Narasi

Jiwa Pendidikan Berada di Karakter : Perlunya Reorientasi Peran Guru

Mari mulai dari sebuah pertanyaan sederhana namun menyentil: untuk apa sebenarnya sekolah didirikan? Jika jawabannya hanya “menghasilkan nilai bagus”, maka kita sedang menyusutkan makna pendidikan menjadi sekadar lomba angka. Namun jauh di dalam nurani, kita tahu bahwa sekolah seharusnya melahirkan pribadi yang berpikir jernih, beretika, dan peka pada sesama. Di titik inilah jurang antara cita-cita dan realita mulai tampak jelas.

Namun mari jujur: jarak antara impian itu dan realitas masih terlampau menganga. Banyak guru makin ahli memakai strategi pembelajaran mutakhir, membuat media interaktif, merancang rubrik penilaian yang rumit, tapi ironisnya makin sedikit ruang untuk membina moral dan karakter siswa.

Kita melihat sekolah-sekolah yang tampak “rapi” dari luar: lomba inovasi terpajang, presentasi digital memukau, tapi dalam diskusi kelas masih muncul anak yang ahli dalam teori tapi mudah memotong bicara, atau sangat paham toleransi hanya sampai halaman buku semata.

Sistem penilaian kita yang hanya berpusat pada angka, ranking, dan ulangan menggeser karakter ke pojokan seolah hanya pelengkap kurikulum, bukan jantungnya. Guru pun kelelahan mengejar target akademik hingga lupa bahwa mereka juga pemahat budi pekerti. Sebagian besar belum pernah dibekali pelatihan resolusi konflik, mentoring emosional, atau pendidikan etik. Maka lahirlah generasi yang teknis kuat, tetapi moralnya keropos: bullying merajalela, empati menguap, kejujuran dianggap “opsional”.

Tetapi persoalan ini bukan milik Indonesia seorang. Yunani Kuno pernah memberi kita pelajaran: masyarakat yang ingin maju harus menyeimbangkan logika dan budi. Socrates membenturkan pikiran murid dengan pertanyaan-pertanyaan yang memaksa mereka jujur pada diri sendiri. Pendidikan bukan hanya tentang menguasai geometri, tetapi juga belajar hidup sebagai warga polis yang bijaksana.

Peradaban Islam klasik pun melakukan hal yang serupa, bahkan lebih dalam. Nabi Muhammad saw mengajar bukan lewat ceramah panjang, tetapi lewat contoh hidup: kejujuran, kesabaran, ketegasan moral. Ulama seperti Al-Ghazali mengingatkan bahwa ilmu yang tak menyentuh hati hanyalah pengetahuan mati. Ibn Khaldun menegaskan bahwa kekuatan moral adalah fondasi keberlanjutan peradaban, guru wajib membimbing dengan lemah lembut, bukan dengan kekerasan atau ejekan. Dalam dua peradaban besar ini, akal dan akhlak bukan dua dunia terpisah, tetapi dua sisi dari satu koin kemanusiaan.

Contoh kontemporer? Finlandia. Negeri kecil ini memilih untuk mempercayai gurunya dan merancang pendidikan yang memerdekakan. Mereka tidak mengejar ranking internasional, tetapi kesejahteraan belajar. Guru wajib berpendidikan tinggi, dilatih untuk memahami psikologi anak, diberi otonomi untuk memilih metode terbaik, dan tidak diburu oleh ratusan indikator administratif. Kurikulumnya holistik: berpikir kritis, kolaborasi, kreativitas, empati—bukan sekadar hafalan. Hasilnya? Siswa lebih santai, tapi justru lebih matang. Tidak tercekik ujian, tapi terasah nalar dan karakternya.

Dalam ranah teori, para pemikir pendidikan modern memberi amunisi kuat bagi perubahan. Vygotsky menunjukkan bahwa belajar adalah proses sosial yang artinya guru bukan “pemberi materi”, melainkan mitra dialog yang mendampingi siswa dalam zona perkembangannya. Piaget mengingatkan kita bahwa anak punya logika sendiri, jadi kita mesti berbicara dengan bahasa perkembangan mereka.

