Narasi

Bagaimana Mendesain Pendidikan Agama yang Mampu Memperkuat Karakter Bangsa?

Hilangnya frasa “agama” dalam draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 melahirkan spekulasi publik bahwa pemerintah akan menghapus pelajaran agama dari kurikulum pendidikan nasional. Namun, spekulasi itu terbantahkan oleh pernyataan Mendikbud Nadiem Makarim yang menyatakan bahwa pelajaran agama tidak akan dihapus dari kurikulum pendidikan nasional. Pernyataan itu disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan anggota DPR RI beberapa waktu lalu. Kasus ini kembali mengingatkan kita pada peristiwa serupa yang terjadi beberapa tahun lalu ketika muncul usulan untuk menghapus pelajaran agama karena cenderung mengajarkan radikalisme.

Perbincangan ihwal pendidikan agama memang akan selalu menarik dan tidak menutup kemungkinan akan selalu diramaikan oleh sejumlah kontroversi dan perdebatan. Di satu sisi, pendidikan agama kerap dituding sebagai biang masifnya perkembangan ideologi dan gerakan radikal di kalangan siswa. Namun, di sisi lain pendidikan agama digadang-gadang sebagai elemen penting dalam pembentukan karakter bangsa dan penumbuhan akhlak mulia di kalangan siswa. Di titik inilah kita perlu melihat persoalan ini secara obyektif dan berimbang.

Memang harus kita akui bahwa pendidikan agama yang selama ini berjalan masih jauh dari kata ideal. Pendidikan agama yang diharapkan menjadi katalisator pembentukan karakter bangsa dan penumbuhan akhlak mulia dalam banyak hal masih belum sepenuhnya optimal dalam menjalankan perannya. Namun, menghapus begitu saja pelajaran agama dari kurikulum pendidikan nasional tentunya juga bukan sebuah hal yang bijaksana untuk dilakukan. Seperti kita ketahui, agama memiliki kedudukan yang sangat penting dan strategis dalam struktur sosial, politik dan budaya masyarakat Indonesia. Agama telah menjadi semacam cultural DNA masyarakat Indonesia sejak masih bernama Nusantara.

Perbincangan dan perdebatan seputar pendidikan agama idealnya diarahkan untuk mengidentifikasi persoalan di dalamnya serta mencari solusi dan jalan tengah yang terbaik. Diakui atau tidak, desain pendidikan agama yang selama ini berjalan cenderung menyuburkan nalar primordialisme dan politik identitas di kalangan peserta didik. Hal itu dilatari oleh kurikulum pendidikan agama, desain pembelajaran dan kualitas pengajar (guru) yang memang harus diakui kurang efektifdalam menciptakan iklim pendidikan agama yang berkomitmen pada upaya pembangunan karakter bangsa. Sebaliknya, praktik pendidikan agama yang selama ini berjalan justru kerap menyuburkan cara pandang yang eksklusivistik (tertutup), bahkan fatalistik (pasrah).

Problematika Pendidikan Agama Kita

Dari sisi kurikulum, pendidikan agama yang lebih bercorak doktriner telah membuat agama menjadi seperangkat ajaran yang kaku dan dogmatis. Dalam desain kurikulum pendidikan agama yang bercorak doktriner, peserta didik hanya diarahkan untuk menghafal ajaran dan pengetahuan agama serta mengekspresikan kesalehan beragama secara individual tanpa didorong untuk mengejawantahkan nilai keagamaan dalam paradigma kehidupan sosial. Apa yang terjadi kemudian ialah munculnya kesalehan semu (pseudo-piety), yakni kepatuhan pada ajaran agama yang dipaksakan dan cenderung artifisial (dibuat-buat). Maka, dalam kehidupan nyata kita kerap melihat orang yang tampak terlihat saleh dari penampilan, namun ternyata memiliki cacat moral yang serius dan tidak bisa ditoleransi.

