Aturan penutupan tempat ibadah sementara lantaran PPKM Darurat menjadi isu kontroversial. Sebagian masyarakat memelintir kebijakan itu dengan menuding pemerintah sengaja menghalangi umat beragama menjalankan ibadah. Asumsi ini sebenarnya absurd. Dalam peraturan terbaru PPKM Darurat disebutkan sejumlah poin.
Antara lain mekanisme WFH (work from home) 100 persen bagi sektor non-esensial dan 50 persen pekerjaan sektor sensual, belajar-mengajar daring, penutupan mal dan kawasan wisata serta pembatasan di sektor ekonomi lain seperti pasar, restoran, kafe dan sejenisnya. Artinya, penutupan tempat ibadah sementara itu hanya salah satu aturan dalam PPKM Darurat.
Polemik itu sepertinya sengaja diembuskan kelompok radikal yang selalu menunggangi setiap isu demi mendelegitimasi pemerintahan yang sah. Di pandemi, kelompok radikal selalu mencari celah kesalahan pemerintah untuk kemudian memprovokasi publik. Sebuah laku tidak terpuji yang hanya pantas dilakukan oleh manusia tuna-nurani.
Bagaimana tidak? Situasi nasional saat ini sedang tidak baik-baik saja. Angka positif Covid-19 melonjak drastis. Juga angka kematian yang kian naik. Di saat yang sama, banyak rumah sakit kewalahan merawat pasien. Di tengah situasi itu, bukannya ikut bersimpati dan berpartisipasi mengatasi pandemi, kelompok radikal justru mengembuskan narasi menyesatkan.
Pergeseran Paradigma
Pandemi mengharuskan manusia melakukan apa yang diistilahkan oleh Thomas Kuhn sebagai shifting of paradigm (pergeseran paradigma). Pra pandemi, kita memiliki tatanan sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama yang mapan dan dianggap sebagai normalitas. Dalam beragama misalnya, normalitas itu ialah beribadah di masjid, gereja, wihara atau tempat ibadah lainnya.
Pandemi mengharuskan manusia mendekonstruksi paradigma sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama itu dengan mengadaptasi normal baru. Dalam konteks keagamaan, salah satu normal baru itu ialah menjalankan ibadah dari rumah. Penutupan sementara tempat ibadah merupakan upaya mengurangi kerumunan massa yang potensial menimbulkan kluster penularan Covid-19.
Penutupan tempat ibadah sementara untuk menahan laju gelombang kedua pandemi ini kiranya bisa dibaca dari tiga sudut pandang. Pertama, penutupan tempat ibadah sementara ialah bagian dari cara umat beragama beradaptasi di zaman wabah. Kedua, penutupan tempat ibadah ialah bagian dari upaya kita menjaga keselamatan pribadi dan orang lain. Ketiga, penutupan tempat ibadah ialah wujud nyata peran agama dalam mengatasi persoalan wabah.
Pandemi ini tidak hanya ujian bagi keselamatan jiwa. Lebih dari itu, pandemi juga merupakan ujian bagi keberagamaan. Respons umat dalam menghadapi pandemi menentukan kualitas dan kedewasaannya dalam beragama. Mematuhi aturan pemerintah merupakan bukti kematangan umat beragama dalam memahami ajaran agamanya. Sebaliknya, penyangkalan dan pembangkangan pada kebijakan pemerintah menjadi bukti betapa dangkalnya pemahaman umat atas ajaran agamanya.
Melawan Badai Pandemi
Pemerintah memang masih banyak kekurangan dalam menangangi pandemi. Namun, mengharapkan kesempurnaan di situasi yang penuh kesulitan seperti ini ialah sebuah utopia. Lagipula, nyaris semua negara melakukan kebijakan trial and error dalam mengatasi pandemi ini. kebijakan PPKM Darurat merupakan upaya paling memungkinkan untuk menyelamatkan jiwa sekaligus menjaga sektor ekonomi esensial bisa berjalan.
Bagi umat Islam, ketundukan pada pemimpin (ulil amri) ialah bagian dari ajaran Islam (syariah). Ibnu Taimiyah pernah berujar bahwa 60 tahun di bawah pemimpin zalim jauh lebih baik ketimbang satu malam tanpa pemerintahan. Ungkapan itu tidak dimaksudkan untuk menormalisasi kezaliman. Namun, menekankan betapa pentingnya otoritas yang sah dalam sebuah tatanan masyarakat. Belajar dari ungkapan Ibn Taimiyyah itu, penting kiranya bagi umat Islam untuk membangun kesadaran bahwa mematuhi pemerintah ialah bagian dari syariah.
Jika pandemi ini ialah badai, negara ialah kapalnya dan masyarakat ialah penumpangnya, maka pemerintah ialah nakoda berikut awak kapalnya. Tidak ada cerita sebuah kapal bisa melalui hantaman badai jika penumpangnya justru sibuk mengganggu nakoda dan awak kapalnya. Sebagai penumpang, cara kita berpartisipasi dalam melawan badai pandemi ini sebenarnya cukup mudah; taat prokes dan patuh aturan pemerintah. masyarakat yang abai prokes dan mendelegitimasi kinerja pemerintah itu tidak ubahnya seperti penumpang yang melobangi lambung kapal ketika badai menerjang. Mereka lah yang membuat kapal lekas karam. Kita tentu tidak ingin kapal bernama Indonesia ini karam oleh gelombang tsunami pandemi Covid-19.
This post was last modified on 5 Juli 2021 3:23 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…