Narasi

Fakta Intoleransi sebagai Gejala Awal Terjangkiti Terorisme

Ada pertanyaan menarik ketika seseorang ditanya tentang apakah pelaku teror itu mempunyai wawasan toleransi atau intoleransi? Pertanyaan ini muncul karena kerap kali intoleransi dikatakan sebagai awal mula seseorang terjangkiti penyakit atau virus terorisme. Lalu, bagaimana jawabannya?

Jika melihat para pelaku teror yang sudah tertangkap dan divonis hampir semuanya adalah mereka yang memiliki pandangan intoleran. