Yahudi Minta Putusan Nabi

Yahudi Minta Putusan Nabi

- in Keagamaan
1938
0

Musyawarah atau mengambil keputusan/pendapat melalui rembug bersama di antara beberapa orang atau al-mustasyarin (Wahbah a-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir: 2003, I/729) sangat dianjurkan oleh Islam. Beberapa ayat al-Qur’an menunjukkan hal ini.

Dalam hal menyapih anak saja (Qs. al-Baqarah [2]: 233), al-Qur’an menginstruktikan dilakukannya musyawarah atau rembugan antara suami dan isteri. Lebih-lebih rembugan terkait persoalan besar menyangkut hajat hidup orang banyak dan karenanya melibatkan banyak pihak (Qs. Ali ‘Imran [3]: 159 dan Qs. al-Syura [42]: 38).

Kenapa rembugan penting diselenggarakan? Tak lain karena melalui rembugan-lah, keputusan terbaik yang berdampak maslahat bagi semua pihak akan didapatkan. Rembugan juga lebih menyenangkan banyak pihak, karena mengutamakan win-win solution bagi pihak-pihak yang berseteru.

Dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Mawardi dari Abu Hurairah, beliau berkata: “Ma tasyawara qaum illa hudu li arsyad umurihim (Tidak bermusyawarah suatu kaum, kecuali mereka diberi petunjuk keputusan terbaik dari perkara mereka).” (al-Tafsir al-Munir: II/469).

Itu sebabnya, Wahbah al-Zuhaili menukil Hadis Rasulullah Saw dari Abu Hurairah yang menyatakan: “Lam yakun ahadun aktsar musyawarah min Rasulillah (Tidak seorangpun yang lebih banyak melakukan musyawarah dari Rasul).” (al-Tafsir al-Munir: II/469). Memahami posisi penting rembugan, karenanya Kanjeng Nabi banyak melakukannya.

Terkait rencana perang misalnya, beliau senantiasa bermusyarawah dengan para shahabat. Terkadang beliau mengikuti pendapat mayoritas, seperti kasus penempatan pasukan pada Perang Uhud, kendati hatinya tidak menyetujui. Terkadang pendapat beliau dikoreksi oleh Allah Swt, seperti putusan perlakuan pada tawanan Perang Badar. Mendahulukan pandangan mayoritas atau jumhur menjadi komitmennya.

Tak hanya itu, terkadang beliau juga berembug dengan orang-orang non-muslim. Sesekali mereka yang mengajak beliau berembug untuk menyelesaikan persoalan yang sedang diperselisihkan. Misalnya, terkait hukuman bagi pezina muhsan (yang sudah menikah) di kalangan Yahudi.

Menukil ‘Abdullah bin ‘Umar, Ibn Katsir (Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim 2001: II/59) menuliskan, sebelum mendatangi Rasulullah Saw, orang-orang Yahudi berkumpul di Bayt al-Midras (tempat kajian untuk Taurat) guna membicarakan hukuman yang pantas bagi kedua pezina itu. Para rahib Yahudi berselisih pandangan serius dan tidak menemukan keputusan apapun. Atas dasar itu, mereka mendatangi Muhammad untuk mengajaknya berembug

Beliau lantas bertanya pada penganut Yahudi itu: “Ketentuan hukum apa yang engkau dapati di dalam Taurat terkait pezina (yang sudah berkeluarga)?”

“Kami menghitamkan wajahnya dan memanaskannya (di terik matahari), lantas kami mengarak mereka berkeliling (kampung),” jawab mereka.

Rasulullah Saw lalu menimpali sembari mengutip Qs. Ali ‘Imran [3]: 93: “Katakanlah (Muhammad)! Maka bawalah Taurat lalu bacalah, jika kamu orang-orang yang benar.”

Mereka kemudian menghadirkan Taurat dan membacanya. Hadirin mendengarkan dengan seksama. Tatkala pembacaan sampai pada ayat rajam, seorang pemuda spontan meletakkan tangannya di atas ayat rajam itu dan ia terus membaca ayat-ayat selanjutnya.

‘Abdullah bin Salam (mantan rahib Yahudi) yang saat itu hadir bersama Rasulullah Saw menyela: “Perintahkan dia untuk mengangkat tangannya.” Pemuda itu mengangkat tangannya. Tiba-tiba, nyatalah bahwa ayat yang ditutupi adalah ayat rajam. Rasulullah Saw lalu memerintahkan mereka untuk merajam kedua pezina itu. Peristiwa ini menjadi sebab turun Qs. al-Maidah [5]: 44.

Peristiwa ini menunjukkan sebentuk kerja sama antar agama yang unik dan apik. Sesekali kaum Yahudi meminta fatwa kepada Nabinya umat Islam. Rasulullah Saw sendiri menetapkan hukuman rajam bagi keduanya, berdasarkan keterangan yang terdapat dalam Taurat, bukan atas dasar pemikiran atau ajaran Islam yang disebarkannya.

Muhammad kiranya juga hendak menunjukkan kepada umatnya, perbedaan agama atau keyakinan tidak semestinya menjadi alasan untuk saling menghindar dan berseteru. Beliau tetap bergaul baik dengan mereka yang berbeda keyakinan. Rasanya mustahil tanpa kedekatan dan penghormatan yang baik, orang-orang Yahudi itu rela menghadapnya untuk meminta putusan dan menerima apa yang diputuskannya.

Selaku pemimpin umat, beliau bersedia dilibatkan untuk memutus perkara yang terjadi di kalangan umat agama lain. Ini pelajaran sangat penting bagi para pemimpin dan penegak hukum. Keakraban sekaligus juga keadilan harus menjadi pijakan pokok yang tidak boleh diabaikan. Dengan keakraban dan keadilan yang tanpa pandang latar belakang, kepercayaan akan muncul dengan sendirinya.

Itulah yang dengan nyata diteladankan oleh Rasulullah Saw; dan barangkali tidak lagi diminati dan tidak menjadi acuan untuk dijalankan oleh pemimpin dan penegak hukum kita saat ini yang lebih bangga menerapkan model “tebang-pilih”nya

Facebook Comments