Meneguhkan Pendidikan Agama yang Humanis

Meneguhkan Pendidikan Agama yang Humanis

- in Narasi
1763
0

Anak adalah aset masa depan bagi keluarga, masyarakat, bahkan bagi suatu bangsa. Pendidikan bagi mereka pun menjadi hal yang mutlak demi masa depan yang gemilang. Mengingat pendidikan bagi anak menjadi poros utama dalam pembentukan karakter diri, maka pendidikan harus diberikan dengan pola yang benar. Begitu pula dengan pendidikan agama, harus diberikan dengan cara-cara yang tepat agar pemahaman keagamaan yang diterima anak tidak melenceng dari kaidah yang lurus.

Salah satu yang patut diwaspadai adalah penanaman bibit radikalisme pada anak. Jika bibit ini tersemai dengan baik, maka akan mudah tumbuh menjadi paham radikal. Ini mengingat usia anak adalah usia emas bagi pertumbuhan dan perkembangan. Segala hal ihwal yang mereka terima di bangku pendidikan akan mudah terserap dan sulit dihilangkan. Doktrinasi dan penanaman nilai-nilai keagamaan yang salah, akan terus terpatri dalam pribadi mereka. Nilai-nilai ini akan terus tertanam sampai kapan pun karena telah merasuk ke alam bawah sadar. Upaya untuk memberikan penyadaran akan sangat sulit.

Memahami Narasi Kekerasan

Mengingat pentingnya penanaman nilai-nilai agama pada anak, maka pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah maupun lembaga pendidikan lain harus mampu menjadikan anak tumbuh dalam karakter humanis. Karakter yang mampu menghargai pihak lain sebagai entitas yang sama-sama tumbuh dan berkembang. Bisa menerima adanya perbedaan sebagai kodrat manusia. Karakter humanis yang melahirkan iklim toleransi, atautasamuhdalam kepustakaan ilmu fiqh, adalah karakter yang dibutuhkan dalam interaksi sesama manusia, terlebih bagi bangsa Indonesia yang penduduknya heterogen.

Untuk membentuk karakter humanis pada anak, tentu harus dimulai dari pemberian materi keagamaan yang tepat. Apalagi jika bersingguhan dengan ajaran agama yang di dalamnya seolah mengandung “narasi kekerasan”. Jika narasi ini tidak dipahami dengan baik, maka memungkinkan tumbuhnya pemahaman yang membenarkan kekerasan atas nama agama dengan dalih “agama membolehkan kekerasan”.

Di dalam teks suci agama Islam, baik Al-Qur’an maupun Hadis, memang terdapat ayat yang membicarakan kekerasan, seperti ayat-ayat perang. Maka dibutuhkan pemahaman luas dalam menyampaikan kandungan ayat ini agar pesan moral di dalamnya bisa ditangkap. Ayat Al-Qur’an tidak bisa dipahami secara sepotong-sepotong, karena antar ayat saling terkait (munasabah al-ayat). Al-Qur’an juga memiliki konteks historis ketika ia diturunkan (sababun nuzul). Disamping itu, dipahami pula antara yang tersurat (mantuq) dan yang tersirat (mafhum). Demikian rambu-rambu yang diberikan oleh para mufassir agar pemahaman yang dihasilkan bisa komprehensif.

Terkait ayat perang yang seolah merupakan “narasi kekerasan”, harus dipahami dalam konteks menjaga perdamaian, bukan permusuhan. Syekh Mahmud Syaltut dalamal-Qur’an wa al-Qitalmenjelaskan bahwa tujuan peperangan adalah untuk menghentikan kezaliman dan penganiayaan, untuk mewujudkan keamanan dan ketentraman dalam beragama. Dalam keadaan tidak diperangi, tidak dianiaya ataupun dimusuhi, umat Islam tidak akan memerangi umat lainnya, sesuai dengan ajaran al-Quran yang menyatakan tidak ada paksaan dalam agama. Dari keterangan ini dapat kita ambil pesan moralnya bahwa Islam sejatinya mengajarkan perdamaian, bukan peperangan.

Pemahaman semacam ini tentu harus ditumbuh kembangkan pada diri anak didik sehingga mereka mampu tumbuh menjadi pribadi yang humanis. Pribadi yang mampu menjadi duta damai dan menanamkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Penguatan SDM Guru

Untuk menanamkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin sehingga melahirkan pribadi yang humanis, tentu dibutuhkan SDM guru yang unggul. Pembinaan tenaga pengajar harus menjadi fokus yang diutamakan. Pembinaan bisa dilakukan mulai dari tingkat kampus dimana para calon guru belajar. Kemudian dilanjutkan dengan pembinaan di lembaga-lembaga pendidikan sebagai tempat guru mengajar. Pembinaan tersebut bisa dilakukan dengan berbagai langkah :

Pertama, pendalaman materi keagamaan oleh para pakar dan langsung dari sumber otoritatif. Para guru digembleng agar pemahaman keagamaannya meningkat. Bagi guru yang memilikibackgroundpesantren tentu tidak soal karena pemahaman mereka cukup luas, tetapi bagi guru yang belum mahir dalam materi keagamaan, tentu butuh pendalaman. Para pakar yang dipilih pun harus memiliki latar belakang yang kokoh dalam pengetahuan keagamaan dan memahami konteks kebangsaan sehingga mampu membumikan ajaran Al-Qur’an di nusantara. Rujukan yang diambil pun dari pustaka keagamaan yangmu’tabarah, yang telah diakui kualitasnya oleh umat Islam.

Kedua, penanaman kesadaran berinformasi yang positif. Para guru harus memiliki kecerdasan dalam mengolah arus informasi yang berkembang di internet. Mereka harus mampu memilih dan memilah situs-situs keislaman. Situs yang sejalan dengan nilai-nilai Islam bisa dijadikan rujukan dalam pembelajaran, sementara situs yang tidak sejalan, meski mengatasnamakan Islam, tidak perlu diakses. Para guru harus benar-benar mahir dalam menyaring informasi. Internet dijadikan sebagai pelengkap pembelajaran, bukan sebagai sumber utama. Belajar agama bukan melalui google atau semacamnya, tetapi melalui ulama yang kompeten.

Dengan langkah tersebut diharapkan para tenaga pendidik mampu menjadi insan yang memiliki wawasan keagamaan luas. Ketika mereka menyampaikan pembelajaran terutama terkait teks suci keagamaan, mampu menghadirkan Islam sebagai solusi perdamaian, bukan malah menyemai bibit radikalisme.

Facebook Comments