Narasi

Berpuasa di Tengah Keragaman: Perlu Dihormati atau Menghormati?

Berpuasa di bulan Ramadhan, terkadang melahirkan egosentrisme diri. Selalu merasa ingin dihormati lalu enggan menghormati mereka yang non-muslim. Bersifat semena-mena karena merasa dirinya sedang berpuasa.

Lantas, dalam konteks bangsa yang beragam, apakah orang berpuasa itu perlu dihormati apa menghormati? Kalau kita merujuk ke dalam fungsi keduanya, antara ingin dihormati dan menghormati tampaknya akan membawa dampak yang berbeda di tengah keragaman itu.

Wujud dari selalu ingin dihormati pada saat berpuasa sering-kali bersifat diskriminatif. Misalnya dalam contoh kasus, meminta umat agama lain agar menutup simbol keagamaan mereka. Dengan alasan, orang puasa harus dihormati agar khusyuk dalam ibadah tersebut.

Tidak menerima alasan apa-pun semua harus tunduk dan patuh serta mengikuti kepentingan orang yang sedang berpuasa. Seperti mereka yang non-muslim dilarang makan di warung atau menutup paksa warung makan tempat orang mencari rezeki.

Bahkan, dalam banyak fakta non-muslim dilarang melaksanakan aktivitas ibadah yang dianggap mengganggu ketenangan umat Islam dalam puasa. Semua merujuk ke dalam kepentingan ego diri dalam beragama lalu tak bersifat toleran serta enggan menghormati mereka yang berbeda.

Jauh berbeda dengan orang yang berpuasa namun menghormati mereka non-muslim yang tidak berpuasa. Mereka condong membiarkan mereka yang non-muslim menjalankan ibadah sesuai keyakinannya. Tidak pernah berkeinginan untuk mengganggu kegiatannya dengan alasan puasa. 

Merasa Ingin Dihormati adalah Penyakit Hati

Merasa ingin dihormati adalah penyakit hati yang sering-kali muncul dalam siri. Seperti kasus penutupan patung Bunda Maria di Kulon Progo. Sikap intoleransi itu membawa alasan demi kekhusyukan ibadah umat Islam di bulan suci Ramadhan agar dihormati.

Mengapa Saya sebut penyakit hati?

Orang yang selalu ingin dihormati sejatinya telah tertanam dalam dirinya. Yaitu sifat-sifat sombong, paling suci, paling benar dan merasa unggul. Setelah itu, akan muncul kesadaran truth-claim bahwa orang lain hina dan dirinya mulai.

Jadi, inilah yang disebut sebagai penyakit hati. Seperti apa yang telah disampaikan oleh Imam Al-Ghazali, bahwa segala sifat “ke-Aku-an” akan menodai seseorang utamanya dalam beragama. Hatinya akan dipenuhi oleh debu, semakin terinfeksi dan membawa penyakit.

Dalam konteks yang semacam ini, saya hanya ingin menjelaskan satu argumen penting. Perihal, bahaya sikap merasa ingin dihormati dalam beragama. Lalu membenarkan sikap intoleransi atau diskriminatif. Utamanya di momentum puasa bulan Ramadhan ini.

Puasa di bulan Ramadhan adalah pembentukan diri yang tercerahkah. Agar, menjadi manusia yang bijaksana. Bisa lebih peduli atas sesama, bisa mengontrol hawa nafsu dan egoisme serta keburukan.

Sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Bahwa, kita harus mewaspadai segala provokasi. Dengan dalih demi kekhusyukan ibadah di bulan suci Ramadhan. Lalu membenarkan perilaku intoleransi seperti ingin merusak simbol agama lain.

Maka dari sinilah pentingnya bagi kita untuk disadari. Bahwa, merasa ingin dihormati adalah penyakit hati. Jadikan Ramadhan kita sebagai cahaya bagi semesta untuk membawa maslahat bukan mudharat.

This post was last modified on 3 April 2023 5:08 PM

Amil Nur fatimah

Mahasiswa S1 Farmasi di STIKES Dr. Soebandhi Jember

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

4 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

5 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

5 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago