Waspada Infiltrasi Ideologi Radikal

Waspada Infiltrasi Ideologi Radikal

- in Narasi
1459
0

Sejak peristiwa World Trade Centre pada 2001 dan naiknya persoalan ISIS pada sekitaran 2014 lalu, dunia seakan riuh dengan segala persoalan kemanusiaannya. Sejak saat itu sepertinya agak sukar menemukan kompetisi ideologi layaknya masa perang dunia hingga masa perang dingin. Meski demikian, bukan lantas setiap aktor internasional tidak lagi memiliki ideologi. Dalam kondisi Post-modern ini, setiap aktor bahkan memiliki kecenderungan untuk bermain lebih “halus“ untuk dapat menginfiltrasi pihak lain agar kepentingannya bisa terpenuhi. Dalam proses infiltrasi tersebut, indoktrinasi ideologi merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan. Tujuannya agar pihak lain dapat mendukung dan bahkan rela berkorban guna tercapainya kepentingan aktor utama.

Ideologi memang sebuah hal imajiner namun terendapkan dan termanifestasikan dalam wujud nyata. Ada yang menyebutnya sebagai cara pandang berbangsa, world view ada pula yang mengaitkannya dengan weltanschaung. Ragamnya pun banyak, tidak sebatas komunisme dan demokrasi semata. Bahkan persilangan di antara setiap ideologi bisa kita temui di banyak negara maupun individu dalam pemikirannya. Untuk di indonesia sendiri, Pancasila-lah yang menjadi pandangan kita dalam berbangsa.

Belakangan, kenyamanan ruang demokrasi yang ditawarkan negara ini dicederai oleh penghianatan sejumlah pihak yang menginginkan berdirinya khilafah dengan menggunakan syariat Islam sebagai pedoman hukum bernegara. Sebenarnya ideologi semacam ini bukanlah ideologi yang baru. Pasca kemerdekaan, pemerintahan Soekarno pun pernah dibuat pusing oleh keinginan pihak-pihak yang ingin mendirikan negara Islam dan bukan negara Pancasila. Namun karena pandangan visioner sejumlah ulama besar dan para founding fathers yang lain akhirnya kesepakatan tentang dasar negara yaitu Pancasila menjadi sebuah permufakatan yang bulat. Mereka mampu melihat bahwa sejatinya Indonesia merupakan bangsa yang beragam. Sehingga bila saat ini ada sejumlah pihak yang menuntut pendirian khilafah, jelas merupakan sebuah penghianatan terhadap keberagaman bangsa dan pandangan para founding fathers. Kelompok-kelompok demikian jelas ahistoris dan oportunis. Mereka mengabaikan sejumlah hal yang telah terjadi di wilayah timur tengah, namun di sisi lain tetap berkeyakinan bahwa pandangan khilafah akan tetap mensejahterakan Indonesia.

Infiltrasi yang mereka lakukan tidak hanya memasuki ruang-ruang politik an sich. Mereka telah merambah banyak aspek kehidupan untuk memuluskan rencananya tersebut. Setidaknya ada dua hal utama yang menjadi sasaran kelompok-kelompok ini yaitu lewat pendidikan dan beberapa bantuan kemanusiaan.

Dalam buku yang disunting oleh Gus Dur dengan judul Ilusi negara Islam, wilayah pendidikan menjadi wilayah yang digemari oleh kelompok-kelompok yang demikian (2009). Mereka bergerak bukan hanya pada wilayah perguruan tinggi melainkan sudah merambah hingga pendidikan dasar. Ruang demokrasi yang telah dibuka negara ini menjadikan siapa pun dapat memberikan pengetahuan apa pun. Kesempatan ini yang telah dihianati mereka. Melalui penerbitan sejumlah buku yang mengarahkan pada paradigma yang tertutup, mereka mengajarkan untuk melihat yang berbeda sebagai pihak yang harus dirubah. Tidak ada proses dialektika untuk mempertanyakan hal tersebut karena akan dianggap menantang kebesaran tuhan. Tidak ada proses berfikir yang mengetengahkan perbedaan sebagai keindahan dari keberagaman, karena mereka meyakini ajaran mereka sebagai satu-satunya keindahan. Tuntutan penyeragaman mengikuti mereka mutlak untuk diwujudkan. Selain itu, mereka juga melakukannya dengan menggunakan metode sel-sel kecil mulai dari tingkatan menengah hingga tingkatan perguruan tinggi.

Hal kedua yang dilakukan untuk menyusupkan ideologi mereka adalah melalui bantuan sosial. Dalam buku yang ditulis oleh Amelia Fauzia, dipaparkan bahwa perkembangan dunia filantropi (kemanusiaan) Islam di indonesia dipicu oleh 4 faktor internal, salah satunya adalah hadirnya reformasi di negara ini (2016, 226). Ruang kebebasan yang lahir karena reformasi inilah yang banyak dimanfaatkan secara oportunis oleh mereka. Dengan dalih bantuan kemanusiaan, mereka memanfaatkannya untuk mengajarkan ajaran radikal yang mereka anggap sebagai ajaran yang kaffah. Tidak jarang hal tersebut dilakukan untuk merubah agama seseorang dan mengikuti pemahaman mereka.

Harus diingat, bahwa filterisasi untuk dua aspek di atas sangat sulit untuk dilakukan. Sebab sistem yang kita miliki memberikan penghargaan pada kebebasan individual. Meski demikian, bukan berarti hal tersebut mustahil untuk dilakukan. Justru sebaliknya penanganan hal ini harus dilakukan secara semesta. Sebab bila langkah preventif tidak dilakukan maka masyarakat di tingkatan bawah akan terkena imbasnya. Akhirnya negara pun berpotensi berada di ambang masalah.

Facebook Comments