SARING SEBELUM SHARING

SARING SEBELUM SHARING

- in Narasi
2031
0

Era teknologi informasi dan booming media sosial memberikan implikasi hadirnya banjir informasi. Informasi dalam bentuk apapun dan dari mana saja berseliweran tidak kenal jeda. Indonesia dengan pengguna teknologi informasi dan media sosial yang besar turut menjadi surga bagi kebebasan ekspresi dan tukar informasi.

Indonesia menduduki peringkat ke-6 terbesar di dunia dalam hal jumlah penjelajah internet. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menjelaskan pengguna internet di Indonesia telah mencapai 88,1 juta. Dimana, 48 persen di antaranya merupakan pengguna internet harian dan 79 juta merupakan pengguna aktif media sosial.

Tahun 2017 ini pejelajah online ataunetterIndonesia bakal mencapai 112 juta orang (eMarketer, 2016). Jika terjadi, angka ini akan mengalahkan Jepang di peringkat ke-5 yang pertumbuhan jumlah pengguna internetnya lebih lamban.

Laju informasi yang tidak terkendali seiring dan mengiringi dinamika sosial politik global, regional, nasional, hingga lokal. Fenomena ini tentu memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif akan didapatkan jika informasi mengandung konten positif dan dioptimalkan oleh penggunanya. Sebaliknya jika, konten informasi negatif dan disalahgunakan tentunya akan berdampak luas. Dampak ini bahkan melampui prediksi geografis dan berlangsung cepat.

Untuk itu dua komponen penting yang menentukan positif-negatifnya implikasi informasi adalah sumber dan pengguna. Dalam konteks dunia maya dan media sosial bahkan lebih banyak ditentukan oleh penyebar. Penyebaran informasi yang sesuai sumber masih mudah dideteksi. Hal yang menyulitkan jika terus dibumbui informasi lain dalam mata rantai informasi. Bumbu yang kontroversial dan mengaduk psikologi umumnya mempercepat laju informasi. Apalagi jika bumbu tersebut provikatif dan membuat penasaran pengguna.

Fakta ini tidak lantas menakut-nakuti pengguna agar menghindari informasi atau pemanfaatan media online dan media sosial. Semua efek negatif dapat diredam dengan mudah jika menggunakan kunci penyaringan informasi. Setiap menerima informasi disarung dahulu sebelum disebar atau disharingkan.

Kaidah menyaring informasi tidak luput dari tuntunan agama. Dalam Islam telah diatur melalui Al-Qur’an Surat Al Hujurat ayat 6. Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk tidak begitu saja menerima dan membenarkan informasi yang datang kepadanya, khususnya jika informasi itu datang dari seseorang atau lembaga yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut sebagai “fasiq”. Orang fasiq dicurigai sebagai sumber kebohongan dan agar keraguan tidak menyebar di kalangan kaum muslimin hingga menodai informasi.

Era sekarang ini berita bohong atau tidak berdasar lazim disebut hoax. Sumbernya sering tidak jelas dan tidak kredibel. Banyak juga yang awalnya suatu informasi benar dan biasa saja, namun disebarkan dengan dipelintir. Alhasil, informasi yang menyebar berbeda dengan fakta. Konten informasi seperti ini rentan menebarkan fitnah.

Pada zaman Rasulullah SAW pernah terjadi, sahabat yang akhirnya menyesal dan bertaubat. Sahabat tersbeut pernah terlibat dalam upaya menyebarkan kabar dusta (haditsul ifki). Saat itu, Aisyah radhiyallahu ‘anha diisukan berselingkuh dengan sahabat Sofwan, setelah Aisyah tertinggal rombongan perang akibat mencari kalungnya yang hilang. Fitnah itu dihembuskan dengan cepat oleh seorang munafik bernama Abdullah bin Ubay. Efeknya beberapa muslim yang termakan fitnah itu lalu turut menyebarkannya.

Allah SWT mengancam keras bagi sumber dan penyebar berita bohong. Sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar (QS. At-Tahrim : 8).

As-Sa’di membagikan sumber (media) berita kepada tiga klasifikasi. Pertama, berita dari seorang yang jujur yang secara hukum harus diterima. Kedua, berita dari seorang pendusta yang harus ditolak. Ketiga, berita dari seorang yang fasik yang membutuhkan klarifikasi, cek dan ricek akan kebenarannya.

Urgensi “saring sebelum sharing” menuntut konsekuensi dilakukannya literasi teknologi infomasi. Aspek fundamental yang mesti dijadikan pegangan adalah literasi berbasis teologi. Hal yang tidak kalah penting adalah mempelajari prinsip jurnalisme serta hukum positif.

Yusuf (2015) menjelaskan bahwa masyarakat dilihat bukan lagi sekadar konsumen pasif media, namun prosumen: produsen sekaligus konsumen informasi, khususnya dalam membuatstatus-share, tweet-retweet, path-repath, termasuk kemampuan menyebarluaskan berita hanya dengan menekan satu tombol. Untuk itu dalam Poin terakhir dari 10 Elemen Jurnalisme adalah “Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita”.

Hukum positif yang penting dipahami adalah Undang-Undang No.19 Tahun 2016tentang Perubahan atas UU No.11 tahun 2008tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Jangan sampai kita selaku pengguna yang tidak tahu menahu justru terjerat pidana. Hanya karena tidak menyaring informasi.

Facebook Comments