Narasi

2024 : Tolak Politik Identitas!

Ketua Umum DPP Partai Ummat Ridho Rahmadi menyatakan bahwa partainya akan mengusung politik identitas dalam perhelatan Pilpres 2024. Menurut Ridho, politik identitas adalah cara berpolitik yang pancasilais. Karena itu, baginya berkompetisi dengan memperalat  identitas keagamaan guna meraih dukungan menjadi sesuatu yang sah-sah saja dilakukan.

Sebagai sebuah strategi politik, tentu  itu adalah hal wajar. Sebab, bagaimana pun, sebuah kompetisi itu membutuhkan strategi. Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa di dalam kontestasi politik, tidak semua strategi boleh dilakukan. Memainkan narasi politik identitas, misalnya. Sebab, memunculkan narasi politik identitas sebagai strategi untuk mencapai kemenangan sangat berbahaya bagi kerukunan dan persatuan bangsa.

Sejauh ini, menjadikan narasi  provokatif seperti Identitas keagamaan sebagai bungkus  politik memang masih sangat seksi. Selain itu,  kenyataan juga memperlihatkan bahwa penggunaan narasi provokatif dan identitas keagamaan memang cukup efektif untuk mendongkrak perolehan suara elektoral. Karena itu, tak heran bila banyak politisi masih terpesona dengan kampanye politik model semacam itu. Karena hasilnya memang cukup memuaskan dan menjanjikan untuk meraih sebuah kemenangan.

Akan tetapi, meski demikian, kita harus menyadari bahwa kontestasi politik bukan semata soal menang belaka, tetapi juga tentang bagaimana proses politik berlangsung secara damai dan aman. Oleh sebab itu, meski penggunaan identitas keagamaan itu pada kenyataannya cukup ampuh sebagai alat kampanye, keberadaannya harus kita hindari.

Jangan sampai melakukan manuver dengan menjadikan identitas sebagai cara untuk mendulang suara. Dalam negara demokrasi, semua orang memang berhak memperjuangkan hak-haknya. Akan tetapi, semuanya mesti dilalui dengan cara-cara yang sehat dan bermartabat, yang tidak menimbulkan perpecahan dan konflik politik destruktif.

Menjadikan Pilpres 2019 Dan Pilkada DKI 2017 sebagai Pelajaran Penting

Karena itu, pengalaman Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk menghindari politik identitas. Pada Pilkada DKI (2017) dan Pilpres 2019 penggunaan identitas  keagamaan untuk meraih  dukungan terjadi dengan begitu masif. Akibatnya, terjadi polarisasi besar-besaran dalam masyarakat kita. Hingga muncul julukan-julukan tak elok seperti sebutan ”Cebong” dan ”Kampret”.

Tidak berhenti di isu Pilkada DKI (2017) dan Pilpres 2019, polarisasi itu terus membengkak ke aspek-aspek sosial yang lain. Bahkan, pembelahan itu masih dapat kita rasakan hingga kini. Di media sosial, misalnya, kubu-kubu politik itu masih terus menyebarkan sentimen politik dan kebencian. Bahkan, lebih dari itu, provokasi, kebencian, hasutan juga masih dilakukan. Perang terus berlanjut, tanpa akhir.

Pemilu menyisakan problem yang tak berkesudahan. Pemilu, yang seharusnya menjadikan demokrasi kita semakin berkembang matang justru  malah terdistorsi dan mengalami kemunduran. Karena itu, pada momentum politik 2024 jangan ada politisasi agama dan narasi provokatif lagi sebagaimana terjadi pada Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019.

Politisasi agama adalah preseden buruk yang tak boleh kita warisi. Pilkada DKI (2017) dan Pilpres 2019 harus menjadi pelajaran. Untuk mensukseskan pemilu yang berintegritas dan bermartabat, kita memerlukan cara-cara yang sehat dan kreatif, tidak picik dan bertentangan dengan moral politik itu sendiri. Politik adalah ruang mengompetisikan gagasan.

Kesadaran Elite Politik sebagai Kunci

Oleh karena itu, para elite politik mesti menyadari menggunakan narasi provokatif dan identitas keagamaan untuk meraih suara adalah tindakan dengan resiko tinggi. Yang jika terus digunakan, akan membahayakan persatuan dan kesatuan anak-anak bangsa. Para elite politik mesti menyadari dampak dan efek buruk yang akan terjadi dari penggunaan identitas keagamaan sebagai  strategi kampanye. Semua itu harus diperhitungkan, jangan hanya memperhitungkan soal kemenangan semata.

Kesadaran elite politik adalah kunci. Jika para elite punya kesadaran untuk tidak menggunakan narasi identitas keagamaan sebagai strategi kampanye, niscaya perpecahan tidak akan terjadi, niscaya pilpres tidak akan membawa perpecahan.

Akan tetapi, jika elite tidak memperhatikan semua itu, jelas penggunaan identitas keagamaan sebagai cara mendulang suara akan terjadi kembali seperti kasus-kasus sebelumnya. Dan perpecahan pun akan semakin menganga, meluas, dan melebar. Karena itu, Partai Ummat, yang baru-baru ini menyatakan diri akan mengusung politik identitas, harus menginsafi pernyataan yang mengancam persatuan kita itu.

This post was last modified on 21 Februari 2023 1:26 PM

Elly Ceria

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

9 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

9 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

9 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

9 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

1 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

1 hari ago