Mari Saling Bertafkir, Jangan Bertakfir!

Mari Saling Bertafkir, Jangan Bertakfir!

- in Narasi
1312
0
sumber : muslim.or.id

Di negara kita, fenomena takfir (menuduh kafir) kerap terjadi di antara sesama umat beragama. Tidak saja terjadi dalam satu (internal) umat beragama. Kepada umat yang di luar (eksternal) seagama, pentakfiran ini pun tersuara hampir sama nyaringnya. Banyak di antara mereka yang satu sama lain, karena berbeda paham, lantas saling sesat-menyesatkan, kafir-mengkafirkan.

Tidak saja menjustifikasi bahwa kelompok tertentu sesat, lebih lagi penghakiman tersebut seringkali disertai aksi kekerasan dan pengrusakan. Darah yang kelompok yang satu, halal bagi kelompok lain, dan sejenisnya. Banyak sekali contoh yang sudah terjadi, yang awalnya bermula adanya klaim sesat menyesatkan. Pengrusakan masjid di Kendal, pembakaran lima masjid di Medan, adalah dua contoh dari sekian banyak contoh yang ada.

Panggabean (2012) mengatakan, fenomena saling salah-menyalahkan, sesat-menyesatkan, dan kafir mengkafirkan, adalah hal yang tak masuk akal. Islam sebagai agama yang paling santer ketika berbicara tentang pentakfiran ini misalnya. Setidaknya ada dua alasan yang dikemukakan Pangabean, bahwa hal tersebut tidak masuk akal.

Pertama, secara de facto masyarakat muslim di dalam sejarahnya adalah majemuk dilihat dari keyakinan dan praktik keagamaannya. Kedua, dan ini selaras dengan alasan yang pertama, yakni “kebenaran” di dalam konteks kemajemukan internal di dalam masyarakat Muslim, baik sekarang maupun dalam sejarah, adalah bersifat parsial dan tidak absolut. Karena itu, sudah sejatinya agar antar kelompok tidak mengklaim merasa dirinya paling benar sendiri.

Khawarij Baru

Mufid (2013) menjelaskan bahwa Islam mengenal dua tradisi tafsir dalam memahami ajaran agamanya. Pertama mereka yang memahami ajaran agama secara tekstual (harfiyah), kedua adalah pemahaman ajaran agama secara kontekstual, dan ketiga penggabungan antara keduanya. Dan kelompok yang suka mengkafirkan, ialah kelompok yang masuk dalam kategori pertama.

Jika berbicara tentang kelompok pertama dalam Islam, tentu benak kita akan tertuju kepada salah satu kelompkok sempalan Islam yang ekstrim, yakni khawarij. Kelompok ini tentu tidak asing bagi kita. Sebab jika ada kelompok Islam garis keras atau radikal, ia selalu diitentikan dengan khawarij.

Kelompok inilah yang dikenal paling awal melakukan pentakfiran sesaat setelah Rasulullah wafat. Ia hanya tunduk pada hukum Allah. Segala sesuatu, baginya, harus berdasarkan hukum Allah, sesuai petunjuk al-Qur’an dan Sunah sebagaimana apa adanya. Pendeknya, ia sangat tekstualis. Tak mau berijtihad untuk mengambil makna kontekstual suatu ayat atau hukum. Orang atau kelompok yang tidak tunduk pada hukum Allah, selain dianggapnya sesat, juga halal darahnya.

Dalam perjalan sejarah, karena sifat ekstrimya, khawarij telah terpecah dan bahkan musnah pada masa Umayah 675 M (Effendi, 2001). Namun, hingga saat ini pemikiran-pemikirannya masih saja mewabah pada sebagian umat masa kini. Ialah yang terjangkit fahamnya, seperti mudah mengkafirkan dan sejenisnya.

Pandangan takfiriyah itulah yang melahirkan tindakan radikalistik dan subjektif hingga menghalalkan teror. Kelompok tersebut itulah yang disebut Harun Nasution (1995) sebagai khawarij baru. Untuk memperjuangkan misinya, seperti mendirikan khilafah atau negara Islam, mereka berpandangan bahwa perjuangan dengan kekerasan dan teror adalah jihad suci, perampokan dipandang sebagai fa’i, dan meledakkan diri (bom bunuh diri) sebagai syahid.

Mari Bertafkir (Berfikir)

Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Tentu itu tidak akan menjadi relevan jika yang ditampakkan adalah wajah buram. Ia tidak ramah, tetapi marah. Untuk bisa menjadikan Islam sebagai rahmat yang shalih li kulli zaman wa makan, kita harus senantiasa menghadirkan Islam toleran dan dalam konteks kekinian.

Karena itu, kita jangan enggan melakukan ijtihad guna memperoleh kebaikan bersama. Berkaitan dengan itu, maka reinterpretasi terhadap tafsir-tafsir al-Qur’an yang telah mapan perlu disemaikan. Lebih-lebih yang berkaitan dengan ayat-ayat yang seolah melegitimasi tindakan perang, seperti jihad, qital, dan sejenisnya.

Ini penting dilakukan, mengingat zaman ini sangat dinamis. Pemahaman masa lalu bisa jadi tidak memadai untuk zaman sekarang. Karenanya, pemahaman masa lalu perlu dikembangkan agar lebih sesuai dengan zamannya dan mampu menatap masa depan (Misrawi, 2010: 146). Dengan telaah ulang terhadap nash al-Qur’an dan Sunnah serta sirrah, diharapkan akan menyadarkan kita secara umumnya, dan kelompok radikalis secara khususnya, tentang perjuangan yang selama ini dilakukan.

Sebagaimana dipaparkan Mufid (2013), kita boleh belajar dari pengalaman Dr. Najih Ibrahim dan Dr. Karom Zuhdi di Mesir. Keduanya dapat menjadi model bagaimana ideologi jihadis seperti Al Jama’ah al Islamiyah di Mesir mengalami reinterperetasi dan penyadaran bahwa perjuangan yang selama ini dilakukan tidak pernah berhasil, bahkan kontraproduktif. Dan, dakwah menjadi pilihan utama dalam membangun kembali tatanan Islam untuk masyarakat.

Hal itulah, kata Mufid, yang dapat ditiru dan dikembangkan di Indonesia melalui dialog antara ulama yang berpaham Wahabiyah dengan Ahlu Sunnah wal Jamaah secara Islami. Mereka dapat saling mengedepankan berfikif (tafkir) atau mendialogkan hal-hal yang sekiranya selama ini menjadi perdebatan, degan saling menghormati, menghargai, dan yang tak kalah penting adalah bersedia untuk saling mengkritik dan dikritik.

Dengan begitu, maka akan tercapai peradaban Islam yang harmoni, saling menghormati perbedaan penafsiran (madzhab). Dan hal itu akan meminimalisir saling mentakfirkan, fitnah, sesat-menyesatkan satu-sama lain. Wallahu’alam

Facebook Comments