Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan interpretasi keagamaan kerap menjadi pemicu benturan antarindividu maupun kelompok. Dalam konteks keagamaan, sering kali kita menyaksikan konflik yang semestinya bisa diselesaikan secara damai, justru berakhir dengan kekerasan, persekusi, bahkan kriminalisasi terhadap kelompok atau individu tertentu.
Ironisnya, tindakan-tindakan tersebut kerap diklaim sebagai upaya membela agama atau menegakkan kebenaran. Padahal, Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam mengajarkan cara penyelesaian konflik yang jauh dari kekerasan dan persekusi. Islam menawarkan metode yang luhur dan manusiawi dengan tabayun dan musyawarah.
Tabayun, dalam bahasa sederhana, berarti klarifikasi atau verifikasi informasi sebelum berkesimpulan atau bertindak. Konsep ini diambil dari Surat Al-Hujurat ayat 6: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan itu.”
Dalam praktiknya, tabayun menuntut seseorang untuk menahan diri dari prasangka, tidak langsung menyimpulkan atau mengambil tindakan hanya berdasarkan kabar yang belum jelas kebenarannya. Ini sangat relevan dalam kehidupan modern, di mana arus informasi begitu deras dan sering kali membingungkan. Sayangnya, banyak dari kita lebih cepat menyebarkan kabar buruk ketimbang memverifikasinya lebih dulu untuk mengonfirmasi kebenarannya.
Dalam konteks konflik keagamaan, sikap gegabah semacam ini bisa melahirkan tindakan main hakim sendiri, intimidasi, hingga persekusi terhadap orang atau kelompok yang dianggap menyimpang. Padahal, persekusi, dalam bentuk apa pun, sejatinya bertentangan dengan semangat Islam. Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkan umatnya untuk memaksakan kebenaran dengan cara kekerasan. Ketika dakwah Islam ditolak, Rasul tidak membalas dengan amarah, tapi justru menunjukkan kesabaran dan keluhuran akhlak.
Bahkan, dalam situasi di mana Rasulullah memiliki kekuatan untuk membalas, seperti saat penaklukan Mekah, beliau memilih memaafkan musuh-musuhnya dan tidak melakukan persekusi. Ini menjadi teladan agung bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kemampuan membalas, tetapi pada kemampuan menahan diri dan membimbing dengan kasih sayang.
Selain tabayun, musyawarah adalah cara penting lain dalam penyelesaian konflik menurut Islam. Musyawarah merupakan metode deliberatif untuk mencari solusi bersama melalui dialog yang setara. Dalam Surat Asy-Syura ayat 38, Allah memuji orang-orang beriman yang menyelesaikan urusan mereka dengan musyawarah (wa amruhum syura bainahum). Artinya, penyelesaian masalah dalam Islam tidak ditentukan oleh kekuasaan sepihak, melainkan melalui partisipasi semua pihak yang terlibat dalam masalah.
Musyawarah menuntut keterbukaan pikiran, kesediaan mendengar, dan niat baik untuk mencari titik temu, bukan menang-menangan. Dalam masyarakat yang plural, baik dari segi keyakinan, pandangan politik, maupun latar belakang budaya, musyawarah menjadi ruang penting untuk menjembatani perbedaan. Bahkan dalam hal yang menyangkut persoalan keagamaan sekalipun, selama tidak menyangkut prinsip dasar aqidah, ruang musyawarah tetap terbuka luas. Perbedaan pendapat di kalangan ulama justru menjadi kekayaan intelektual yang dijaga dan dihormati, bukan dijadikan alasan untuk saling menyesatkan satu sama lain.
Namun, realitas hari ini kerap memperlihatkan praktik sebaliknya. Banyak kelompok mengklaim kebenaran mutlak dan menolak berdialog dengan pihak yang berbeda pandangan. Mereka lebih memilih jalan konfrontasi, membuat tekanan massa, dan melakukan persekusi sebagai bentuk “amar ma’ruf nahi munkar”. Padahal, semangat amar ma’ruf nahi munkar dalam Islam tidak berdiri sendiri tanpa dibarengi dengan ilmu, kebijaksanaan, dan kesabaran.
Bahkan Imam Ghazali menegaskan bahwa nahi munkar tidak boleh dilakukan bila justru melahirkan kemunkaran yang lebih besar. Islam sangat menjunjung tinggi prinsip keadilan, dan dalam setiap proses penyelesaian konflik, keadilan harus menjadi dasar utama. Tidak ada keadilan dalam persekusi. Tidak ada kebaikan dalam tindakan membubarkan paksa, mengintimidasi, atau menyebar kebencian hanya karena perbedaan paham.
Rasulullah SAW mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki kehormatan yang harus dijaga, sebagaimana beliau bersabda dalam khutbah haji wada’, “Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu adalah suci seperti sucinya hari ini, bulan ini….”
Islam tidak pernah membenarkan persekusi sebagai jalan keluar. Islam justru menuntun kita untuk mendahulukan tabayun agar tidak terjebak dalam kesalahan fatal, dan mendorong musyawarah agar keputusan yang diambil adil dan diterima semua pihak. Inilah jalan Islam yang sejuk dan solutif, yang semestinya menjadi pedoman utama dalam menghadapi perbedaan dan menyelesaikan konflik dalam kehidupan bersama.
Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…
Banyak yang berbicara tentang jihad dan syahid dengan semangat yang menggebu, seolah-olah Islam adalah agama…
Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…
Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…
Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…
Peristiwa bentrokan antar kelompok yang terjadi di Pemalang, Jawa Tengah dan Depok, Jawa Barat beberapa…