan pada prasangka tanpa melihat isi hati korbannya. Inilah yang membuat Rasulullah Saw begitu murka. “Kenapa engkau bunuh, padahal dia telah berserah diri (Islam)?” katanya marah.

“Sesungguhnya ia mengatakannya hanya untuk melindungi diri.”

“Mengapa engkau tidak membelah hatinya?”

Memaknai ungkatan ini, Ibn Hajar al-Asqallani menuliskan: “Sesungguhnya engkau (wahai Miqdad atau Usamah), jika tidak mampu melakukannya, maka cukuplah menilai perkataannya.” Ungkapan populer menyebutkan: “Kami hanya menilai lahirnya, sedang Allah menguasai batinnya”. Inilah kredo dalam bertindak, yang semestinya dipegangi oleh orang beriman, sehinga ia tidak melakukan hal-hal yang melampaui kewenangannya. Dan atas kejadian ini, Rasulullah Saw lalu membayarkan diyat dan mengembalikan harta korban yang dirampas kepada keluarganya.

Banyak pelajaran penting bisa dipetik dari peristiwa ini. Dalam Islam, perang atau pembunuhan dilakukan hanya karena keterpaksaan. Menurut Husein al-Thabathaba’i (Tafsir al-Mizan: II/348) perang itu al-difa’ (pembelaan). Sedang menurut Wahbah al-Zuhaili (Tafsir al-Munir: II/23) perang itu upaya li radd al-‘udwan (untuk menghalau musuh). Sifatnya defensive, bukan offensive.

Andaipun itu harus terjadi, maka perang semestinya dilakukan berlandaskan norma-norma yang luhur. Perang tidak boleh dilakukan dengan brutal, asal membunuh atau asal menumpas. Perempuan, anak-anak, rakyat sipil, rumah-rumah, tempat ibadah, pepohonan, yang menyerah, itu tidak boleh disakiti atau diganggu.

Karena itu, melalui ayat di atas, Allah Swt meminta orang-orang beriman untuk tidak asal membunuh musuh, apalagi yang telah mengucapkan “salam” atau ungkapan kepasrahan, termasuk melafal kalimat tauhid. Allah Swt melarang keras menjadikan praduga sebagai acuan untuk membunuh. Praduga itu terlarang dan dosa (Qs. al-Hujurat: 12).

Menafsirkan ayat di atas, Ibn Jarir al-Thabari (Jami’ al-Bayan: IX/70) menuliskan, orang beriman harus benar-benar memahami secara nyata apa yang sesungguhnya terjadi pada musuh. Tidak boleh sembarangan membunuh orang yang belum nyata keislamanan atau kekafirannya.

al-Thabari mengingatkan, terlarang buru-buru membunuh orang, kecuali yang bersangkutan diyakini benar-benar memerangi Allah dan Rasul-Nya. Dan jika mereka mengucapkan “salam” atau ungkapan kepasrahan, maka jangan membunuhnya, karena secara kasat dia telah menjadi bagian dari agama dan menerima seruan.

Jika musuh telah mengucapkan “salam”, saat itulah keinginan kaum beriman untuk membunuhnya harus ditahan. Saat itulah darahnya harus dijaga dan tidak boleh ditumpahkan. Diriwayatkan Imam al-Bukhari (Shahih al-Bukhari: IV/48, IX/15) dan Imam Muslim (Shahih Muslim: I/51, 52) dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw mengingatkan umatnya untuk menjaga darah (jiwa) dan harta orang yang telah berucap la ilaha illa Allah.

Selain itu, yang dikecam oleh Allah terkait peristiwa di atas, adalah motivasi membunuh korban yang ternyata karena ingin mengharapkan harta rampasan: “…dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia…..

Dengan kematiannya, diharapkan hartanya akan ditinggalkan sebagai rampasan. Apalagi yang dibunuh orang kaya yang niscaya meninggalkan harta sangat banyak. Secara duniawi ini akan menguntungkan pembunuhnya, apalagi atas nama agama.

Sepintas, pembunuhan yang dilakukan seakan-akan bagus dan baik karena terjadi dalam kecamuk peperangan fi sabilillah, membela agama Allah untuk menegakkan kalimah-Nya. Namun kenyataannya, motivasi dalam hati akan memperangaruhi keridhaan Allah atas tindakan yang berbasis prasangka ini.

Alih-alih mendapat simpati dari Allah dan Rasul-Nya, orang yang membunuh orang lain yang telah mengucap “salam” atau pasrah karena motivasi harta dunia/ekonomi justru akan meraih murka-Nya. Allah sangat tahu apa yang sesungguhnya tersimpan dalam hatinya.

Keterangan di atas semestinya menjadi bahan introspeksi terutama bagi umat muslim dan umat agama lain, yang mengaku berpegang teguh pada ajarannya. Pembunuhan yang dilakukan oleh para teroris pada mereka yang jelas-jelas melafalkan kalimah tauhid dengan mengatasnamakan jihad fi sabilillah, itu nyata-nyata menyalahi semangat al-Qur’an dan Sunah Rasul. Hati-hatilah bermain-main atas nama agama

Facebook Comments