Narasi

Ekspansi danToleransi di Tengah Pandemi

Ingkang lumrah ing mangsa puniki

Mapan ki guru kang golek sabat

Tuhu kuwalik karepe

Kang wis lumrah karuhun

Jaman kuna mapan ki murid

Ingkang padha ngupaya

Kudu anggeguru

Ing mengko iki ta nora

Kyai guru naruthuk ngupaya murid

Dadia kanthinira

Serat Wulangreh

Pagebluk Corona yang sudah terjadi lebih dari setahun ini rupanya juga menyingkapkan fenomena lain yang menggelikan. Nietzsche, salah satu pemikir yang pernah menyingkapkan kemunafikan manusia, mengungkapkan bahwa kehendak berkuasa merupakan faktisitas yang tak dapat dihindari. Ia seperti halnya azas yang tanpanya kehidupan tak mungkin berkembang.

Sebagaimana para mahaguru kecurigaan lainnya, Nietzsche juga tak pernah percaya pada ideal manusia yang didongengkan modernisme: rasional, dewasa, dan otonom. Ternyata, baginya manusia dan segala aktifitasnya selalu didorong oleh kehendak untuk berkuasa sekalipun menyangkut sesuatu yang secara normatif dianggap suci dari segala motif: agama.

Pagebluk Corona yang terjadi lebih dari setahun belakangan ini ternyata menyingkapkan pula kehendak untuk berkuasa yang termanifestasikan pada sifat ekspansif agama. Sehingga, karenanya toleransi yang selama ini didengang-dengungkan—yang bahkan konon menjadi salah satu misi agama pula—menjadi sekedar topeng rupawan.

Keadaan seperti ini memang pernah terjadi pada tahun 2017 dengan tumbuhnya fenomena populisme kanan (Hikayat Kebohongan, Heru Harjo Hutomo, https://islami.co). “Islam gradakan” atau gerakan yang mengklaim sebagai “Islam” sekonyong-konyong hadir di berbagai komunitas masyarakat lengkap dengan tata aturan yang seperti ditaati tanpa reserve. Padahal, dengan menengok akar sejarah masyarakat-masyarakat yang bersangkutan, gerakan Islam gradakan semacam ini sama sekali asing. Persis pada 2017 yang lalu, banyak dari paham dan pola pergerakan mereka juga ditandai oleh kegoblokan yang akut, karena tampak memang bukan dilakukan oleh ahlinya.

Pagebluk Corona yang terjadi ternyata tak pula menyurutkan nyali mereka untuk melakukan ekspansi. Hal ini senada dengan temuan BNPT soal peningkatan transaksi keuangan yang mencurigakan. Ekspansi-ekspansi ini berwujud pula dalam bentuk pengeklaiman umat yang memang tak gampang di-counter tatkala banyak orang tengah waspada dengan pagebluk. Di samping itu, tingkat literasi masyarakat atas wawasan keislaman yang masih rendah juga membuka ruang untuk terjadinya pengeklaiman dan kemudian pendudukan wilayah.

Pada titik inilah kemudian apa yang pernah saya sebut dengan terorisme dalam bentuk purbanya sebagaimana yang disuguhkan oleh IS, premanisme, terbentuk dan tinggal menunggu momen yang tepat untuk benar-benar melancarkan aksi-aksinya (Mereka yang Terjaga: Menggagas Pendidikan Antiradikalisme dan Antiterorisme Sejak Dini, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Satu hal yang pasti, radikalisme dan radikalisasi yang justru massif terjadi di saat pandemi ini ditandai oleh banyaknya ustadz atau guru yang secara tak bermartabat justru mencari murid. Secara sufistik jelas fenomena guru yang justru mencari murid ini menyalahi konsep barakah yang konon menjadi fondasi keilmuan seseorang.

Yang lazim di hari ini

Gurulah yang mencari murid

Berkebalikan niatnya      

Yang lumrah di masa lalu

Adalah si murid

Yang berupaya

Mencari guru

Saat ini justru tidak

Kyai guru tanpa martabat mencari murid

Agar menjadi temannya

Maka, dari perspektif Serat Wulangreh ini, menjadi tak mustahil ketika output yang dihasilkan dari proses belajar-mengajar seperti di atas adalah terorisme. Sebab, guru yang bersusah-payah mencari murid lazimnya akan seturut dengan yang dihadapi. Ketika si murid adalah para bangsat, maka proses belajar-mengajarnya akan menjadikan mereka penjahat. Ketika si murid adalah para bajingan, maka proses belajar-mengajarnya akan menjadikan mereka maling. Dan ketika si murid adalah kalangan radikal, maka proses belajar-mengajarnya akan menjadikan mereka teroris. Dengan demikian, benarlah bahwa radikalisme adalah rahim dari terorisme.

Yen wong anom pan wus tamtu

Manut marang kang ngadhepi

Yen kang ngadhep akeh bangsat

Datan wurung bisa juti      

Yen kang ngadhep keh durjanaNora wurung bisa maling.

This post was last modified on 6 Agustus 2021 2:51 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

18 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

18 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

18 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago