Posisi Turki di Antara Kubu Arab Saudi dan Iran (Bagian Pertama)

Posisi Turki di Antara Kubu Arab Saudi dan Iran (Bagian Pertama)

- in Narasi
3680
0

Sebelum munculnya upaya kudeta militer Turki terhadap Erdogan bebera waktu lalu, konstalasi politik yang paling menarik di Timur Tengah adalah kompetisi dua kubu besar yaitu Arab Saudi dan Iran. Berbagai konflik di beberapa negara Timur Tengah seperti Suriah dan Yaman yang tak kunjung usai, ditengarai dipicu oleh adanya intervensi mendalam oleh dua kepentingan besar. Sebut saja di Suriah, intensitas dukungan Iran terhadap rezim Syiah Assad dan sokongan Arab Saudi terhadap oposisi militer Sunni semakin memperunyam masalah. Sebenarnya, Turki digadang-gadang oleh berbagai pemimpin negara dan pengamat untuk bisa menengahi kedua kubu yang berseteru. Namun, harapan itu bisa saja sirna dengan persoalan internal yang dihadapi Turki saat ini.

Perseteruan Arab Saudi dan Iran dalam beberapa waktu terakhir memang tidak bisa dielakkan. Dalam konferensi Organisasi Konfrensi Islam (OKI) yang berlangsung di Turki pertengahan April 2016 lalu, ada hal menarik yang perlu dicermati terkait dengan posisi Iran dan negara-negara Timur Tengah di tengah krisis yang berkepanjangan yang mereka hadapi saat ini. Dalam Konferensi tersebut, Iran mengundurkan diri karena salah satu isu utama yang didiskusikan dan kemudian menjadi keputusan Konferensi adalah bahwa Hizbullah di Lebanon yang didukung oleh Iran merupakan organisasi pro kekerasan yang mengancam stabilitas politik di wilayah tersebut.

Penolakan Iran terhadap keputusan Konferensi, bagi penulis, tidaklah mengherankan. Jauh sebelumnya, pengamat sudah memetakan dengan jelas bahwa krisis yang terjadi di Timur Tengah saat ini diwarnai oleh kompetisi dua kubu. Kubu Iran berusaha untuk memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah dengan melakukan intervensi di beberapa negara seperti Suriah, Lebanon dan Yaman. Sedangkan kubu yang dipimpin oleh Arab Saudi dan didukung oleh aliansi negara-negara teluk berkepentingan untuk menghentikan pergerakan Iran dalam meperkuat hegemoninya di wilayah tersebut.

Kompetisi ini sebenarnya sudah lama terjadi. Namun, perkembangannya menjadi lebih mencolok sejak beberapa tahun terakhir. Sejak terjadinya Arab Spring, mulai dari Afrika Utara sampai semenanjung Arab yang diiringi oleh perang saudara di beberapa negara Timur Tengah, peta perebutan kekuasaan dua kubu di wilayah tersebut semakin menegang. Perang saudara (civil war) yang terjadi di Suriah antara Rezim Assad dan kelompok aposisi tidak bisa dilepaskan dari peran Iran yang mendukung penguasa. Begitu pula di Yaman, Iran juga memainkan peran dengan menyokong kelompok pemberontak Hauti yang menentang kekuasaan Presiden Abdurabbuh.

Peran Amerika?

Dalam kompetisi tersebut, keberadaan dan peran Amerika sangat menentukan terutama bagi Arab Saudi dan sekutunya. Siapa yang mampu memperoleh dukungan Amerika maka peluangnya untuk memenangkan persaingan akan lebih besar. Bagi Arab Saudi dan negara-negara teluk penghasil minyak lainnya, nilai tawarnya terhadap Amerika dianggap begitu besar sehingga mereka optimis Amerika akan selalu mendukungnya dalam menghadapi konflik dengan Iran. Memang sudah lama hubungan bisnis Arab Saudi dengan Amerika terjalin. Karena kuatnya hubungan bisnis tersebut, Arab Saudi dan sekutunya mengharapkan hubungan baik itu dapat diperluas dengan dukungan politik dalam konflik yang terjadi saat ini.

Di sisi lain, kita juga melihat bahwa Iran saat ini mempunyai nilai tawar yang cukup tinggi bagi Amerika. Nilai tawar tersebut berkaitan dengan proyek senjata nuklir yang dikembangkan oleh Iran. Amerika dan sekutunya sampai saat ini terus melakukan negosiasi dengan Iran agar menghentikan proyek nuklirnya tersebut. Karena persoalan nuklir ini, Arab Saudi dan sekutunya menyimpan rasa khawatir yang begitu mendalam jangan sampai terjadi deal-deal politik tertentu antara Amerika dengan Iran terkait persoalan nuklir sehingga kemudian secara politik berpihak kepada Iran.

Ketakutan Arab Saudi ini memang cukup beralasan karena sampai saat ini, Amerika kelihatannya belum tertarik untuk terlibat mendukung salah satu kubu, Arab Saudi atau Iran. Arab Saudi takut terjadinya konspirasi baru di Timur Tengah yang mengantarkan Amerika mendukung Iran menjadi kekuatan hegemoni baru di wilayah mayoritas Sunni tersebut. Dalam teori konspirasi, dukung-mendukung dan kerjasama antara kekuatan politik bisa saja terjadi dalam berbagai bentuk, tergantung kepentingan kelompok politik masing-masing.

Aroma ketidakharmonisan Amerika dengan aliansi teluk belakangan ini juga sudah tercium. Dalam pertemuan pemimpin dan menteri-menteri luar negeri anggota Gulf Cooperation Council (GCC) atau Majelis Kerjasama Teluk pada bulan Mei 2015, Amerika Serikat yang hadir dalam pertemuan tersebut tidak memberikan pernyataan jelas bahwa ia akan berada di belakang negara-negara Teluk dalam berbagai konflik yang dihadapi.

Dari sikap Amerika tersebut bisa dipahami bahwa Amerika tidak memberikan signal dukungan militer terhadap Arab Saudi dan sekutunya. Amerika tidak ingin memberikan blank cheque (cek kosong) kepada Arab Saudi dan sekutunya untuk memberikan dukungan militer dalam konflik yang mereka hadapi, termasuk mendukung Arab Saudi dan sekutunya dalam konflik Suriah dan Yaman. Alhasil, sampai saat ini, sikap dualisme yang diperlihatkan Amerika terhadap kedua kubu masih menyulitkan kita untuk bisa meramalkan kubu manakah yang lebih cepat menancapkan hegemoninya di Timur Tengah ke depan.

Facebook Comments