Sedangkan moral bukanlah bawaan lahir; ia tumbuh melalui dilema nyata, diskusi, dan refleksi. Di titik ini, teori psikologi bertemu warisan pemikiran Islam klasik: pendidikan karakter harus menjadi praktik hidup sehari-hari, bukan upacara sesekali.

Solusi yang kita butuhkan pun harus sistemik. Kurikulum perlu menyertakan indikator karakter yang bisa diamati, bukan abstraksi yang tak bisa diuji. Pelatihan guru harus mencakup modul bimbingan karakter, simulasi etika, latihan fasilitasi dialog. Sekolah harus berfungsi sebagai “laboratorium value”, bukan hanya gedung pelajaran. Nilai harus hadir dalam rutinitas: bagaimana siswa berbicara dalam diskusi, bagaimana mereka menyelesaikan konflik, bagaimana mereka bertanggung jawab pada ruang kelas dan komunitas.

Dan di sini kita perlu berani mengkritik—dengan lembut tetapi tajam. Pendidikan kita selama ini terlalu terpukau pada angka dan ranking. Kita memuja kelulusan, tapi mengabaikan keluhuran. Kita memproduksi anak-anak yang bisa menjawab soal pilihan ganda, tetapi bingung ketika harus menentukan pilihan moral. Kita menggelar seminar karakter yang meriah, tapi lupa menata sistem sekolah agar karakter bisa tumbuh organik setiap hari.

Kalau arah ini tak berubah, kita sedang menuju generasi yang “setengah jadi”: cerdas teknis tapi rapuh etis, cepat berpikir tapi lambat merasa. Seperti peringatan para pemikir klasik, ilmu tanpa akhlak adalah bangunan tanpa pondasi artinya megah sebentar, mudah buyar.

Perbaikan besar hanya mungkin kalau semua pihak bergerak. Pemerintah menyelaraskan kurikulum kompetensi dengan kurikulum hati, sekolah menyediakan ruang dialog moral, guru dilatih menjadi fasilitator karakter, sedangakn orang tua dan masyarakat menghadirkan keteladanan. Saat itu terjadi, barulah sekolah ideal yang awalnya sekadar imajinasi bisa menjadi kenyataan. Dan pendidikan akhirnya kembali ke tujuan awalnya: membentuk manusia, bukan sekadar meluluskan siswa.

Syukron

Recent Posts

Adab Sebelum Ilmu: Peran Guru dan Tantangan Ekstremisme Era Digital

Pendidikan berbasis karakter adalah fondasi penting dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual,…

1 jam ago

Sang Penjaga Mercusuar di Tengah Lautan Algoritma: Peran Guru dalam Menjaga Moral Anak Bangsa

Indonesia tidak dibangun oleh tumpukan data biner. Bangsa ini tidak didirikan di atas algoritma yang…

21 jam ago

Ketika Radikal Menemukan Target Baru

Kamis siang (20/11/) saya mendapat undangan sebagai narasumber podcast pada program “Sarapan Bubur Pedas” (Saran…

21 jam ago

Refleksi Hari Guru 2025; Menjadi Cahaya Bangsa di Tengah Krisis Dunia Digital

Tanggal 25 November diperingati sengaja Hari Guru Nasional, mengacu pada berdirinya organisasi profesi guru, yakni…

21 jam ago

Inilah Sosok Guru yang Dibutuhkan dalam Negara Majemuk seperti Indonesia!

Dalam negara majemuk seperti Indonesia, posisi guru tidak hanya berkaitan dengan tugas mengajar di ruang…

2 hari ago

Peran Guru dalam Mencetak Generasi Nasionalis Anti-Radikalisme; Hal yang Tak Bisa Digantikan AI

Di tengah arus digitalisasi yang kian deras, keberadaan kecerdasan buatan (AI) menjadi bagian tak terpisahkan…

2 hari ago