Narasi

Belajar dari Kemenangan Taliban, Ideologi Transnasional Hanya Membuat Keonaran

Sebagai pranala, Taliban diambil dari akar kata Thalib yang memiliki arti murid madrasah di perbatasan Afghanistan-Pakistan. Sebagian besar mereka berasal dari Suku Pashtun. Kelompok siswa-siswa madrasah yang orang tuanya menjadi korban. Semacam pesantren kalau di Indonesia.

Pada tahun 1996, dengan dukungan Pakistan mereka berhasil menguasai Afghanistan dan mendeklarasikan negara Islamic Emirat of Afghanistan. Namun, negara baru bentukan Taliban ini tidak diakui oleh PBB. Hanya Arab Saudi, Pakistan dan Uni Emirat Arab yang mengakuinya. Islamic Emirat of Afghanistan menerapkan Islam Wahabi ala Saudi. Mewajibkan pria berjenggot panjang, mengharamkan musik, bioskop, dan perempuan untuk sekolah. Dan, perempuan wajib memakai burqa’.

Taliban ternyata tidak satu jenis. Disebutkan oleh Direktur SeRVE (Society againts Radicalim and Violent Extremism) Indonesia, Dete Aliah, berdasarkan keterangan dari ISAF (International Security Assistance Force), ada empat jenis Taliban.

Tipologi Gerakan Taliban

Pertama, Taliban murni. Mereka memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi. Tak senang kalau negaranya dijajah. Dalam berjuang, mereka tidak menggunakan pola bom bunuh diri. Namu dengan cara perang gerilya.

Kedua, Taliban internasional atau Taliban campuran. Anggotanya dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Mereka terkoordinir dan ada yang mendanai. Dalam aksinya mereka membolehkan bom bunuh diri.

Ketiga, kelompok masyarakat Afghanistan yang menamakan diri dengan Taliban untuk tujuan komersil. Orang-orang yang dibayar untuk melakukan sesuatu dan nanti dilabelkan kepada Taliban. Jenis ini juga menghalalkan bom bunuh diri.

Keempat, Taliban yang terdiri dari orang-orang korban perang. Baik dewasa maupun anak-anak. Mereka memiliki dendam kepada tentara asing setelah melihat keluarganya dibunuh oleh tentara asing tersebut. Mereka tidak menggunakan cara bom bunuh diri.

Dari empat jenis Taliban tersebut sulit untuk dibedakan. Sebab masyarakat Afghanistan banyak sekali yang berkamuflase. Siang bisa saja bekerja untuk Negara dan malam hari bekerja untuk Taliban. Ini terjadi sebelum Taliban menguasai Afghanistan untuk yang kedua kalinya.

Satu yang menonjol bagi masyarakat Afghanistan adalah sifat fanatik kesukuannya yang begitu kuat. Mereka lebih bersemangat membela suku daripada negara. Kepentingan kesukuan lebih dominan ketimbang identitas nasionalisme. Parahnya lagi, suku-suku di Afghanistan tidak sudi apabila berada di bawah perintah orang lain sekalipun untuk tujuan sebuah bangsa yang merdeka dan kuat.

Jadi, Taliban yang berasal dari suku Pashtun secara otomatis tidak mewakili masyarakat Afghanistan secara umum dan hasrat berkuasa Taliban bukan karena agama, tapi lebih karena ego kesukuan. Islam hanya dijadikan propaganda politik untuk meraih kekuasaan. Wajar kalau mereka memilih pemikiran Islam Radikal yang penuh kekerasan untuk mensuplai keanggotaan.

Mencegah Semangat Radikalisme

Radikalisme agama lebih potensial merekrut anggota dengan cara indoktrinasi ajaran Islam. Salah satunya adalah jihad bom bunuh diri. Tegas kata, lebih mudah membodohi umat Islam yang rendah ilmu agamanya dengan cara mendoktrin mereka dengan sesuatu yang seolah-olah adalah ajaran Islam. Istilah yang tren sekarang adalah ideologi transnasional. Ideologi yang melegalkan kekerasan atas nama agama.

Belajar dari sini, Indonesia patut bersyukur karena telah mempertahankan kemerdekaan selama 76 tahun. Tidak lain karena masyarakat Indonesia lebih mengedepankan identitas nasionalisme daripada identitas kesukuan.

Faktor penentunya adalah konsep Islam moderat yang diusung oleh umat Islam sebagai penduduk mayoritas sehingga yang minoritas terayomi dan terlindungi. Moderasi Islam ini yang telah berkontribusi besar terhadap keutuhan NKRI.

Namun rongrongan bukan berarti tidak ada. Tipikal Islam Radikal sebagai embrio radikalisme-terorisme menampakkan gejalanya di tanah air. Ada banyak ormas-ormas mengatasnamakan Islam dengan ideologi transnasionalnya bermunculan. Dan apabila dibiarkan Indonesia akan tinggal nama. Petaka dan kehancuran akan dialami oleh bangsa Indonesia.

Untuk itu, kemenangan Taliban menjadi ujian lebih berat bagi umat Islam di dunia. Bagaimana tidak? Dengan ideologi transnasional yang cenderung keras akan mencitrakan Islam sebagai agama yang bengis, pembunuh dan tukang teror. Akan ada fitnah besar bagi umat Islam bahwa agamanya tidak membolehkan wanita untuk sekolah, harus berpakaian menutupi seluruh badan, dan yang tidak sesuai dengan paham mereka harus dihabisi.

Maka harus ditegaskan bahwa Taliban tidak mewakili agama Islam. Taliban hanya memakai kedok Islam untuk memuluskan hasrat berkuasanya.

This post was last modified on 25 Agustus 2021 2:30 PM

Farida Asy’ari

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago