Narasi

Dari Suriah ke Sudan; Bagaimana Ekstremis Mengeksploitasi Konflik Sosial-Politik?

Ibarat kendaraan bermotor, gerakan ekstremisme juga butuh bahan bakar. Jika mobil atau motor bahan bakarnya adalah minyak bumi, maka bahan bakar gerakan ekstremisme adalah isu. Selama ada isu yang dapat dijual, maka gerakan ekstremisme terus tumbuh dan berkembang.

Dalam lingkup nasional misalnya, terorisme tumbuh subur ketika konflik berlayar SARA melanda sejumlah wilayah Tanah Air. Konflik berlatar SARA di Poso, Maluku, dan Ambon menjadi latar suburnya fenomena terorisme di Indonesia. Di era tahun 90an akhir dan 2000an awal, propaganda dan rekrutmen terorisme dilakukan melalui media compact disc atau CD berisi rekaman kekejaman kerusuhan berlatar agama di sejumlah wilayah.

Rekaman video menggambarkan serangan terhadap umat Islam disebarluaskan untuk mendidihkan amarah umat. Cara itu efektif, banyak umat Islam bergabung dengan sejumlah milisi ekstrem seperti Laskah Jihad yang berangkat ke daerah konflik untuk tujuan jihad. Gelombang milisi dari luar pulau itulah yang membuat konflik kian berkobar dan sulit dipadamkan.

Ketika isu konflik SARA di lingkup nasional mereda. Kelompok ekstrem menggunakan isu-isu dalam lingkup global untuk menyebar doktrin radikalisme dan merekrut anggota baru. Isu-isu seperti kemerdekaan Palestina, revolusi Suriah, dan terbaru isu Sudan dipakai untuk mengobarkan semangat jihad kaum muslim. Konflik Sudan Selatan yang menawarkan sekitar 2000 orang selama setahun terakhir menjadi bahan bakar baru yang menggerakkan mesin ekstremisme global.

Tidak kurang dari organisasi teroris Al Qaeda dan ISIS secara terang-terangan mengeksploitasi isu ini untuk mengobarkan semangat jihad. Al Qaeda sejak tahun 2022 telah mengeluarkan fatwa jihad ke Sudan. Sedangkan ISIS sejak awal tahun 2025 ini gencar meng-endorse ajakan jihad ke Sudan.

Bagaimana sebenarnya kelompok ekstremis mengeksploitasi isu konflik horisontal di sebuah negara mayoritas muslim untuk mendoktrinkan ideologi jihad dan merekrut simpatisan baru. Pola pertama yang menjadi karakter atau ciri khas kelompok ekstrem adalah over-simplifikasi dalam memahami konflik horisontal.

Kelompok ekstremis cenderung menyederhanakan konflik horisontal yang kompleks ke dalam satu klaim narasi tunggal, yakni konflik antara umat Islam dan musuh Islam. Over simplifikasi ini telah mereduksi kompleksitas konflik yang sebenernya melibatkan banyak variabel. Dalam konteks Sudan misalnya, narasi jihad membela muslim itu absurd lantaran yang terjadi di Sudan adalah perang saudara sesama muslim akibat perbuatan kekuasaan.

Logika over-simplifikasi ini dimaksudkan untuk mengajak umat Islam memahami konflik dengan perspektif hitam putih; salah-benar. Nalar over simplifikasi ini lantas melahirkan perilaku glorifikasi dan demonisasi. Kelompok yang sealiran akan dipuja layaknya dewa atau malaikat yang tindakannya selalu dicap mulia. Sebaliknya kelompok yang tidak sealiran akan dianggap sebagai iblis yang tidak ada sisi baiknya sama sekali. Padahal dalam perang semua bisa jadi pahlawan sekaligus iblis dalam waktu yang sama.

Kedua, penggiringan isu dengan narasi bahwa umat Islam dizalimi, ditindas, diperlakukan tidak adil oleh rezim kafir. Narasi ini mengeliminasi fakta bahwa dalam konflik, kedua pihak menyumbang andil pada kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia warga sipil. Artinya narasi ini justru berpotensi mengesampingkan hak sipil yang sebenarnya adalah korban utama dari konflik.

