Tamu-tamu Non-Muslim

Tamu-tamu Non-Muslim

- in Narasi
2660
0

Selama tinggal di Madinah Munawwarah, Nabi Muhammad Saw seringkali dan terbiasa berinteraksi dengan komunitas yang berbeda agama. Sebagai sosok yang terpandang dan disegani kala itu, banyak di antara mereka yang sowan bertamu ke kediamannya. Tentu saja dengan membawa aneka hajat dan persoalan.

Tidak hanya komunitas berbeda agama yang tinggal di Madinah yang berinteraksi dengan junjungan umat Islam itu, bahkan komunitas non-muslim dari luar Madinah. Tidak hanya orang biasa, termasuk juga para tokoh penting mereka.

Dan ternyata, seperti dituliskan Ali Mustafa Yaqub dalam Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (20088: h. 207), sesungguhnya kebiasaan menerima tamu-tamu asing ini tidak hanya dilakukan di Madinah, namun juga kala beliau masih tinggal di Makkah.

Mengutip Muhammad Ali al-Shabuni dalam Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir (1981: III/18), di Makkah beliau pernah didatangi serombongan tamu pendeta-pendeta Nashrani Abessenia (Habasyah) berjumlah 70 orang. Mereka ini diutus oleh al-Najasyi Raja Abessenia untuk melihat ciri-ciri kenabian pada Muhammad Saw.

Dituliskan Ali al-Shabuni, dalam pertamuan ini tidak terjadi dialog serius atau diskusi. Setelah mengetahui bahwa ciri-ciri utusan akhir zaman seperti yang diceritakan Injil benar-benar terdapat pada diri Muhammad, dan setelah beliau membacakan Surah Yasin, mereka menyatakan keberimanannya.

Dalam catatan al-Wahidi dalam Asbab al-Nuzul (T.Th.: h. 18), ketika masih di Makkah, beliau juga menerima rombongan tamu-tamu orang Quraish Makkah. Ini terjadi jelang wafat pamanda Muhammad, Abu Thalib. Mereka terdiri dari Abu Sufyan, Abu Jahl, al-Nadhr bin al-Harts, Umayyah bin Khalaf, Ubay bin Khalaf, ‘Uqbah bin Abu Mu’ayyit, ‘Amr bin al-‘Ash dan al-Aswad al-Bukhturi.

Pada pertamuan ini terjadi dialog yang cukup panjang antara Muhammad, Abu Thalib dan serombongan tamu itu. Ujung-ujungnya, mereka tetap pada keyakinan masing-masing. Hanya saja, kaum musyrik Makkah mengultimatum kaum muslim untuk tidak mencerca sesembahan mereka atau sebaliknya mereka akan mencerca sesembahan kaum muslim. Peristiwa inilah yang menjadi sebab turun Qs. al-An’am: 108, yang melarang siapapunn untuk mencaci-maki sesembahan pihak lain.

Di Madinah, sejak tahun kelima hijriah, tamu-tamu yang datang sowan pada Muhammad Saw makin banyak dan makin sering. Bahkan tak jarang berombongan. Menurut catatan Ali Mustafa Yaqub, tamu-tamu itu berasal dari sekitar Jazirah Arab. Ada yang muslim dan banyak yang non-muslim. Yang muslim lumrahnya ingin memperdalam Islam langsung dari sumbernya, yakni Muhammad Saw. Yang non-muslim umumnya untuk berdialog dengannya seputar persoalan agama (h. 207).

Menurut catatan pakar sejarah Muhammad bin Sa’ad dalam al-Thabaqat al-Kubra (1980: I/291-359), sejak tahun kelima hijriah hingga kewafatan beliau pada sebelas hijriah itu, tamu-tamu yang datang pada beliau tak kurang dari 71 rombongan, diawali rombongan tamu dari Kabilah Muzainah pada Rajab 5 H.

Ibn al-Qayim al-Jauziyah, dalam Zad al-Maad (T.Tp.: III/44-49) berbeda perhitungan. Menurutnya, tamu-tamu yang datang pada Muhammad di Madinah sekitar 35 rombongan, tanpa menyebut dimulai oleh rombongan mana dan dimulai tahun berapa. ‘Ala kulli hal, dua keterengan ini menunjukkan bahwa Muhammad senantiasa menjadi magnet untuk dikunjungi dengan berbagai hajat pengunjungnya.