Selain problem kurikulum, sengkarut persoalan dalam pendidikan agama juga disumbang oleh desain pembelajaran yang monoton, kaku dan tidak membebaskan. Selama ini, agama kerap dipahami sebagai sebuah hal yang sakral, dan harus dikultuskan. Pandangan yang sebenarnya salah ini juga berlaku di dunia pendidikan. Para guru agama lantas mengajarkan agama pada siswa dengan cara dan metode yang kurang menarik minat siswa dalam berpikir kritis dan mengeksplorasi agama secara lebih mendalam. Akibatnya, pendidikan agama gagal memproduksi diskursus dan wacana keagamaan yang mencerahkan. Dari berbagai jenjang pendidikan, pelajaran agama kerapkali hanya merupakan repetisi alias pengulangan dari apa yang telah dipelajari sebelumnya.

Terakhir, problem pendidikan agama juga dilatari oleh rendahnya kualitas pengajar. Para pengajar pelajaran agama idealnya tidak hanya menguasai pengetahuan agama, namun juga memiliki wawasan luas dalam keilmuan sosio-humaniora. Wawasan keilmuan dalam bidang sosial-humaniora ini akan berpengaruh dalam mendesain pembelajaran agama yang bertumpu pada nilai-nilai toleransi, demokrasi dan humanisme. Sayangnya, di lapangan masih sangat sedikit ditemu para guru pelajaran agama yang memiliki perspektif sosio-humaniora yang mumpuni.

Pentingnya Membenahi Kurikulum, Metode dan Kualitas Guru Pelajaran Agama

Hal mendesak yang harus kita lakukan ialah membenahi desain pendidikan agama, terutama dari segi kurikulum, metode pengajaran dan kualitas pendidiknya. Dari sisi kurikulum, kita perlu mengubah paradigma pendidikan agama yang doktriner, kaku dan formalistik ke arah pendidikan agama yang transformatif dan partisipatoris. Pendidikan agama transformatif artinya ialah pembelajaran agama yang mampu mendorong siswa beranjak dari pola pikir dogmatis ke pola pikir yang progresif atau berorientasi pada kemajuan dan perubahan. Sedangkan pendidikan agama partisipatoris ialah pembelajaran agama yang mendorong siswa terlibat dalam kehidupan sosial yang majemuk dengan mengedepankan nilai toleransi, demokrasi dan humanisme.

Dari sisi metode pembelajaran, kita perlu mengubah corak pembelajaran agama yang monoton, kaku dan dogmatis menjadi lebih inovatif, eksploratif dan mampu menumbuhkan spirit berpikir kritis siswa. Dalam dunia pendidikan, agama idealnya ditempatkan sebagai ilmu pengetahuan yang tidak hanya dipahami apalagi dihafal, namun dikaji, dikritisi dan direinterpretasikan terus-menerus agar relevan dengan tantangan zaman. Disinilah pentingnya menghapus budaya sakralisasi dan pengkultusan agama secara berlebihan yang selama ini menjadi problem akut dalam dunia pendidikan kita.

Terakhir namun tidak kalah pentingnya ialah meningkatkan kualitas para pengajar agama, terutama sekali membekali mereka dengan wawasan keilmuan sosio-humaniora. Para pengajar agama, terutama di era kontemporer yang diwarnai oleh beragam tantangan ini perlu mengintegrasikan pemahaman keagamaannya dengan perspektif keilmuan lain, terutama keilmuan sosial-humaniora. Hal ini penting agar pelajaran atau pendidikan agama mampu memberikan sumbangsih pada upaya mencari solusi atas problem kemasyarakatan dan kebangsaan. Dengan membenahi ketiga hal tersebut, kita patut optimis pendidikan agama mampu mendorong terciptanya akhlak mulia yang berpengaruh positif pada pembangunan karakter bangsa.

This post was last modified on 16 Maret 2021 11:32 AM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago