Keagamaan

Cahaya dari Madinah: Pendidikan dan Moderasi sebagai Denyut Nadi Peradaban

Pada suatu masa, lebih dari empat belas abad silam, Yatsrib, sebuah oasis di tengah gurun Arabia, berdenyut dengan keragaman suku dan keyakinan. Di sana menetap suku Aus dan Khazraj yang kerap bertikai, komunitas Yahudi dengan tradisi kunonya, serta para pendatang dari berbagai penjuru. Kehadiran Nabi Muhammad SAW membawa sebuah transformasi monumental. Bukan dengan meniadakan perbedaan, melainkan dengan merajutnya menjadi sebuah kekuatan.

Lahirlah Mitsaq al-Madinah atau Piagam Madinah, sebuah dokumen yang dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Piagam ini secara tegas mengakui hak dan kewajiban setiap kelompok masyarakat, termasuk komunitas Yahudi, sebagai bagian dari satu umat (ummah) yang lebih besar, dengan kebebasan menjalankan agama masing-masing, serta tanggung jawab bersama untuk mempertahankan kota Madinah. Inilah wujud nyata dari ummatan wasathan, umat pertengahan yang adil dan menjadi saksi bagi kemanusiaan, sebuah konsep yang kelak menjadi denyut nadi bagi peradaban Islam yang gemilang dan relevan hingga kini, terutama dalam konteks kebangsaan Indonesia.

Konsep moderasi beragama, atau wasathiyyah dalam khazanah Islam, bukanlah sekadar pilihan bagi Indonesia yang majemuk, melainkan sebuah keniscayaan historis dan sosiologis. Berakar dari Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 143) yang menyeru umat Islam menjadi ummatan wasathan, wasathiyyah bukanlah sinkretisme teologis, melainkan sebuah metodologi berpikir dan bertindak (manhaj al-fikr wa al-harakah) yang berlandaskan keadilan (al-‘adl) dan menjauhi segala bentuk ekstremisme (ghuluw), baik yang berlebihan (ifrath) maupun yang meremehkan (tafrith).

Esensi wasathiyyah adalah kemampuan menyeimbangkan dimensi personal (syakhsiyyah) dalam pengamalan agama, yang bersifat eksklusif teologis, dengan dimensi sosial-kemasyarakatan (ijtimaiyyah) yang menuntut inklusivitas dan toleransi (tasamuh). Piagam Madinah menjadi bukti otentik bagaimana Rasulullah SAW membangun tatanan masyarakat pluralistik. Demikian pula, penyebaran Islam di Nusantara oleh para Da’i dan Wali Songo merefleksikan ciri moderasi, seperti komitmen kebangsaan (muwathanah), toleransi, penolakan kekerasan (la ‘unf), dan akomodasi terhadap kearifan lokal (al-‘urf al-shahih). Ini bukan relativisme agama, melainkan pendirian kokoh berbasis maslahat dan perayaan keragaman sebagai sunnatullah.

Indonesia, yang lahir dari kebhinekaan, tidak memilih sekularisme murni maupun teokrasi. Konstitusi menjamin kebebasan beragama, melindungi kemajemukan yang, meminjam Ibnu Khaldun, bisa menjadi sumber kekuatan (‘ashabiyyah) jika dikelola dengan kearifan (hikmah), atau potensi friksi jika salah urus. Di sinilah wasathiyyah menjadi prasyarat harmoni.

Pendidikan agama berperspektif moderat berperan strategis sebagai benteng (al-hisn al-mani’) terhadap radikalisme. Radikalisme kerap lahir dari pemahaman agama yang fragmentatif dan ahistoris, seperti kaum Khawarij di masa awal Islam yang kaku dalam interpretasi tekstual. Pendidikan moderasi mengajarkan pemahaman teks (nash) beserta konteksnya (siyaq), baik konteks pewahyuan (siyaq al-nuzul) maupun konteks kekinian (siyaq al-waqi’). Peserta didik didorong menolak justifikasi kekerasan atas nama agama dan membangun pandangan holistik, menjembatani keteguhan akidah personal dengan penerimaan sosial. Toleransi sejati adalah menghargai hak orang lain berkeyakinan sesuai prinsip “lakum dinukum waliyadin” (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku), tanpa mengorbankan integritas akidah.

Urgensi penguatan moderasi beragama ini semakin menemukan momentumnya di era globalisasi dan disrupsi digital. Tantangan baru seperti penyebaran ideologi transnasional ekstremis melalui platform siber, yang mengingatkan kita pada bagaimana ide-ide tertentu dapat menyebar cepat melintasi batas geografis dalam sejarah, memerlukan respons adaptif. Generasi muda, sebagai digital natives, menjadi sasaran empuk.

Maka, promosi pendidikan moderasi beragama menjadi salah satu ikhtiar preventif yang krusial. Media sosial, jika kita mampu mengelolanya, dapat menjadi instrumen diseminasi nilai-nilai wasathiyyah itu sendiri, sebagaimana dulu para ulama memanfaatkan berbagai media yang tersedia pada zamannya untuk penyebaran ilmu. Pendidikan moderasi melatih kemampuan berpikir kritis (critical thinking) dan tabayyun (klarifikasi informasi), sebuah kecakapan esensial di era banjir informasi dan hoaks.

Institusi pendidikan formal, dari dasar hingga perguruan tinggi—sebagai pewaris tradisi intelektual madrasah dan universitas Islam klasik seperti Al-Azhar atau Nizamiyyah—bertanggung jawab menginternalisasi nilai moderasi. Materi ajar harus mengintegrasikan tasamuh, dialog (hiwar), pemahaman lintas iman (fiqh al-ikhtilaf), dan nalar kritis. Pendidik agama wajib menjadi teladan (uswah hasanah)

Syukron

Recent Posts

Kebangkitan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, dan Kejawen

Nasionalisme, sejauh ini, selalu saja dihadapkan pada agama sebagaimana dua entitas yang sama sekali berbeda…

2 jam ago

Membangun Sinergi Gerakan Nasional dan Pembaruan Keagamaan

Kebangkitan Nasional pada awal abad ke-20 bukan sekadar momentum politis untuk meraih kemerdekaan. Lebih dari…

5 jam ago

Refleksi Harkitnas; Redefinisi Kebangkitan Islam di Tengah Fenomena Banalitas Keagamaan

Salah satu fenomena menarik dalam lanskap keberagaman Indonesia pasca Reformasi adalah perubahan perilaku beragama di…

1 hari ago

Cobalah Kritis pada Diri, Ketika Agama Semata-mata Menjadi Ornamen Pribadi

"Satu ons praktik lebih berharga daripada berton-ton khotbah," demikian pernah diungkapkan oleh Mahatma Gandhi. Kutipan…

1 hari ago

Perusakan Makam Kristen di Bantul, Normalisasi Kebencian yang Terlembaga?

Sebuah insiden yang diduga bakal menambah daftar panjang intoleransi terjadi lagi belum lama ini. Sebanyak…

1 hari ago

Hikayat Akhir Zaman; Bedah Narasi Eskatologis Kelompok Radikal Teroris: Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 3 Mei 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

1 hari ago