Terakhir, kelompok ekstrmis selalu membangun persepsi ukhuwah global di balik ajakan jihad ke negara konflik. Padahal, konsep ukhuwah global yang dimaksud Islam tidak sesederhana itu. Ukhuwah global yang dimaksud Islam adalah solidaritas kemanusiaan yang dilandasi oleh nilai perdamaian dan kerukunan.

Keterlibatan umat Islam dalam sebuah konflik internal sebuah negara apalagi dalam konteks modern tidak bisa disederhanakan dalam ajakan jihad. Bahkan di zaman Rasulullah dan para sahabat pun, ajakan jihad ke negara lain itu tidak dikenal. Contohnya di zaman Rasulullah ketika masyarakat Yatsrib dilanda konflik internal, Nabi Muhammad secara khusus diundang untuk menyelesaikan konflik. Dalam konteks Yatsrib, Rasulullah tidak berinisiatif mencampuri urusan internal mereka.

Dimana ada konflik sosial politik yang melibatkan komunitas Islam, di situlah kelompok ekstremis berusaha mencari panggung. Mereka hadir layaknya pahlawan yang menjanjikan pembebasan dan kemenangan bagi umat Islam yang tertindas. Padahal, mereka sebenarnya hanya membawa bentuk penindasan baru yang jauh lebih membahayakan.

Konflik Suriah yang melahirkan gelombang hijrah ke Negeri Syam dengan ajakan jihad kita belajar bahwa seruan itu tidak lebih dari sekedar imajinasi kosong. Para mantan kombatan ISIS kini menjadi pengungsi yang kehilangan kewarganegaraan. Hidup sengsara di kamp pengungsian tanpa ada celah kembali ke tanah airnya. Jangan sampai, isu konflik Sudan ini menjadi Suriah jilid dua.

Umat Islam tidak boleh termakan oleh provokasi hijrah ke Sudan dengan narasi ukhuwah global. Jihad yang relevan dengan umat Islam Indonesia saat ini adalah memastikan bangsa dan negara tetap utuh dari infiltrasi asing dan ideologi transnasional.  Jihad kebangsaan yang juga diajarkan oleh para ulama Nusantara ketika melawan kolonialisme.

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

“Glokalisasi Pancasila” & Ramuan Ciamik Harmoni Nusantara

Diskursus kebangsaan kita sering kali terjebak dalam dua tarikan ekstrem. Di satu sisi, terdapat kerinduan,…

5 jam ago

Eksploitasi Ideologi Mengatasnamakan Hijrah dan Jihad Semu

Propaganda terbaru ISIS melalui majalah al-Naba’ (2025) yang menyerukan ajakan berjihad ke Sudan merupakan bukti…

5 jam ago

Kompleksitas Isu Sudan; Bahaya Jihad FOMO Berkedok Ukhuwah Global

Isu Suriah sudah lewat. Gaza sudah berangsur normal. Isu lain seperti Uyghur, Rohingya, dan sebagainya…

1 hari ago

Ilusi Persatuan Global; Meneguhkan Nasionalisme di Tengah Dunia Multipolar

Kelompok ekstremis terutama ISIS tampaknya tidak pernah kehabisan materi propaganda kekerasan. Setelah revolusi Suriah berakhir…

1 hari ago

Menakar Ukhuwah Global dan Kompromi Pancasila Sebagai Benteng Persatuan Dunia

Dalam beberapa dekade terakhir, istilah ukhuwah global sering digaungkan sebagai cita-cita luhur umat manusia—sebuah gagasan…

1 hari ago

Zaman Disrupsi dan Bagaimana Pemuda Memaknai Sumpahnya?

Zaman disrupsi telah menjadi babak baru dalam perjalanan umat manusia. Dunia berubah dengan sangat cepat,…

4 hari ago