Tinggalkan Kebencian, Ciptakan Perdamaian

Tinggalkan Kebencian, Ciptakan Perdamaian

- in Narasi
1421
0

Pada saat membuka peringatan Hari Koperasi Nasional ke-70 tahun di Makassar beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan harapannya agar ujaran kebencian (hate speech) yang marak dewasa ini bisa ditinggalkan. “Jangan sampai tenaga kita, pikiran kita dihabiskan dengan hal-hal tidak produktif, yang kita lihat sekarang ini kecenderungannya kita masuk ke dalam framing itu,” kata Presiden (Republika.co.id, 12/7/2017).

Ujaran kebencian seakan telah menjadi penyakit yang mewabah belakangan ini. Kalimat-kalimat bernada menghina, mencela, bahkan memfitnah banyak beterbaran, terutama di dunia maya. Polri mencatat, sekitar 80% kejahatan siber adalah berupa ujaran kebencian (Detik.com, 31/5/2017). Orang atau kelompok orang tak bertanggungjawab banyak mengumbar kebencian dan menjadi konsumsi publik. Akibatnya, publik terutama yang kurang memiliki kemampuan memilah informasi mudah termakan hasutan dan ikut menebarkannya.

Ujaran kebencian menjadi hal yang membahayakan karena sering memantik pertikaian. Sebab, kata-kata dan kalimat kasar akan mudah memancing reaksi orang lain yang tidak sepaham atau tersinggung, sehingga memunculkan perdebatan, perselisihan, dan pertikaian yang lebih luas. Tak jarang, ujaran kebencian yang ditebarkan di dunia maya akhirnya meluas dan berdampak di kehidupan nyata. Pada gilirannya, ujaran kebencian tersebut berujung konflik sosial di masyarakat. Kehidupan masyarakat yang aman dan damai pun terusik disebabkan merebaknya ujaran kebencian yang bermula di dunia maya.

Faktor penyebab

Apa faktor yang menyebabkan orang atau sekelompok orang menebarkan ujaran kebencian terhadap orang lain? Berdasarkan laporan Walters et. al. (206), sebagaimana dilansir tirto.id (15/62017) faktor utama yang memotivasi orang melancarkan ujaran kebencian adalah prasangka buruk terhadap orang atau kelompok tertentu. Prasangka ini dapat terbentuk dari sosialisasi dan internalisasi terus-menerus oleh keluarga, sekolah, atau lingkungan sekitar.

Selain itu, faktor lainnya adalah konflik atau kekecewaan terhadap tindakan tertentu yang dilakukan objek kebencian, yang kemudian memicu pembuat ujaran kebencian melancarkan hal-hal negatif tentangnya. Sentimen suku, agama, ras, maupun golongan kerap menjadi hal yang digunakan penebar ujaran kebencian untuk memengaruhi publik secara luas. Dijelaskan lebih lanjut, bisa saja pembuat ujaran kebencian tak bermasalah dengan identitas si objek. Namun karena didorong rasa kecewa, ia mencomot identitas pelaku sebagai sasaran untuk memprovokasi banyak orang agar percaya, ikut membenci, dan menjadikan si objek sebagai musuh bersama.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, kita bisa melihat bagaimana mesti bersikap dan mewaspadai agar tak menjadi bagian dari penebar ujaran kebencian atau orang yang terpengaruh ujaran kebencian. Prasangka buruk yang menjadi faktor pertama memberi kita peringatan akan pentingnya berhati-hati dalam menilai dan memahami suatu keadaan. Setiap kabar yang kita dapatkan dari siapa pun di sekitar kita, harus dikonfirmasi kebenarannya. Terlebih, kabar-kabar bernada miring tentang suatu kelompok atau seseorang individu.

Seringnya kita mendengar suatu kabar atau penilaian tentang seseorang, tidak menjamin kebenaran kabar tersebut. Sebab, seringkali orang-orang tak bertanggungjawab menyebarkan kabar bohong (hoax) maupun ujaran kebencian secara berulang-ulang di dunia maya, sehingga publik tanpa sadar menjadi percaya. Strategi mengulang-ulang ini memang terbukti ampuh. Sejarah telah membuktikan hal tersebut. “Suatu kebohongan yang diulang-ulang bisa menjadi sebuah kebenaran,” kata Adolf Hitler, seorang pemimpin dan orator yang berhasil memengaruhi masyarakat dengan orasi-orasinya.

