Spirit Pesantren Melawan Hoax

Spirit Pesantren Melawan Hoax

- in Kebangsaan
2915
0

Merebaknya jejaring sosial melalui dunia maya memungkinkan setiap orang berekspresi bebas tanpa batas. Arus informasi hilir-mudik memadati ruang kehidupan, memenuhi sudut aktifitas manusia. Pertukaran pengetahuan dari satu orang ke orang lain begitu cepat, tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Dunia seakan menjadi kampung besar tanpa sekat sehingga memungkinkan setiap orang saling berinteraksi.

Sayangnya, kebebasan berekspresi tidak diimbangi dengan kecerdasan bermedia. Arus informasi yang mengalir menjadi liar ketika menemukan ruang, terutama di media sosial. Berita-berita yang ditampilkan tidak jarang berisikan isu-isu hoax yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Parahnya, berita tersebut dishare, disebar ke banyak orang, tanpa mempedulikan efek yang ditimbulkan.

Isu yang berkembang tidak jarang menyinggung persoalan rasial, pelecehan, penistaan agama, dan fitnah kepada pihak lain. Maka bisa dipastikan efek yang ditimbulkan yakni keresahan. Jika keresahan ini menggunung menjadi ke-chaos-an massal, maka sangat mungkin disintegrasi bangsa akan terjadi. NKRI yang telah diperjuangkan dengan jutaan nyawa, hanya tinggal puing-puing nama saja, sementara jasadnya terkubur dalam perang dan perpecahan.

Spirit Pesantren

Isu hoax yang hari ini berkembang begitu pesat sungguh telah membuat gaduh kehidupan bangsa. Karenanya perlu kesadaran bersama agar memiliki sikap bijak dalam bermedia. Dalam hal ini, spirit pesantren patut menjadi teladan. Ratusan tahun sejak berdirinya, pesantren telah mewariskan nilai-nilai anti hoax yang terus dipupuk lestari hingga hari ini. Nilai-nilai tersebut diantaranya adalah :

Pertama, informasi pengetahuan yang dibangun di pesantren berbasis ilmiah, yakni melalui kitab para ulama dari masa dahulu hingga sekarang, yang lazim disebut kitab kuning. Tradisi berkitab kuning telah mengakar sekian lama sehingga keilmuan pesantren bisa dipertanggung jawabkan rujukannya. Kitab kuning yang dalam pandangan Martin van Bruinessen, tidak hanya menjadi referensi pengetahuan pesantren, tetapi juga membentuk sikap dan pandangan hidup santri dan kiai. Kitab kuning pun telah membentuk iklim ilmiah di pesantren.

Tradisi mengambil rujukan dari kitab kuning semestinya bisa menginspirasi para pengguna media sosial. Di dalam menyebarkan informasi harus dirujuk dulu sumber yang jelas dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Sumber yang tidak absah, tidak disertai rujukan, tidak perlu dishare. Apalagi informasi yang berbau sara dan penistaan, jelas harus dirujuk sumber yang jelas agar tidak menimbulkan fitnah.

Kedua, keilmuan pesantren memiliki mata rantai (sanad) yang sambung-menyambung dari satu guru ke guru yang lain. Pesantren berpedoman bahwa ilmu, terutama ilmu agama, akan dipertanggung jawabkan dunia akhirat. Karena itu, harus jelas siapa guru yang mengajarkannya, dan dari mana guru tersebut mendapat ilmu. Jika jelas mata rantai keilmuan yang dimiliki sang guru, maka ia bisa menggali ilmu darinya. Karena itu, bisa kita teliti antar pesantren satu dengan yang lain pasti memiliki hubungan guru.

Nilai-nilai ini harus kita implementasikan dalam bermedia sosial. Informasi yang kita terima harus diperjelas dari siapa kita mendapatkannya. Dengan cara ini, maka kita tidak mudah terprovokasi untuk menyebarkan isu sebab pertanggung jawabannya berat. Sebelum kita share, isu harus kita saring mana yang benar-benar valid dan mana yang hoax.

Ketiga, dalam pesantren diajarkan nilai-nilai tawadlu’, menghormati dan menghargai orang yang lebih senior. Para santri terbiasa diajarkan saling menghormati kepada santri yang lebih tua, apalagi kepada kiai atau ustad. Dalam bertutur kata dan bertingkah laku harus benar-benar dijaga jangan sampai melukai orang lain. Bahkan meskipun santri tersebut lebih pintar dari seniornya, tetap harus saling menghormati.

Nilai-nilai ini sungguh berharga jika mampu diaplikasikan dalam bermedia sosial. Kasus yang dialami KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus yang dihina lewat medsos tentu tidak akan muncul. Bayangkan saja, orang semulia Gus Mus yang pernah menjabat sebagai Rais ‘Aam PBNU harus menerima hinaan oleh anak muda yang tidak bisa mengendalikan diri. Ini baru kasus personal Gus Mus, bagaimana kalau hinaan tersebut ditujukan pada komunitas dengan skala besar seperti suku tertentu, penganut agama tertentu, dan kelompok lainnya. Sungguh akan terjadi kekacauan yang besar.

Keempat, dalam setiap persoalan yang simpang-siur pesantren kokoh dengan tradisi tabayyun. Para kiai atau santri saling silaturahim, berdialog, dan saling kroscek satu sama lain. Mereka saling bertukar pikiran dalam suasana kekeluargaan dan keharmonisan. Dengan demikian, isu yang menyebar bisa digali kebenarannya sehingga persoalan mudah diselesaikan.

Ini yang perlu dilakukan para pengguna medsos. Tidak hanya berkoar-koar lewat dunia maya, tapi lakukanlah dialog dengan pihak yang bersangkutan agar isu yang berkembang bisa menemukan titik terang. Isu tidak menggelinding bebas yang pada ujungnya menimbulkan ketidak harmonisan.

Keempat nilai tersebut merupakan inspirasi bagi para pengguna medsos agar tidak mudah termakan isu hoax. Jikalau nilai-nilai ini mampu tersublim dalam bermedia sosial, alangkah damainya bangsa ini. Segala persoalan bisa teratasi dengan baik tanpa perlu perang urat saraf. Informasi yang diterima bisa dirujuk kebenarannya untuk disikapi lebih jauh. Suasana kehidupan tetap selaras dan harmoni. Seperti pepatah Jawa, “kena iwake aja nganti buthek banyune (ikan didapat jangan samai airnya keruh)”, yakni persoalan terselesaikan tanpa perlu memperkeruh suasana. Persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga dan tersangga.

Facebook Comments