Narasi

Dakwah Itu Mengajak Bukan Mengejek

Dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti mengajak. Yakni, yakmuruna bil ma’ruf wa yanhauna ‘anil munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran). Dalam praktiknya, seorang da’i (orang yang berdakwah) mesti memandang umat dengan pandangan sejuk (yandurunal ummah bi’aini rahmah).

Terhadap mad’u (umat yang didakwahi), seorang da’i ibarat orang tua memandang anak-anaknya. Meskipun darah daging orang tua, anak memiliki karakter yang berbeda. Bahkan, antara satu anak dengan yang lain memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Padahal, orang tua selalu berusaha memberikan hak anak (baik lahir maupun batin) yang sama-sama maksimal. Namun demikian, antara anak satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Ada yang menurut kepada orang tua, ada yang membangkang. Ada yang pintar ada yang bodoh. Dan seterusnya. Terhadap kenyataan ini, orang tua tetap bergaul kepada anak dengan sifat kasih-sayangnya. Terhadap anak yang sudah baik, ia akan senang dan terus mendoakan agar tetap baik. Terhadap anak yang berperilaku tidak baik, orang tua tetap mendoakan dan terus berharap agar Allah SWT menurunkan hidayah. Orang tua tidak pernah rela manakala ada orang membicarakan kejelekan perilaku anaknya.

Begitulah mestinya seorang da’i, ia memandang umat layaknya orang tua memandang anak-anak yang beragam sifat. Seorang da’i mesti paham betapa umat memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Perbedaan ini menentukan karakter dan perilaku yang sekarang ada pada diri setiap umat. Sehingga, bukan hal yang mustahil manakala ada umat yang mendapat pemahaman sedikit terkait agama langsung bisa mempraktikkan dalam keseharian. Namun demikian, ada umat yang berulang kali diberi nasihat namun tetap berperilaku tidak baik. Di sinilah seorang da’i mendapat ujian, akan lulus atau tidak.

Seorang da’i yang menjalankan “profesi” kedaian sebagai wujud ihtiyar li i’lai kalimatillah (meninggikan nama Allah SWT), maka dia akan lulus menghadapi umat yang beragam ini. Ia akan ikhlas menjalankan dakwah dengan beragam resiko yang mesti dihadapi. Apapun yang ia rasakan merupakan “lahan pahala” dari Allah SWT. Ketika dirinya mengajak kepada kebaikan atau mencegah kemungkaran dan umat mengikuti apa yang ia dakwahkan, maka ia akan bersyukur. Karena, dengan kenyataan ini, ia sadar bahwa Allah SWT telah menjanjikan bahwa pahala orang melakukan kebaikan akan sampai kepada orang yang mengajak kepada kebaikan tersebut. Sebaliknya, jika umat tidak mengikuti dakwahnya, ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang hamba Allah SWT yang dloif (lemah). Ia juga sadar bahwa Allah SWT menjanjikan pahala kepada orang-orang yang sabar. Da’i ini akan mendapat pahala sabar lantaran ia berusaha berdakwah namun secara lahir ia tidak berhasil dan tetap rela hati serta tidak pernah putus asa.

Sementara, da’i yang tidak lulus terhadap apa yang ia usahakan adalah orang-orang yang mengajak kepada jalan Allah SWT namun ia lupa terhadap Allah SWT. Apabila ia berhasil mengajak umat kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, ia akan menyombongkan diri terhadap upaya-upayanya. Ia lupa bahwa hidayah turun dari Allah SWT. Ia tidak sadar bahwa ucapan dan perbuatan yang dilakukan hanyalah cara Allah SWT sebagai wasilah agar umat bisa berjalan menurut siratal mustaqim. Sementara, apabila dakwahnya tidak mendapat respon positif dari umat, maka ia akan marah dan memandang umat sebagai setan dan iblis. Maka, umpatan-umpatan pun sering kali keluar dari orang-orang yang (mengaku) sebagai da’i. Padahal, mereka bisa jadi hanyalah da’i fotokopi buram yang tidak tampak di hadapan Allah SWT.

Untuk itulah, para da’i mesti waspada terhadap apa yang ia upayakan. Seorang da’i mesti sadar bahwa apa pun yang terjadi di dunia ini hanyalah kehendak Allah SWT. Seorang da’i mesti sadar bahwa makhluk ibarat wayang yang tidak bisa apa-apa tanpa adanya seorang dalang. Semaksimal apapun yang dilakukan seorang da’i, semuanya atas izin Allah SWT. Dan apabila umat tidak menurut ajakan dakwah, seorang da’i mesti sadar bahwa semua ini juga atas kehendaknya. Dengan begitu ajakan kebaikan tidak akan berubah menjadi ejekan keburukan kepada umat.

Wallahu a’lam.

This post was last modified on 1 Desember 2020 8:46 PM

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Cara Islam Menyelesaikan Konflik: Bukan dengan Persekusi, tapi dengan Cara Tabayun dan Musyawarah

Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…

1 hari ago

Beragama dalam Ketakutan: Antara Narasi Kristenisasi dan Persekusi

Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…

1 hari ago

Bukti Nabi Sangat Menjaga Nyawa Manusia!

Banyak yang berbicara tentang jihad dan syahid dengan semangat yang menggebu, seolah-olah Islam adalah agama…

1 hari ago

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

2 hari ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

2 hari ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

2 hari ago