Narasi

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia memiliki tradisi khas dalam memeriahkan atau menyambut Hari Kemerdekaan. Di Aceh ada tradisi Pacu Kude, yakni balapan kuda untuk memeriahkan Hari Kemerdekaan. Masyarakat Batam mengenal tradisi Balap Sampan Layar, yakni perlombaan perahu sampan panjang yang didayung oleh sejumlah orang.

Di Semarang, terdapat tradisi Lari Obor Estafet, dimana warga berlari malam hari membawa obor sebagai simbol perjuangan pahlawan. Di Lombok, ada tradisi Peresan, yakni pertunjukan perang satu lawan satu bersenjatakan bilah rotan dan perisai dari kulit. Sedangkan di Jawa Tengah dan Yogyakarta, Hari Kemerdekaan biasanya dimeriahkan dengan acara malam tirakatan.

Prosesi tirakatan dilakukan malam 17 Agustus dan dilakukan oleh warga masyarakat. Tirakat dilakukan dengan pembacaan doa-doa untuk para pahlawan. Tujuan malam tirakatan ini adalah untuk mempererat persaudaraan sesama warga sekaligus juga menyatakan rasa syukur pada Allah atas karunia kemerdekaan. Malam tirakatan juga menjadi sarana mengirim doa bagi para pahlawan yang gugur dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

Malam tirakatan 17 Agustus merupakan wujud dari ritus kebangsaan yang berakar dari kearifan lokal. Dikatakan ritus kebangsaan karena ritual ini tidak hanya dimonopoli oleh satu agama alias Islam saja. Tirakatan malam 17 Agustus di Jawa Tengah dan Yogyakarta biasa digelar melibatkan masyarakat lintas-agama. Dalam momen tirakatan, sekat keagamaan dan kesukuan serta status sosial tidak lagi dipersoalkan.

Sebagai ritus kebangsaan, malam tirakatan mengandung beragam pesan reflektif. Antara lain pesan bahwa kemerdekaan yang kita nikmati sekarang bukan sekadar hasil ikhtiar manusia, melainkan juga wujud kasih sayang Tuhan kepada umat-Nya. Kemerdekaan Indonesia mustahil diraih tanpa rahmat dan pertolongan Allah di dalamnya.

Selain itu, malam tirakatan 17 Agustus juga mengandung pesan bahwa kemerdekaan yang kita raih adalah hasil perjuangan lintas golongan agama dan suku. Kemerdekaan bukan hasil perjuangan satu golongan saja. Para pejuang kemerdekaan di masa lalu berasal dari berbagai macam latar belakang agama dan suku.

Terakhir, malam tirakatan mengajak kita untuk merefleksikan makna kemerdekaan. Bahwa kemerdekaan itu beriringan dengan tanggung jawab. Kemerdekaan bukan hadiah gratisan atau semacam cek kosong. Kemerdekaan harus dipertanggungjawabkan oleh generasi sekarang dengan kerja keras.

Ritual tirakatan malam 17 Agustus juga berakar kuat dari tradisi lokal, terutama di kalangan masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tradisi tirakat biasa diamalkan oleh masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta dari level elit (priyayi), muslim (santri), hingga kalangan masyarakat umum (abangan). Tirakatan menjadi sarana mendekatkan diri pada Tuhan dan memohon keselamatan atau terkabulnya hajat.

Di kalangan masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta , ritual tirakatan hadir dalam momen kolektif maupun personal. Dalam konteks kolektif misalnya, ketika masyarakat ingin membangun masjid, jembatan, atau sarana umum, maka sebelumnya digelar tirakatan dengan maksud memohon kelancaran dan keselamatan. Dalam konteks personal, tirakat menjadi semacam riyadhoh alias laku spiritual dengan maksud mensucikan jiwa dan mendekatkan diri pada ilahi.

Dalam konteks Agustusan, malam tirakatan menjadi titik temu antara spirit kebangsaan dan kearifan lokal. Bagaimana pun juga, Indonesia modern ini lahir dari rahim Nusantara yang kaya akan seni dan budaya lokalnya. Tirakatan hanyalah satu dari sekian banyak kearifan lokal yang diadaptasi dalam konteks Indonesia modern.

Di usia yang menginjak 80 tahun ini, menelusuri kembali jejak-jejak kearifan lokal Nusantara dan mempopulerkan ke generasi sekarang kiranya merupakan sebuah kewajiban. Bagaimana tidak? Hari ini kita dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Kemerdekaan kita dihadapkan pada hegemoni budaya asing dan ideologi transnasional yang menggerus karakter dan identitas bangsa.

Penetrasi budaya populer asing di kalangan generasi muda melalui film, komik, musik, dan sebagainya ikut andil dalam melahirkan fenomena krisis identitas. Kian banyak anak muda hari ini lebih akrab dengan produk budaya populer asing ketimbang budaya asli Nusantara. Sedangkan penyebaran ideologi transnasional harus diakui telah mendistorsi spirit nasionalisme.

Rasa cinta dan bangga pada tanah air mulai tergerus oleh propaganda ideologi khilafah atau daulah islamiyyah yang lebih mengagungkan sejarah bangsa Timur Tengah. Di tengah kondisi yang demikian ini, mempopulerkan kembali kearifan lokal seperti tradisi malam tirakatan di momen Hari Kemerdekaan kiranya menjadi satu hal yang urgen dan relevan. Malam tirakatan 17 Agustus menjadi simbol bahwa budaya lokal kita masih berdaulat di tengah gempuran budaya asing dan ideologi transnasional.

Nurrochman

Recent Posts

Kewaspadaan Kolektif: Menjaga Fondasi NKRI dari Terorisme Digital

Laporan Global Terrorism Index (GTI) 2024 yang menempatkan Indonesia pada status zero attack selama dua…

56 detik ago

Dari Warhammer ke Roblox; Visualisasi Ekstremisme di Semesta Gim Daring

Isu terkait penggunaan gim daring (online game) sebagai sarana terorisme sebenernya bukan hal baru. Maka,…

2 menit ago

Regenerasi Sel Teroris; Remaja dan Anak dalam Ancaman Gamifikasi Ekstremisme

Arah pemberantasan terorisme kita bisa dikatakan on the right track. Startegi yang memadukan antara pendekatan…

22 jam ago

Ancaman Tersembunyi di Balik Game Online

Perkembangan teknologi digital membawa kemudahan luar biasa bagi kehidupan manusia, namun juga menghadirkan tantangan baru…

23 jam ago

Radikalisasi Anak Bukan Sebatas Mitos, Ini Buktinya!

Belakangan ini, sebagian kalangan mulai ada yang meragukan tentang adanya radikalisasi anak di Indonesia. Mereka…

23 jam ago

Millah Ibrahim; Basis Epistemologis dan Teologis dalam Mengurai Konflik Palestina-Israel

Millah Ibrahim merujuk pada pengertian ajaran agama Hanif yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Secara historis…

4 hari ago