Dialog Muhammad dengan orang-orang Yahudi di Madinah, rombongan Nashrani Najran, dan banyak lagi lainnya yang terjadi di Madinah, kiranya juga menjadi bukti bahwa pertamuan yang dilakukan oleh orang-orang non-muslim itu sudah biasa terjadi. Apalagi jika melihat perhitungan Ibn Saad, maka dalam kurun waktu 6 tahun saja (dari tahun kelima sampai sebelas hijriah), begitu banyak rombongan tamu yang hadir hilir-mudik ke Madinah menemuinya.

Apa makna semua ini? Pertama, Muhammad senantiasa menjalin keakraban dan welcome dengan semua golongan dan semua lapisan masyarakat. Tiada sikap anti pada siapapun untuk diterimanya, hatta pada orang-orang yang memusuhinya. Sikap demikianlah yang memantik sebagian nonmuslim berempati padanya, sampai-sampai terkadang rela memberikan nyawa dan hartanya untuk Islam, seperti yang dilakukan seorang Yahudi bernama Mukhairiq. Ia rela mati membela komitmen sosial-kemasyarakatan dengan Muhammad dan mewakafkan tanahnya di Khaibar untuk kepentingan Islam.

Kedua, Muhammad dalam menyampaikan ajarannya tidak anti dialog. Beliau membuka pintu lebar-lebar bagi siapapun dan dari latar belakang apapun untuk berdialog dengan dirinya tentang persoalan apa saja. Kebenaran berhak dimiliki sebanyak-banyak orang. Keterbukaan demikian semestinya menjadi norma dan rambu bagi siapapun yang menyampaikan kebaikan. Inilah ajaran Qs. al-Nahl: 125, yang diantaranya menekankan wa jadilhum bi allati hiya ahsan (berdialoglah dengan cara-cara yang elegan). Dan ini sudah biasa dilakukan Muhammad, kendati seringkali dalam dialog itu tidak terjadi titik temunya.

Apa yang dilakukan Muhammad ini semestinya menjadi kritik bagi kita semua, yang mengaku sebagai umatnya, namun menutup diri dari pergaulan dengan orang-orang yang berbeda agama dengan kita. Lebih-lebih, masih banyak di antara umatnya yang menutup rapat-rapat pintu perjumpaan dan dialog dengan mereka. Memang, secara fisik Muhammad hanya menunggu di Madinah. Namun sesungguhnya dialog-dialog melalui surat-menyurat ke berbagai wilayah di luar Madinah, juga beliau lakukan dengan intensif. Inilah yang dikenal dengan al-mukatabah (pendekatan korespondensi). Jadi, bukan otot yang dikedepankan.

Sikap ramah pada tamu-tamu, termasuk tamu-tamu non-muslim ini memang semestinya menjadi ajaran Islam yang terus-menerus digaungkan dan dilestarikan oleh pengikut Muhammad. Sebagaimana tercantum dalam al-Arbain al-Nawawiyah Hadis ke-15, dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Hadis ini jelas-jelas memberikan penekanan bagi orang-orang yang mengaku beriman pada Allah Swt dan beriman pada hari akhir; untuk berkata yang positif, menghormati tetangga dan memuliakan tamunya, termasuk tamu-tamu yang berbeda keyakinan dengan kita tentunya. Konotasi tamu itu luas, baik yang seiman maupun yang tak seiman. Mereka sama-sama orang yang punya hajat pada kita. Soal niat di hati, itu urusan Allah Swt.

“Jika niat mereka baik, maka sambutlah dengan baik. Dan jika niat mereka tidak baik, maka usirlah dengan baik,” pesan seorang ulama di Luar Batang, Jakarta pada penulis suatu ketika saat dimintai nasihat tentang etika Islam menghormati tamu-tamu non-muslim. Ya, pelayanan dengan kebaikan inilah prinsip dasar Islam, yang semestinya dijunjung tinggi-tinggi saat ini, guna meraih kerukunan sejati.

Facebook Comments