Narasi

Berpuasa dari Kebencian dan Provokasi

Semburan ujaran kebencian tampaknya tidak pernah sepi dari ruang publik (virtual) kita. Kebencian terhadap sesama dan pemerintah sengaja dihembuskan oleh kelompok tertentu untuk menciptakan situasi tidak kondusif. Pelakunya sebenarnya itu-itu saja. Yakni kelompok oposisi destruktif yang ingin mendelegitimasi kerja pemerintah. Serta kelompok radikal yang berhasrat mengubah bentuk dan ideologi negara.

Dua kelompok itu seolah tidak mengenal lelah dan waktu. Segala isu yang mencuat ke permukaan segera dipelintir ke dalam narasi kebencian dan provokasi yang memecah belah publik. Seperti yang kita lihat belakangan ini manakala muncul isu membengkaknya hutang pemerintah Indonesia. Isu ini segera di-framing oleh kelompok oposisi destruktif dan kaum radikal untuk menyerang pemerintah.

Tudingan bahwa pemerintah tidak becus bekerja dan ancaman kebangkrutan negara pun dilontarkan oleh kelompok oposisi destruktif. Tidak mau kehilangan momentum, kaum radikal pun menimpali isu tersebut dengan argumen klise. Yakni bahwa kondisi saat ini merupakan konsekuensi dari sistem demokrasi ala Barat yang diterapkan di Indonesia. Satu-satunya solusi menurut mereka (kaum radikal) ialah menegakkan sistem khilafah dengan pemberlakuan syariat Islam.

Kritik atas situasi sosial-politik tentu dibolehkan dalam sistem demokrasi. Namun, kritik yang diperlukan dalam demokrasi ialah kritik konstruktif sekaligus solutif. Kritik yang hanya berdasar pada asumsi, apalagi dibangun di atas fondasi asumsi dan provokasi justru menjadi ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Lebih memprihatinkan lagi, narasi kebencian dan provokasi itu diumbar pada momen bulan Ramadan, bulan yang sakral bagi umat Islam.

Esensi puasa ialah menahan diri. Di level paling dasar, menahan diri diwujudkan dengan menjaga syahwat biologis kita seperti makan, minum dan berhubungan suami-istri. Di level menengah, menahan diri dimanifestasikan ke dalam sikap menjaga ucap dan perilaku yang dapat melukai hati atau perasaan orang lain. Di level tertinggi, puasa mensyaratkan adanya ketertundukan mutlak antara makhluk terhadap Khalik-nya. Yakni mengarahkan segala perhatian hanya pada Allah Swt semata.

Level tertinggi puasa tentu tidak didapat dengan cara instan, melainkan melalui proses dan riyadhah yang panjang. Maka dari itu, puasa merupakan sekolah akhlak yang dirasa paling efektif untuk mengendalikan nafsu jasmani sekaligus mendidik ruhani. Selama sebulan penuh kita dituntut menekan nafsu biologis sampai ke titik paling rendah sekaligus menjaga tuhani kita agar tetap bersih.

Bagi sebagian orang, menekan nafsu biologis barangkali bukan perkara sulit. Yang sulit ialah menjaga ucap dan perilaku agar tidak melukai perasaan liyan. Terlebih saat ini, ketika sebagian besar masyarakat berkomunikasi dan berjejaring di ranah virtual. Berbeda dengan di dunia nyata, relasi di dunia maya yang serba virtual kerap tidak mengindahkan nilai-nilai moral.

Bahasa komunikasi di ranah virtual pun menjadi cair, dan dalam banyak hal kerap menjurus pada abnormalitas. Norma kesopanan kerap diabaikan lantaran dianggap tidak perlu. Konsekuensinya, berita palsu (hoax), fitnah, ghibah, ujaran kebencian dan provokasi menjadi tidak terbendung. Fenomena inilah yang saat ini tengah kita hadapi.

Maka, kiranya ibadah puasa Ramadan ini bisa menjadi ajang kita untuk membentengi diri kita dari tarikan arus kebencian dan provokasi yang merajalela di dunia maya. Puasa kiranya tidak hanya menahan makan dan minum serta hubungan suami istri. Lebih esensial dari itu ialah menjaga agar mulut dan jemari kita tidak latah dalam mereproduksi ujaran kebencian dan provokasi, baik di dunia nyata maupun maya.

Nabi Muhammad pernah berujar bahwa kita hendaknya berkata yang baik-baik saja, atau lebih baik diam sama sekali (fal yaqul khairan aw liyasmut). Dalam kesempatan lain, Nabi juga bersabda bahwa manusia yang paling buruk (moralnya) ialah yang gemar mengadu-domba dan memecah belah sesamanya. Maka, salah satu subtansi bulan puasa ialah menjaga lisan agar tidak menyemburkan kebencian dan provokasi.

Kebencian dan provokasi ialah musuh bersama yang harus kita lawan. Dari sisi teologis, kebencian dan provokasi merupakan bentuk dari nafsu lawwamah (nafsu negatif) yang merusak akal dan hati manusia. Dalam konteks bulan puasa, ujaran kebencian dan provokasi ialah elemen yang merusak pahala puasa. Sedangkan secara sosiologis, ujaran kebencian dan provokasi berpotensi merusak rajutan kebangsaan.

Arkian, ibadah puasa Ramadan ini hendaknya bisa memproteksi diri kita dari kebencian dan provokasi. Menahan diri untuk tidak memproduksi dan mendistribusikan ujaran kebencian dan provokasi iajah ikhtiar kita untuk meraih keutamaan dan meraih derajat tertinggi dalam menjalani puasa Ramadan. Mari kita jadikan Ramadan tahun ini sebagai momentum memerangi hasrat kebencian dan provokasi.

This post was last modified on 21 April 2021 2:02 PM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Membentuk Gen Z yang Tidak Hanya Cerdas dan Kritis, Tetapi Juga Cinta Perdamaian

Fenomena beberapa bulan terakhir menunjukkan betapa Gen Z memiliki energi sosial yang luar biasa. Di…

9 jam ago

Dilema Aktivisme Gen-Z; Antara Empati Ketidakadilan dan Narasi Kekerasan

Aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia di akhir Agustus lalu menginspirasi lahirnya gerakan serupa di…

9 jam ago

Menyelamatkan Gerakan Sosial Gen Z dari Eksploitasi Kaum Radikal

Gen Z, yang dikenal sebagai generasi digital native, kini menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena…

9 jam ago

Mengapa Tidak Ada Trias Politica pada Zaman Nabi?

Di tengah perdebatan tentang sistem pemerintahan yang ideal, seringkali pandangan kita tertuju pada model-model masa…

3 hari ago

Kejawen dan Demokrasi Substantif

Dalam kebudayaan Jawa, demokrasi sebagai substansi sebenarnya sudah dikenal sejak lama, bahkan sebelum istilah “demokrasi”…

3 hari ago

Rekonsiliasi dan Konsolidasi Pasca Demo; Mengeliminasi Penumpang Gelap Demokrasi

Apa yang tersisa pasca demonstrasi berujung kerusuhan di penghujung Agustus lalu? Tidak lain adalah kerugian…

3 hari ago