Pesantren, Islam Nusantara, dan Nasionalisme Santri (3)

Pesantren, Islam Nusantara, dan Nasionalisme Santri (3)

- in Budaya, Peradaban
4647
0

Selain menyerap ajaran Kapitayan, Wali Songo dalam proses Islamisasi menyerap dan mengambil-alih lembaga pendidikan Syiwa-buddha yang disebut Asrama dan Dukuh menjadi Pondok Pesantren. Hal itu terjadi karena Wali Songo yang adalah para guru tasauf mampu memformulasikan nilai-nilai sosio-kultural religius yang dianut masyarakat Syiwa-buddha dengan nilai-nilai Islam, terutama memformulasi nilai-nilai Tauhid Syiwa-buddha (adwayasashtra) dengan ajaran Tauhid Islam yang dianut para guru sufi.

Dengan kewaskitaan seorang arif yang sudah tercerahkan, para Wali Songo mengambil alih sistem pendidikan Syiwa-buddha yang disebut Dukuh, yaitu pertapaan untuk mendidik calon pendeta yang disebut wiku. Naskah-naskah berjudul Silakrama, Tingkahing Wiku, dan Wratisasana yang berasal dari era Majapahit, memuat tatakrama siswa di Dukuh dalam menuntut pengetahuan, yang disebut Gurubhakti yang berisi tatatertib, sikap hormat dan sujud bakti yang wajib dilakukan para siswa kepada guru ruhaninya.

Para siswa, dalam tatakrama itu, tidak boleh duduk berhadapan dengan guru, tidak boleh memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang diucapkan guru, mengindahkan nasehat guru meski dalam keadaan marah, berkata-kata yang menyenangkan guru, jika guru datang harus turun dari tempat duduknya, jika guru berjalan mengikuti dari belakang, dsb. Ketundukan siswa kepada guru adalah mutlak.

Gagasan gurubhakti dalam Silakrama mencakup tiga (triguru), yaitu orang tua yang melahirkan (guru rupaka), guru yang mengajarkan pengetahuan ruhani (gurupangajyan), dan raja (guruwisesa). Gagasan ini kita, sampai sekarang masih temukan dalam masyarakat muslim di Madura yang mengenal konsep bapa-babu-guru-ratu. Yang paling beroleh penghormatan dari ketiga guru itu adalah gurupangajyan, karena gurupangajyan telah membukakan kesadaran kedua untuk mengenal kehidupan di dunia dan akhirat hingga mencapai moksha.

Khusus untuk gurupangajyan di Dukuh-dukuh yang mengajarkan laku spiritual dan berhak melakukan diksha (baiat) disebut dengan gelar Susuhunan. Demikianlah, guru-guru sufi di masa silam mendapat gelar susuhunan; Dukuh disebut Pesantren – tempat para santri belajar – di mana santri adalah adaptasi dari istilah sashtri yang bermakna orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra) sebagaimana dikemukakan C.C. Berg (dalam Gibb, 1932:257); sementara tatakrama dalam menuntut pengetahuan (gurubhakti) diwujudkan dalam aturan-aturan yang terdapat dalam kitab Ta’limul Muta’alim karya Syaikh Ibrahim Ibnu Ismail.

Seorang wiku diharuskan bersifat satya yaitu jujur, tidak bicara kotor (wakparusya), ucapannya tidak menyakitkan hati, tidak memaki, tidak menggerutu dan menyumpahi, tidak berdusta (ujarmadwa). Satya juga bermakna taat dan setia melakukan brata yang terkait dengan makanan, minuman, tatacara berpakaian, tempat tinggal, hingga perhiasan yang disebut sebagai satyabrata. Di antara isi satyabrata yang sangat mirip syariat Islam adalah yang menyangkut halal dan haramnya makanan (tan bhaksanan) dan minuman (apeya-peya), di mana seorang wiku diharamkan memakan: daging babi peliharaan (celengwanwa), anjing (swana), landak, biawak, kura-kura (kurma), badak (warak), kucing (kuwuk), tikus, ula, macan, kukur (ruti), kalajengking (teledu), kera (wre), rase, tupai (wut), katak (wiyung), kadal (dingdang kadal), hewan melata, burung buas (krurapaksi), burung gagak (nilapaksi), lalat (laler), kepinding (tinggi), kutu (tuma), ulat atau cacing tanah (bhuhkrimi), dsb.

Seorang wiku tidak boleh memakan makanan yang tidak suci (camah) atau menjijikkan dan diragukan kesuciannya. Selain makanan, seorang wiku juga wajib menghindari minuman keras yang memabukkan seperti arak, nira, anggur, brem, ciu. Demikianlah, ajaran Yamabrata ini sampai sekarang dapat kita saksikan dalam kehidupan para santri di pesantren.

Bagian akhir sesudah aharalaghawa adalah asteya, yaitu tidak mengikuti hasrat hati untuk memiliki hak milik orang lain bahkan terhadap hak binatang sekalipun. Silakrama menyebut, jika seorang wiku mengambil milik orang lain tanpa ijin (panolong-nolongan), mencuri (malinga), mengutil (angutil), menadahi hasil kejahatan (anumpu), merampok (ambegal), melakukan tindak kriminal (corah), merampas (angalap), berkawan pencuri (amitra maling), meminjam tidak mengembalikan (anelang drewyaning sanak tan pangulihaken), utang-piutang dengan bunga (rna-rni), berjudi (ajudi), dan perbuatan nista lain, maka ia akan jatuh martabat dan kehormatannya (panten). Wiku yang panten akan dikucilkan, tidak boleh dilihat (tan wenang tinghalana) dan tidak boleh diajak bicara (sabhasanen).

Pengaruh terbesar kehadiran para pengungsi Campa muslim di Indonesia adalah terjadinya asimilasi budaya Campa ke dalam tradisi keagamaan di Indonesia. Salah satu ciri tradisi keagamaan Campa yang dianut di Indonesia adalah diserapnya kebiasaan Campa untuk memperingati orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000. Tradisi Garebeg Suro dan Garebeg Maulud yang dijalankan sejak abad ke-15 adalah usaha asimilasi untuk membumikan ajaran Islam (Cabaton, 1981).

Asimilasi terhadap kepercayaan muslim Campa, terlihat dari keberadaan makhluk-makhluk halus yang diyakini hidup di sekitar manusia Jawa. Menurut Edi Sedyawati (1994) kepercayaan orang-orang Majapahit terhadap makhluk halus terbatas pada makhluk-makhluk yang dianggap setengah dewa seperti yaksha, raksasa, pisaca, pretasura, gandharwa, bhuta, khinnara, widhyadara, mahakala, nandiswara, caturasra, rahyangta rumuhun, sirangbasa ring wanua, sang mangdyan kahyangan, sang magawai kedhaton.

Sementara kepercayaan orang Campa muslim meliputi berbagai jenis makhluk halus seperti gandharwa, kelong wewe, kuntilanak, pocong, tuyul, kalap, siluman, jin muslim, hantu penunggu pohon, arwah penasaran. Di dalam proses asimilasi itu, orang-orang Indonesia terpengaruh oleh kepercayaan takhayul khas Campa seperti percaya terhadap hitungan suara tokek, tabu mengambil padi di lumbung pada malam hari, menyebut harimau dengan sebutan “eyang”, dsb.

Facebook Comments