Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta, keadilan, dan penghormatan kepada martabat manusia sebagai inti dari keberagamaannya. Namun dalam kenyataan sosial-politik Indonesia hari ini, wajah keberagamaan itu kerap tampak terdistorsi oleh pola pikir “hitam-putih” yang mudah menghakimi, cepat menuduh sesama berbeda keyakinan sebagai ancaman, dan sulit menerima pluralitas sebagai bagian alami (keniscayaan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Fenomena itu salah satunya bisa kita lihat dari reaksi sebagian masyarakat saat mengetahui bahwa Kementerian Agama berencana akan menggelar perayaan Natal bersama sebagai bentuk penghormatan bagi pegawainya yang beragama Kristen, di mana sebagian pihak langsung menudingnya sebagai sinkretisme, meleburkan agama, hingga ancaman pada akidah. Reaksi seperti itu jelas memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat kita masih memandang keberagaman sebagai ruang yang harus dicurigai, bukan dipahami.
Padahal, pluralitas agama bukanlah kesalahan manusia, melainkan desain ilahi yang ditegaskan langsung dalam Al-Qur’an: *Untuk setiap umat Kami berikan aturan dan jalan yang terang, dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian akan dijadikan satu umat saja” (QS. Al-Māidah: 48). Ayat tersebut tentu bukan sekadar informasi, tetapi deklarasi teologis bahwa keberagaman merupakan keniscayaan yang harus dikelola, bukan diseragamkan.
Jika Tuhan sendiri mengakui perbedaan dan melarang manusia memaksa keseragaman iman, mengapa sebagian dari kita justru terjebak dalam ketakutan terhadap pluralitas? Ketakutan itu lahir terutama dari cara beragama yang kering dari cinta. Cara beragama seperti ini melihat dunia hanya dalam dua warna: benar atau sesat, Islam atau musuh Islam.
Padahal, agama tidak dimaksudkan untuk menjerumuskan manusia ke dalam fanatisme eksklusif yang keras, melainkan untuk membentuk pribadi yang teduh, matang, dan dapat hidup berdampingan dengan sesama. Iman itu ibarat akar pohon. Jika akarnya menghunjam dalam tanah, ia akan menumbuhkan batang yang kokoh, daun yang rimbun, dan buah yang manis. Begitulah representasi keimanan yang kokoh. Yang tidak mudah goyah hanya karena hadir dalam ruang yang multikultural; sebaliknya, ia memberi naungan bagi siapa saja yang berada di sekitarnya, menjadi sumber manfaat, bukan sumber kemarahan dan kebencian.
Tuduhan sinkretisme yang sering muncul dalam polemik-polemik nasional sebenarnya lahir dari kekeliruan melihat batas antara akidah dan muamalah. Para ulama terdahulu, baik dari tradisi fikih maupun tasawuf, telah membedakan secara jelas wilayah ibadah yang bersifat tauqifi dengan wilayah sosial yang bersifat ijtihadi. Mengucapkan selamat kepada sesama warga negara yang merayakan hari besar keagamaannya, hadir sebagai undangan, atau menghormati mereka dalam konteks sosial dan kebangsaan bukanlah ibadah ritual, melainkan bagian dari muamalah yang bertujuan menjaga harmoni publik agar tak penuh curiga.
Islam yang sejati bukanlah Islam yang takut pada perbedaan. Ia adalah Islam yang yakin bahwa cinta lebih kuat daripada kebencian, bahwa rahmat lebih kokoh daripada ancaman, dan bahwa kasih Tuhan tidak pernah mengenal batas administratif yang kita ciptakan.
Dalam republik yang plural seperti Indonesia, Islam justru menemukan ladang paling subur untuk menampilkan dirinya sebagai agama rahmat bagi semesta. Pluralitas bukan bahaya; ia adalah cermin tempat kita menguji kedalaman iman kita. Dan hanya iman yang berakar pada cinta yang mampu menumbuhkan perdamaian yang sesungguhnya.
Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…
Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…
Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…
Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…
Belakangan ini, ruang publik kita kembali diramaikan oleh perdebatan sensitif terkait relasi agama dan negara.…
Diskursus publik kita belakangan ini diuji oleh sebuah polemik yang sebetulnya tidak perlu diperdebatkan. Rencana…