Agama Untuk Para Pemula

Agama Untuk Para Pemula

- in Narasi
6092
1

Saya lantas bertanya kepada bapak itu, “Berapa tahun atau berapa lama waktu yang anda miliki untuk mendidik anak-anak anda mengenai agama?” atau “Anak anda punya waktu berapa lama untuk belajar mengenai agama?”
Bagi saya, alokasi waktu sangat penting dalam proses belajar agama. Karena dengan alokasi waktu yang jelas, para orang tua dapat membantu anak dalam membuat semacam jadwal belajar sekaligus menentukan metode belajar yang akan mereka tempuh. Jika mereka memiliki waktu yang panjang, maka mereka dapat memilih pendidikan agama berbasis asrama seperti pesantren, misalnya. Namun jika waktu belajar agama yang dimiliki anak-anak tidak banyak, maka bisa dipilih metode lain, seperti pesantren kilat, TPA, TPQ, dan lain-lain.

Sekarang marilah kita berhitung berapa lama alokasi waktu yang dimiliki anak-anak -khususnya yang tinggal di kota-kota besar– untuk belajar agama. Dari 24 jam dalam sehari, berapa jam waktu yang bisa ‘disisihkan’ untuk anak-anak belajar agama? Termasuk berapa jam pula waktu yang bisa dialokasikan orang tua untuk mendidik atau menemani anak-anak belajar agama?

Setelah alokasi waktu diketahui, maka hal selanjutnya yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah menentukan urutan tema yang akan disampaikan kepada anak. Hal ini penting, karena seperti ‘kecurigaan’ KH. Mustofa Bisri terhadap para pengagum kekerasan, mereka yang memiliki pandangan radikal (ekstrimis) terhadap agama; gemar mengkafirkan orang lain, tidak segan melakukan kekerasan terhadap yang berbeda pandangan, kemungkinan adalah orang-orang yang belajar agamanya baru sampai pada bab perang saja (belum tuntas). Sementara bab yang berisi ajaran untuk menghargai sesama dan toleransi belum sempat mereka pelajari.

Oleh karenanya penting bagi orang tua untuk mengetahui tema-tema apa saja yang akan diajarkan ke anak, termasuk –sekali lagi—membuat urutan dari kompilasi tema yang akan disampaikan ke anak. Jangan sampai anak-anak mengenal agama sebatas perintah untuk perang tanpa terlebih dahulu memiliki kesadaran untuk menghargai perbedaan dan mengasihi sesama.

Hal ini berarti bahwa setiap anak akan memiliki model dan pendekatan yang berbeda-beda dalam mempelajari agama, tergantung pada alokasi waktu yang mereka miliki. Sebagai perbandingan, jaman dahulu orang tua cenderung ‘membebaskan’ waktu anak-anak mereka untuk belajar selain agama, sehingga waktu mereka hanya difokuskan untuk belajar agama.

Maka tidak jarang dari para orang tua tersebut mengirim anak mereka untuk belajar agama untuk periode waktu yang lama. Di pesantren misalnya, banyak santri yang belajar agama hingga puluhan tahun. Sehingga mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk mempelajari agama dari berbagai aspek. Bagaimana dengan masa sekarang? Tidak sedikit dari anak-anak yang telah menjadi pribadi yang ‘sibuk’. Hari-hari mereka dipenuhi dengan berbagai kegiatan yang nyaris tidak memungkinkan mereka untuk hanya fokus belajar agama.

Jika kondisinya demikian, saya menyarankan untuk memulai belajar agama dari sisi etika, bukan ritual. Yakni tentang nilai-nilai utama dan semangat dari ajaran agama tersebut. Tema ini menyangkut juga alasan dan tujuan agama turun ke dunia; mengapa ada agama? Bagaimana seting sosial ketika agama pertama kali turun? Apa yang ingin dicapai oleh agama?

Memahami agama dari segi etika sangat penting bagi anak-anak, karena sebagai pemula mereka akan diajarkan tentang semangat dan nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam agama. dengan mengenalkan sisi-sisi baik dan indah dari agama, anak-anak akan dengan sendirinya tertarik untuk belajar agama; mereka akan belajar karena suka, bukan karena dipaksa.

Facebook Comments