Merawat Kesaktian Pancasila

Merawat Kesaktian Pancasila

- in Narasi
2453
0

Kesaktian Pancasila bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja kepada bangsa Indonesia. Kesaktian Pancasila harus selalu diusahakan dan dirawat. Tanpa ada yang melakukannya, niscaya Pancasila tidak lagi sakti dan sekedar simbol tanpa makna. Salah satu elemen bangsa yang bisa menjadi garda depan penjaga kesaktian Pancasila adalah pemuda yang memiliki kemampuan yang besar untuk terus mempertahankan eksistensi Pancasila.

Istilah kesaktian Pancasila lahir pasca gagalnya usaha kudeta yang dilakukan kelompok PKI pada 30 September 1965. Sebab keesokan harinya (1 Oktober 1965), seluruh komponen bangsa bahu-membahu untuk melawan gerombolan pemberontak itu. Saat ini, kita memang sudah tidak memiliki musuh bersama PKI. Akan tetapi, masih banyak kelompok lain yang berusaha merongrong Pancasila. Salah satunya adalah mereka yang mengaku sebagai bangsa Indonesia, tetapi tidak mengakui dan menolak Pancasila sebagai ideologi bangsa. Bahkan berniat mendirikan negara dalam negara.

Sejarah Indonesia pun kerap diisi pemberontakan terhadap Pancasila. Misalnya pada akhir tahun 1949, muncul gerakan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo dengan gerakan Darul Islam dan menyebut pasukan pengikutnya sebaga pasukan Islam Indonesia. Pada 7 Agustus 1949, dia memproklamasikan Negara Islam Indonesia dan mengangkat dirinya sebagai Imam. Gerakan ini diikuti dengan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, tahun 1952, yang mendirikan negara Islam dibawah kepemimpinan Kartosuwiryo (Faisal Ismail, 2001:61).

Saat ini, varian gerakan yang ingin menggerus Pancasila semakin beragam. Yang membedakan, jika dahulu kelompok pemberontak tercipta akibat kondisi politik dalam negeri yang tidak stabil, saat ini kelompok pemberontak banyak yang mengimport ketidakstabilan politik luar negeri dan membawanya ke Indonesia. Artinya muncul gerakan pemberontak transnasionalis yang menjadikan Indonesia sebagai battle ground mereka.

Munculah gerakan radikal Al-qaeda Indonesia, ISIS Indonesia, dan gerakan lainnya. Kelompok-kelompok ini merupakan jaringan dari kelompok teroris yang muncul di Timur Tengah. Jadi terlihat ada usaha yang dilakukan gerakan teroris untuk memperluas konflik dan mencari pengikut di berbagai daerah.

Gerakan ini tetap menggunakan agama sebagai “barang dagangan” mereka. Agama pun dijadikan “alat promosi” untuk mendapatkan anggota. Salah satu isu yang sering mereka mainkan adalah Indonesia dianggap sebagai daerah yang tidak layak untuk ditempati oleh kaum Muslim. Sebab Indonesia tidak menjadikan syariat Islam sebagai aturan dalam berbangsa dan bernegara. Selain itu, Indonesia menggunakan ideologi negara berbentuk Pancasila. Dan Pancasila merupakan thogut karena dibuat oleh manusia dan sangat dihormati.

Pandangan provokatif bernada kebencian dan hasutan tersebut tentu saja sangat menyesatkan dan mengandung kekeliruan logika. Penduduk Indonesia tidak pernah dipaksa untuk menyembah Pancasila. Pancasila adalah konsensus bersama sebagai usaha menjaga keharmonisan seluruh penduduk Indonesia. Pancasila adalah perekat bangsa. Mematuhi Pancasila tidak bisa disimpulkan sebagai melawan agama. Justru mereka yang menolak Pancasila bisa dianggap sebagai pendosa sebab menolak aturan bersama yang telah diputuskan.

Founding father kita secara bijak telah merumuskan Pancasila agar bisa diterima semua golongan. Awalnya Pancasila dirumuskan oleh 9 tokoh. Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Soebarjo, A.A. Maramis, dan M. Yamin (mewakili kelompok nasionalis sekuler). Ada juga Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, dan Abdul Wahid Hasyim (mewakili kelompok Muslim nasionalis).

Dari hasil diskusi, berhasil dirumuskan Pancasila dengan sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Kesepakatan ini ditandatangi oleh 9 tokoh tersebut pada 22 Juni1945. Beberapa saat kemudian, Hatta mendapatkan masukan dari tokoh Kristen yang berasal dari wilayah Timur Indonesia. Menurut mereka, sila pertama sangat eksklusif bagi Muslim dan terkesan diskriminatif bagi kelompok minoritas. Hingga akhirnya, sila pertama Pancasila dirubah dan berbunyai seperti saat ini (Faisal Ismail, 2001: 51-55).

Sikap kenegarawanan dan kebijaksanaan pendiri negara patut kita teladani. Dan mereka pun bukanlah orang yang awam dalam agama. Mereka alim dalam beragama dan fasih dalam berbangsa. Mereka mampu menjembatani nilai-nilai ke-Islaman dengan konteks kekinian sehingga menghasilkan ramuan Pancasila yang elegan.

Para pemuda bangsa harus bisa mencontoh perilaku mereka. Sebab di tangan pemuda negara ini akan diwariskan. Jika ada sekelompok orang yang mengajak para pemuda untuk membenci Pancasila dan berbuat kerusakan terhadap bangsanya sendiri, sikap kaum muda adalah jelas untuk menolak dan memeranginya.

Facebook Comments