Penduduk “Kafir” di Negara Pancasila

Penduduk “Kafir” di Negara Pancasila

- in Narasi
5136
0

“Perang, Jihad dan Kafir” adalah kosa kata yang paling populer di abad ini. Perang, bahasa Indonesia, sementara Jihad dan Kafir adalah bahasa Arab. Bahkan, term jihad ini oleh sebagian kelompok dianggap “rukun keenam” dalam Islam.

Konsep Jihad dan Kafir di abad ini memang sudah sulit didefinisikan karena mengalami reduksi atau distorsi yang berawal dari sejarah konflik dan kompetisi panjang Islam awal, ditambah lagi kebijakan dan sikap Barat terhadap dunia Islam,—yang oleh sebagian analis justru memberikan tambahan amunisi bagi reaksi semakin kencang dari kalangan teroris dan salafi jihadis.

Kalangan Muslim sendiri memang sejak awal hingga kini menyikapi makna Jihad dalam dua dimensi; jihad ashghar yang merujuk kepada perang, dan jihad akbar dalam bentuk segala aktivitas batin untuk menyucikan jiwa dari segala ketidaksempurnaan. Al-Qur’an sendiri menyebut term Jihad dengan semua derivasinya sebanyak 41 kali. Jihad secara bahasa, artinya bersungguh-sungguh atau berjuang. (John L. Esposito, 2010, h. 85).

Faktor belakangan menunjukkan bahwa istilah jihad mengalami distorsi serta digunakan sebagai alat legitimasi untuk pengeboman oleh kalangan radikalis yang mengartikan jihad sebagai perang (harb). Bahkan, mereka mengatakan bahwa pemboman itu adalah teror atas nama jihad. Abdullah Azam, misalnya, mengatakan bahwa satu-satunya makna jihad fisabilillah adalah qital fisabilillah atau perang (harb). Abdullah Azam seraya mengutip pendapat Ibnu Taimiyah, (Abdullah Aazam, 2001, h. 61);

”Jika musuh telah memasuki satu tanah Islam, maka tidak ada keraguan lagi bahwa menjadi kewajiban bagi mereka yang paling dekat dengan negeri tersebut untuk bangkit mempertahankan diri melawan musuh, kemudian kewajiban ini berlaku atas mereka yang berada di sekelilingnya, kemudian sekelilingnya mereka lagi… demikian seterusnya, karena seluruh tanah Islam itu hakikatnya adalah satu negeri”.

Sementara term “Kafir” dalam al-Qur’an sendiri disebut sebanyak 525 kali,—bermakna tidak mensyukuri nikmat Tuhan, atau orang yang hidupnya selalu dalam kehitaman dan kegelapan. Istilah “kafir” ini pertama kali digunakan dalam al-Quran untuk menyebut para kafir Mekkah dan bahkan dalam al-Quran terdapat surat khusus yang ditujukan untuk orang-orang kafir yang terdapat pada surat Al-Kafirun. Jika ditinjau dari segi bahasa, kata kafir tidak selamanya berarti non-muslim. Di kalangan fukaha (ahli fiqh), arti kafir dikaitkan dengan masalah hukum. Misalnya, mereka membuat klasifikasi mengenai orang yang termasuk kafir berdasarkan hukum Islam dan status mereka apabila berada di bawah pemerintahan Islam. (Azyumardi Azra, 1994, h. 36).

Shalih bin Fauzan mendefinisikan kata “kafir” atau “kufur” adalah orang yang tidak beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya. Seseorang yang disebut kafir, berarti ia telah keluar dari Islam. (Shalih bin Fauzan, 2000, h. 14-19).

Pemahaman Kafir seperti diungkap oleh Shalih di atas inilah yang kemudian dijadikan sebagai rujukan kelompok Islam radikal. Bagi mereka, siapapun yang tidak menerapkan syari’at Islam di muka bumi ini, maka mereka dapat dikategorikan sebagai orang-orang kafir, terlebih lagi bagi non-muslim. Bagi kelompok ini, hanya ada dua konsep dalam menghadapi orang-orang kafir, yaitu; amar ma’ruf nahi munkar, dan jihad fi sabilillah. Jika langkah pertama gagal, maka jihad fi sabilillah adalah alternatif terakahir. Oleh karenanya, kelompok ini memahami makna jihad sinonim dengan kata qatl (membunuh/qital fisabilillah) dan harb (perang).

Tak Ada Penduduk Kafir

Tradisi damai dan komitmen dalam menjaga toleransi di negeri Pancasila ini memang mendapat tantangan kuat, akibat derasnya laju paham salafi jihadisme dan terorisme yang berisifat transnasional yang acap kali memaknai jihad sama dengan qatl, meskipun pada dasarnya, dua istilah ini mempunyai maksud yang berbeda.

Prof. Abd. A’la menegaskan bahwa Jihad tidak bisa disimplifikasi sebagai sinonim kata qatl (membunuh), qital dan harb (perang). Perang selalu merujuk kepada pertahanan diri (hifz an-nafs) dan perlawanan yang bersifat fisik, sementara jihad memiliki makna yang kaya nuansa. Sementara qital sebagai terma keagamaan baru muncul pada periode Madinah, sementara jihad telah menjadi dasar teologis sejak periode Mekkah. (Abd. A’la, 1999).

Sementara konsep kafir, Fahmi Huwaidi dalam bukunya Muwathinûn lâ dzimmiyyûn, sebagaimana dikutip Ahmad Hadidul Fahmi, menarik untuk dipelajari. Menurutnya, sekarang tidak ada lagi term kafir dzimmi, diganti dengan warga negara yang disatukan oleh nasionalitas (muwâthin). Pendapat ini sudah barang tentu berakibat pada hilangnya istilah yang menyertai kafir dzimmi: Dar al-Islam, Dar al-Kufr atau Kafir Harbi itu sendiri. Huwaidi melanjutkan, bahwa toleran harus lebih dari sekadar berbuat baik, tetapi naik pada level ideologi.

Dengan demikian, benar apa yang dikatakan Akhmad Sahal, bahwa di dalam NKRI tak ada tempat bagi sebutan “kafir”, karena status mereka adalah warga negara (citizen) yang disatukan oleh paham nasionalisme, bukan kafir dzimmi, apalagi kafir harbi, (geotimes18/2), karena Indonesia menganut ideologi Pancasila, dan negara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

Kerana itu, lembaga pendidikan tinggi dan lembaga pendidikan Islam tertua (Pesantren) di Indonesia, serta organisasi sosial-keagamaan dan kemasyarakatan, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Sarekat Islam (SI), Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah, sebagai organisasi berdasarkan nilai-nilai Islam untuk menjadi bagian dari civil society atau civil Islam untuk terus-menerus aktif mensyiarkan dan menjelaskan konsep Jihad, Kafir, Qatl, Harb serta Irhab, sembari juga menyebarkan berita kasih dan konsisten menyerukan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin.

Semangat dan jihad untuk menanamkan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin di negara Pancasila ini harus terus-menerus dilakukan, meskipun jihad itu tidak semudah membalik telapak tangan. Namun, dengan komitmen yang kuat, ketulusan dan ketekunan dari umat Islam Indonesia menjadi modal utama yang sangat diharapkan demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak semua negara di dunia mampu melakukan. Wallahu A’lam bi as-Shawab.

Facebook Comments