Di awal bangkitnya era modern, muncul ramalan bahwa agama akan mulai ditinggalkan oleh manusia. Salah satu yang meramalkan itu adalah filosof Auguste Comte. Menurutnya, kian modern manusia, maka agama akan semakin dianggap tidak relevan dan akhirnya ditinggalkan.
Tesis itu tampaknya harus direvisi jika melihat realitas saat ini. Anggapan bahwa modernisme akan berbanding lurus dengan sekulerisme nyatanya tidak terbukti. Realitas justru menunjukkan arah sebaliknya. Kian modern manusia, keberadaan agama justru kian dianggap penting. Di era modern, agama justru mengalami kebangkitan.
Ironisnya, kebangkitan agama di era modern ini lebih banyak mengarah ke corak konservatisme dan radikalisme. Di dunia Islam misalnya, kebangkitan agama diwarnai oleh menguatnya nalar konservatisme bahkan ekstremisme beragama. Alhasil, kebangkitan Islam di era modern ini justru tampak pada kian banyaknya aksi kekerasan dan teror atas nama Islam.
Kebangkitan Islam dalam wajah yang radikal-ekstrem adalah fenomena yang mengkhawatirkan. Islam sesuai dengan namanya adalah agama yang penuh damai dan keselamatan. Menjadi ironis jika Islam justru menjadi pemicu munculnya kekerasan dan terorisme seperti terjadi dalam beberapa dekade terakhir.
Maka, kita perlu mendesain ulang kebangkitan agama (Islam) agar tidak menjurus pada radikalisme dan terorisme. Kita perlu model religiusitas baru di era post-sekulerisme, era ketika ide tentang kematian agama di era modern telah dianggap usang. Di era post-sekulerisme kita membutuhkan kehadiran agama, namun bukan dalam wujud atau wajah yang ekstrem dan bengis.
Filosof Amerika Serikat, John D. Caputo menawarkan gagasan baru dalam konteks kebangkitan agama di era post-sekulerisme. Ia menawarkan gagasan agama cinta (religion of love). Dalam bukunya, Agama Cinta, Agama Masa Depan, Caputo yang merupakan filosof beraliran post-eksistensialis ini menuturkan bahwa di era modern, konsep agama harus diperbarui.
Di era modern, agama idealnya tidak dipahami secara kaku sebagai seperangkat doktrin baku yang eksklusif. Agama idealnya juga tidak dipahami sebagai sebuah institusi formal. Sebaliknya, agama harus dipahami sebagai seperangkat nilai dan etika yang harus terus-menerus ditafsirkan agar sesuai dengan dinamika zaman. Agama juga harus dibebaskan dari upaya formalisasi, baik itu melalui lembaga sosial, institusi politik, atau regulasi yuridis.
Gagasan Caputo tentang redesain kebangkitan agama di era post-sekulerisme ini menarik untuk dielaborasi dalam konteks keindonesiaan. Seperti kita lihat belakangan ini, pemahaman Islam di Indonesia harus diakui kian mengarah pada indoktrinasi dan formalisasi. Ajaran Islam dipahami secara tekstualis sehingga kerap gagal merespons dinamika sosial-politik kontemporer.
Pola pikir tekstualis pada akhirnya membuat ajaran Islam mengalami proses dogmatisasi. Umat Islam terjebak dalam euforia klaim kebenaran tunggal yang berimbas pada maraknya perilaku keagamaan intoleran.
Selain itu, muncul pula upaya untuk memformalisasikan ajaran Islam melalui institusi politik atau undang-undang. Gerakan daulah atau khilafah islamiyyah dan upaya menegakkan syariat Islam adalah bukti nyata agenda formalisasi Islam tersebut. Formalisasi Islam di lapangan kerap memicu diskriminasi terhadap kaum minoritas agama.
Gagasan agama cinta ala Caputo adalah ajakan untuk mengamalkan agama secara inklusif, tidak dogmatis, apalagi formalistik. Caputo bukan pendukung sekulerisme yang menolak kehadiran agama di ruang publik. Ia justru mendukung gagasan perluasan peran agama di ranah publik. Artinya, ia menolak gagasan privatisasi agama sebagaimana diusung kaum sekuler.
Namun, bagi Caputo kehadiran agama di ruang publik tidak harus diwujudkan melalui indoktrinasi apalagi formalisasi. Kehadiran agama di ruang publik, menurut Caputo harus mewujud pada spirit untuk membangun peradaban sosial-politik yang inklusif, dan mengakui hak-hak dasar setiap individu, tanpa memandang identitas dan latar belakangnya.
Itulah paradigma baru religiusitas di era post-sekulerisme yang kiranya relevan untuk negara majemuk. Dalam konteks Indonesia, gagasan agama cinta itu sebenarnyatidak sepenuhnya baru. Di era Nusantara, paradigma agama cinta sudah hadir dalam kehidupan beragama masyarakat zaman itu. Penyebaran Islam di Nusantara yang steril dari unsur paksaan dan kekerasan adalah wujud nyata hadirnya agama cinta.
Di satu sisi, para pembawa Islam ke Nusantara menyebarkan ajaran baru itu dengan pendekatan cinta yang adaptif dan akulturatif terhadap lokalitas. Di sisi lain, masyarakat lokal juga menyambut penyebaran dakwah Islam itu dengan cinta dan welas asih.
Selain itu, Indonesia juga memiliki Pancasila yang merepresentasikan konsep civil religion alias agama sipil. Pancasila memang bukan agama baru yang menggusur eksistensi agama yang sudah ada. Pancasila adalah manifestasi dari gagasan civil religion, karena setiap sila-nya memiliki fungsi sebagai perekat sosial dan nilai-nilai kepublikan atau universalitas yang mempersatukan masyarakat yang pluralistik.
Dua warisan itulah yang sedianya bisa kita kembangkan sebagai agama cinta di Indonesia. Karakter masyarakat Nusantara yang inklusif pada perbedaan agama perlu kita adaptasi dalam konteks sekarang. Demikian juga, nilai Pancasila yang universal seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan juga patut kita implementasikan dalam konteks kekinian.
Di tengah lanskap Indonesia yang kaya akan keragaman, upaya merawat persatuan adalah sebuah tantangan yang…
Indonesia, sebuah keberagaman yang nyata, tak henti-hentinya mengajarkan kita tentang hakikat perbedaan. Bukan untuk dipertentangkan,…
Agama cinta sebenarnya bukan gagasan baru, melainkan sebuah konsep lama yang terus-menerus diperbarui tafsirannya sesuai…
Cinta, sebuah kata yang diklaim sebagai fitrah dan puncak aspirasi spiritual, ironisnya justru menjadi salah…
Agama, dalam hakekat terdalamnya, lahir dari cinta. Cinta kepada Yang Maha Kuasa, cinta kepada sesama,…
Belakangan ini, dalam beberapa hari media massa dan media sosial kita riuh ihwal polemik pengibaran…