Ramadhan dan Indonesia

Ramadhan dan Indonesia

- in Kebangsaan
4163
0

Ramadhan punya tempat tersendiri di hati umat muslim di penjuru jagat raya. Di bulan penuh kasih sayang dan ampunan ini, sejumlah peristiwa penting dan bersejarah umat Islam pernah terjadi. Awal dilantiknya Rasulullah bersama dengan turunnya wahyu pertama berlangsung saat sedang ber-khalwat di Gua Hira di salah satu malam Ramadhan di tahun ke-13 Sebelum Hijrah.

Pun jelang akhir masa kenabian, penaklukan Kota Mekah dan tumbangnya rezim paganisme di tahun ke-8 Hijrah terjadi di bulan yang sama. Tak hanya momentum sejarah, peristiwa penetapan sejumlah syariat agama juga terjadi di bulan ini. Di tahun ke-2 Hijrah saja setidaknya ada tiga macam syariat agama yang dideklarasikan Allah: Zakat, Jihad, dan tentu saja puasa.

Bagi umat Islam Indonesia, kekhususan Ramadhan semakin bertambah. Ramadhan tak hanya bermakna spiritual keislaman semata. Di negeri ini, Ramadhan punya kisah sendiri seiring perjalanan berbangsa. Pasalnya, momen maha penting bagi bangsa ini ditakdirkan terjadi di bulan Ramadhan. Ya, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia di 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H.

Dengan demikian, rentetan peristiwa lainnya di sekitaran proklamasi juga terjadi di bulan Ramadhan. Hancurnya kota Nagasaki di Jepang akibat serangan nuklir Amerika Serikat pada 9 Agustus bertepatan dengan 1 Ramadhan. Sehari setelahnya pada 10 Agustus atau 2 Ramadhan, Soekarno dan Hatta terbang ke Vietnam untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan Wakil Pemerintah Kolonial Jepang Asia Pasifik, Marsekal Terrauchi, di Sangon Vietnam.

Berselang hanya empat hari dari pertemuan itu, pada 14 Agustus atau 6 Ramadhan, Jepang resmi menyerah dan mengaku kalah perang dari pasukan sekutu. Sejumlah pemuda Indonesia berhasil mengetahui kekalahan tersebut. Dengan sigap mereka langsung berunding mengatur siasat mempercepat deklarasi kemerdekaan Indonesia.

Tanggal 7 Ramadhan malam atau 15 Agustus sejumlah pemuda pimpinan Wikana mendatangi kediaman Soekarno di Pegangsaan untuk memintanya mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Maklum, saat itu sedang terjadi kekosongan kekuasaan di tanah air. Setelah melakukan perdebatan alot sepanjang malam, pada dini para pemuda revolusioner ini membawa Soekarno beserta keluarganya ke Rengasdengklok Karawang. Ikut bersama Soekarno adalah bung Hatta.

Para pemuda berfikir untuk membawa kedua pemimpin bangsa menjauh dari Ibukota lantaran khawatir jika keduanya dimanfaatkan oleh musuh demi kepentingan kolonialisme. Mereka juga khawatir keselamatan keduanya, karena saat itu hanya kedua bapak bangsa inilah yang paling dianggap pantas mempersatukan seluruh kekuatan Indonesia.

Soekarno dan Hatta baru kembali ke Ibukota sehari setelahnya, pada 16 Agustus atau 8 Ramadhan, dengan dijemput oleh Mr. Achmad Soebardjo. Di hari yang sama Soekarno dan Hatta setuju untuk mempercepat deklarasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Sesampainya di Ibukota pada malam hari, demi alasan keamanan, kedua pemimpin dan sejumlah tokoh nasional langsung menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda. Dia adalah salah satu petinggi militer Jepang yang ‘agak’ memihak perjuangan bangsa Indonesia dengan memberi jaminan keamanan bagi semua yanng hadir membahas proklamasi di rumahnya.

Sepanjang malam para tokoh ini membahas naskah proklamasi. Menjelanng waktu subuh naskah tersebut selesai yang telah disepakati kata per kata diketik ulang oleh Sayuti Melik. Menurut cerita bung Hatta, naskah proklamasi yang sudah diketik itu ditandatangani sekitar setengah jam sebelum waktu subuh. Soekarno dan Hatta membubuhkan tanda tangannya di teks tersebut sambil santap sahur.

Pukul 05.00 pagi 17 Agustus atau 9 Ramadhan para pemimpin meninggalkan rumah Maeda untuk bersiap membacakan teks proklamasi pada pukul 10.00. Sesampainya di rumah, Soekarno merasa sedang tidak sehat, penyakit malaria yang ia derita dirasa sedang kambuh akibat terlalu capek dan padatnya aktifitas beberapa hari belakangan.

Menurut sejumlah keterangan, karena sakitnya pada hari itu Soekarno membatalkan puasanya. Pada jam 8 pagi, ia diperiksa oleh dokter pribadinya, dr. Soeharto. Sang dokter menyuntikan sejumlah cairan obat ke dalam darahnya untuk menurunkan demam yang sangat tinggi. Soekarno pun menenggak pil brom chinine untuk mengurangi rasa sakit yang ia derita. Ia beristirahat dan baru keluar saat proklamasi akan dibacakan.

Soekarno punya cerita unik soal penentuan tanggal 17 Agustus sebagai hari proklamasi. Menurutnya, ia dan bung Hatta sudah terfikir untuk memilih tanggal 17 Agustus. Pasalnya, tanggal itu adalah tanggal ‘keramat’. Bukankah angka 17 adalah angka saat Alquran diturunkan? Bukankah jumlah rakaat dalam shalat fardhu berjumlah 17 rakaat dalam sehari? Apalagi takdir juga mengarahkan bahwa pada hari itu (17 Ramadhan) bertepatan pada hari Jumat sebagai hari mulia umat Islam.

Dengan demikian, nasionalisme umat Islam Indonesia harusnya tidak bisa ditawar lagi dan tidak pantas untuk dinegosiasikan dengan apapun. Karena sesungguhnya kelahiran bangsa ini dibangun di atas dasar nilai-nilai dan simbol keislaman. Jika para pendiri bangsa menjadikan Islam sebagai alat pemersatu kehidupan bangsa dan bernegara, kenapa sekarang justru banyak orang yang ingin memecah belah hubungnan antara Islam dan agama?! Ironis memang!

Facebook Comments