Melawan Radikalisme dengan De-ideologisasi

Melawan Radikalisme dengan De-ideologisasi

- in Narasi
1391
0

Paska kalah dalam perang Arab-Israel (1967) Saudi Arabia memulai membangun kembali rasa primordialisme bangsa arab. Kontruksi nilai tersebut akhirnya menjadikan ideologi wahabi sebagai pilot project Saudi Arabia yang disebarluaskan ke seluruh dunia. Tidak terkecuali Indonesia, awal 1980-an gerakan ini mulai menampakan perkembanganya (Norhaidi Ismail : 2005). Maka ketika sekarang Islam tekstual yang punya kecenderungan radikalisme marak bermunculan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah suatu hal yang patut dikagetkan. Hal tersebut adalah konsekuensi logis dari pilot project Saudi Arabia yang terakumulasi represi terhadap komunitas muslim semasa orde baru. Dua faktor tersebut akhirnya membantu proses terbukanya kran banjir gerakan radikalisme paska era reformasi.

Ideologi wahabi yang melahirkan radikalisme sekarang sudah tertanam ke mana-mana paska globalisasi dan kemajuan teknologi yang mempercepat penyebarannya. Ideologi sebagai budaya berarti proses produksi ide-ide, keyakinan, serta nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Ideologi merupakan praktik pemaknaan dan simbolisasi dalam masyarakatdalam rangka menjalani kehidupan mereka. Begitu luas dampak yang dihasilkan dari proses ideologisasi. Hal tersebut memungkinkan ideologi sebagai alat legitimasi tindakan suatu kelompok sosial saat menghadapi kelompok sosial lainnya (M. Hikam : 2016).

Perang ideologi di tengah derasnya arus globalisasi akhirnya membuat ideologi transnasionalisme masuk begitu mudah bersama kemajuan teknologi. Maka saat ini ketika pemaknaan kehidupan seseorang sudah tersentuh sesuatu hal yang ideologis, maka latar belakang pendidikan formalnya bukanlah bisa dijadikan suatu jaminan dia akan menolak radikalisme. Faktanya Turki mendeportasi banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang terindikasi ingin bergabung kedalam ISIS dengan berbagai latar belakang profesional yang berpendidikan formal tinggi. Batas antar negara lantas menjadi kabur lantaran ada proses perang ideologisasi. Batas negara akhirnya tentang persamaan ideologi, bukan lagi masalah berada di batas teritorial yang sama.

Sementara proses dari orang biasa menuju orang dengan pemahaman ideologi radikal memerlukan tahapan-tahapan. Menurut Moghadam proses tersebut seperti halnya naik tangga, ada tingkatan-tingkatan yang membuat seseorang menjadi radikal atau dalam langkah ekstrem menjadi terorisme. Tahapan awal adalah kekecewaan terhadap lingkungan masyarakat ia tinggal, terutama kekecewaan terhadap pemerintahan. Kemudian kekecewaan tersebut menimbulkan dahaga spiritual yang menuntut pemenuhan jawaban-jawaban. Kemudian kekeringan tersebut kebetulan diisi oleh spiritualitas yang mengarah kepada radikalisme. Hal ini bisa dijadikan alat penjelasan tentang “deportasi” Turki.

Gencarnya ideologisasi Wahabi yang bertentangan dengan Pancasila harus direspon aktif dan cepat. Karena radikalisme pada dasarnya memainkan peran penting dalam ranah ideologisasi, maka perlawanan serupa juga mutlak harus dilakuakan dengan penguatan ideologisasi Pancasila. Pemerintah dalam hal ini harus jeli merangkul organisasi masyarakat yang punya visi NKRI untuk melakukan proses ideologisasi Pancasila. Kelalaian pelatihan bela negara yang mengajak FPI beberapa waktu lalu harusnya tidak lagi terulang. Organisasi yang tepat digandeng dalam proyek deideologisasi radikalisme adalah yang sudah jelas menyatakan komitmennya terhadap NKRI.

Pemetaan Sasaran Deideologisasi

Selanjutnya pemetaan sasaran deradikalisasi haruslah jelas. Sasaran tersebut menurut penulis adalah, mahasiswa di perguruan tinggi umum (non keagamaan) yang punya potensi menjadi radikal melalui proses yang bertahap-tahap. Daya intelektual mereka yang memungkinkan lebih memahami situasi politik yang kacau (karena korupsi), akan sangat rentan jika bersentuhan dengan solusi semu yang menjanjikan mengatasi permasalahan politik tersebut (khilafah). Kemudian komunitas miskin perkotaan, tidak jarang mereka tergiur menjadi “pengantin” karena desakan ekonomi. Maka deideologisasi sebagai pendekatan sosial juga harus diimbangi dengan pendekatan ekonomi, di sini pemerintah harus berperan aktif. terkait sasaran, yang terakhir adalah napi teroris. Mereka biasanya punya potensi mengulangi perbuatannya kembali jika proses rehabilitasi gagal menghancurkan ideologi radikal yang sudah terlanjur tertanam di kepala mereka.

Banjir ideologi ini tentu harus disadari seluruh lapisan masyarakat untuk ikut aktif memerangi ideologi yang tidak cocok dengan Pancasila. Pemerintah yang punya struktur semakin baik dalam memerangi radikalisme harus diimbangi komitmen masyarakat sipil yang punya visi serupa. Sebagai metode, sosialisasi program deradikalisasi harus benar-benar tersampaikan ke seluruh elemen masyarakat sipil. Karena globalisasi dengan daya jangkau teknologi yang begitu luas, tentu kita tidak lagi bisa hanya mengandalkan pemerintah. Kita harus melakukan proses deideologisasi di setiap ruang yang mungkin kita isi (Sosmed, diskusi kampus, musyawarah warga). Tentunya proses tersebut tidak akan berhasil tanpa peran serta masyarakat sipil. Sudikah anda terlibat dalam proses ini? Kalau saya, siap!

Facebook Comments