Sikap kritis terhadap segala informasi yang kita dapat menjadi hal mendasar yang harus ada pada diri seseorang di era membanjirnya informasi seperti sekarang. Jangan sampai kita mudah terpengaruh suatu kabar dan ikut menebarkannya tanpa sikap kritis. Akal sehat dan kejernihan pikiran dalam memandang setiap permasalahan harus menjadi pegangan. Jangan sampai kita mengamini suatu informasi atau kabar hanya karena dorongan emosi dan amarah. Apalagi disertai ujaran kebencian yang berbahaya dan berdampak negatif ketika dilemparkan kepada publik.

Kemudian, faktor kedua yang mendasari orang melancarkan ujaran kebencian adalah kekecewaan terhadap suatu tindakan yang dilakukan orang lain. Rasa kecewa terhadap suatu keputusan atau tindakan yang tak sesuai pendapat kita pada dasarnya merupakan hal wajar. Di negara demokrasi, setiap kita memiliki hak untuk bersuara, menyatakan pendapat di muka umum asalkan dengan cara beretika dan sesuai peraturan yang berlaku.

Yang menjadi persoalan adalah ketika rasa kecewa tersebut ditumpahkan dengan frontal penuh amarah dan rasa benci, tidak memerhatikan batas-batas etis yang bisa berujung pertikaian di masyarakat secara luas. Apalagi, dengan membawa-bawa atau menghubung-hubungkan dengan identias dari objek kemarahan tersebut, sampai melancarkan rasa benci yang berlebihan dan memprovokasi publik untuk ikut membenci. Ini tentu bukan hal yang sehat, terutama bagi keberlangsungan harmoni kehidupan masyarakat kita yang majemuk dan beragam.

Cinta

Yang lebih dibutuhkan dalam masyarakat kita adalah rasa persaudaraan, yang diikat oleh kasih sayang, cinta, dan toleransi dengan sesama. Dalam ajaran Islam, kita diajarkan untuk menyayangi sesama manusia dengan mendoakan kebaikan dan hidayah bagi orang lain, termasuk non-Muslim. Syaikh Hamza Yusuf (2012) dalam bukunya Purification Of The Heart yang merupakan terjemahan dan penjelasan atas kitab Mathharat Al-Qulub karya ulama dan wali besar Imam Al-Mawlud menyebutkan, bahwa kebencian adalah kekuatan penghancur paling dahsyat di dunia. Namun, yang jauh lebih dahsyat adalah cinta. Cinta adalah sifat Allah, sedangkan benci bukan.

Lebih lanjut, Syaikh Yusuf menjelaskan bahwa manusia memang memiliki watak yang membuatnya menginginkan kecelakaan menimpa musuh-musuh mereka dan mendiskriminasi orang-orang yang tak seperti mereka (dalam hal keyakinan, warna kulit, atau karakter). Namun, orang harus melawan watak tersebut, mendoakan saudara-saudara mereka, dan menginginkan untuk orang lain apa yang mereka inginkan untuk diri mereka sendiri. Seringkali, orang tak menginginkan kebaikan untuk saudaranya hanya karena rasa iri. Iri yang berujung benci menjadi penyakit berbahaya yang bisa menimbulkan permusuhan dalam masyarakat. Sebaliknya, cinta dan kasih sayang akan membentuk harmoni dan kedamaian.

Mencegah

Persoalan terkait penyebaran ujaran kebencian memang menjadi persoalan yang kompleks. Terlebih di era dunia maya seperti sekarang di mana informasi menyebar dengan cepat. Pemerintah memang sudah menetapkan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan SE Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian, untuk menindak orang-orang yang terbukti melakukan dan menyebarkan ujaran kebencian.

Namun, yang paling mendasar sebenarnya adalah melakukan pencegahan dari hulu, dengan menyadarkan akan pentingnya etika dan sikap kritis dalam mengkonsumsi setiap informasi, sehingga tak terpengaruh dan terjerumus melontorkan maupun menyebarkan ujaran kebencian. Ini, terutama bisa dilakukan dengan terus melakukan edukasi tentang bagaimana menggunakan media secara sehat, mengedepankan etika dalam berkomunikasi atau berpendapat di muka umum, serta terus memperkuat rasa persaudaraan di tengah masyarakat.

Facebook Comments