Mewaspadai Propaganda Ulama Su’

Mewaspadai Propaganda Ulama Su’

- in Narasi
2070
0

Kedudukan ulama di dunia ini adalah sebagai pewaris tunggal tahta perjuangan Nabi Muhammad. Tugasnya tentu meneruskan perjuangan dakwah, membawa berita baik, dan mengingatkan umat untuk selalu megakkan perdamaian di muka bumi ini. Hampir setiap elemen masyarakat membutuhkan kehadirannya untuk berada di tengah-tengah tumpukan problem sosial yang ditimbulkan oleh manusia. Adanya problem agama, pendidikan, ekonomi, negara, kesenian menuntut ulama untuk berperan aktif dalam mengatasinya.

Kehadiran ulama di nusantara ini memang sangat dibutuhkan, namun kaburnya makna ulama ini menjadikan masyarakat sembarangan mengklaim seseorang dengan status ulama, sehingga seolah-olah seseorang tersebut adalah ulama yang bisa membimbing masyarakat dari keterpurukan. Untuk menjelaskan fenomena ini Imam Al-Ghazali dalam kitab Ikhya’ ‘Ulumuddin membagi ulama menjadi dua kategori, yaitu ulama akhirat dan ulama dunia. Ulama kategori pertama merupakan ulama yang baik, dia adalah pewaris nabi yang menjalankan tugas dengan baik dan selalu menonjolkan keikhlasan hati serta keteguhan imannya, sehingga hal tersebut dapat meluluhkan kerasnya hati umat yang terperosok ke jurang kegelapan. Dia tidak angkuh, tidak sombong, dan selalu merangkul umat dalam ikatan ukhwah Islamiyah. Sedangkan ulama kategori kedua ialah ulama su’ (jahat), yaitu dia yang menggunakan ilmunya untuk meraih pangkat, kedudukan tinggi, dan ingin selalu mendapatkan kepuasan duniawi.

Ulama kategori kedua ini tidak lagi memikirkan tugasnya meneruskan dakwah rasulullah, tetapi dia menumbuhkan hasutan-hasutan kebencian yang menimbulkan dampak kekerasan dan problem sosial. Dia melakukan propaganda kebencian untuk menggiring umat Islam agar berpihak dan membela ambisinya. Umat dihasut untuk membenci dan menghujat kelompok-kelompok yang tidak sejalan dingan visi dan misinya, serta berusaha menumbangkannya dengan cara-cara yang keji.

Pimpinan negara, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa juga tidak lepas dari hasutannya. Para umara yang berbuat menyimpang dari ajaran agama dan pancasila justru didukung dengan menggunakan dalil-dalil agama untuk melegitimasi perbuatannya. Sehingga membuat pemerintahan semakin terpuruk dan publik carut-marut, degradasi moral, disintegrasi, dan saling membenci.
Kehadiran ulama su’ di nusantara tidak berkontribusi dalam membimbing masyarakat untuk menjunjung tinggi perdamaian dan menyelesaikan problem-problem sosial, tetapi kehadirannya justru menambah problem sosial dan menimbulkan gejolak yang hebat bagi masyarakat.

Padahal hasut-menghasut dan melakukan propaganda kebencian bukanlah karakter ulama pewaris nabi dan bu kan juga karakter bangsa Indonesia. Karakter ulama pewaris nabi dan sekaligus sebagai bangsa Indonesia ditunjukkan dengan keistikomahannya dalam membina umat menuju ke jalan yang baik dan selalu mengedepankan perdaiaman dibandingkan kekerasan.

Membentengi Masyarakat dari Ulama Su’

Masyarakat Indonesia sangat mendambakan perdamaian di nusantara ini. Dambaan kehidupan damai ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo bahwa “Kita semuanya kan ingin selalu ingin menikmati indahnya perdamaian, indahnya persaudaraan. Karena ini memang anugerah Allah kepada kita”(news.liputan6.com/13/11/16).

Anugerah ini harus benar-benar kita rawat dengan baik, agar tidak tercerabut dari bumi nusantara ini. Oleh Karena itu masyarakat Indonesia harus dibentengi dari pengaruh-pengaruh dan iming-iming surga ulama su’, yang bisa jadi berasal dari kelompok radikal. Mereka harus memiliki pengetahuan yang luas agar jeli dalam menentukan kategori ulama. Sehingga pada nantinya mereka tidak salah menjadikan ulama sebagai panutannya. Membentengi masyarakat dari propaganda ulama su’ bisa melalui tiga hal, yaitu:

Pertama, mengoptimalkan peran ulama akhirat. KH. Hasyim Muzadi mantan Ketua PBNU menyatakan bahwa “Kalau tidak ulama yang berhati ulama, maka tidak nyambung. Kalau yang diutus orang politik maka yang muncul lebih ke politik”. Pernyataan ini ditujukan kepada Presiden untuk mengutus ulama yang berhati ulama untuk negosiasi dengan kelompok-kelompok pendesak penegakan hukum Ahok (news.liputan6.com/14/11/16). Dari hal tersebut jelas bahwa ulama yang baik ini sangat dibutuhkan kehadirannya untuk memberikan pembinaan yang baik dan mencerahkan pola fikir masyarakat dari teka-teki persoalan yang ada. Optimalisasi peran ulama akhirat ini harus dilakukan guna mengimbangi propaganda ulama’ su, dan bahkan menyadarkannya.

Kedua, pendidikan. Dunia pendidikan sebagai tempat yang sentral untuk membina para masyarakat. Dari sini para ulama akhirat bisa membekali pendidikan agama Islam lebih dalam, terutama mengenai kriteria ulama akhirat dan ulama dunia. Di sini organisasi masyarakat juga menjadi tonggak dalam menyelenggarakan pendidikan ini.

Ketiga, pemerintah (umara) melalui Kemenag perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan mengenai sosialisasi bahaya ulama su’, pendampingan dan penanggulangannya agar tidak terjadi seperti kasus Dimas Kanjeng yang telah menipu banyak orang.

Dengan demikian, masyarakat nusantara bisa memiliki kemampuan menganalisa mengenai siapa, apa latar belakangnya, dari mana asalnya, dari mana belajarnya dan bagaimana ulama yang menjadi panutannya. Sehingga kedepannya tidak banyak yang terhasut oleh ulama su’ dan bisa ikut andil menyadarkannya. Semoga

Facebook Comments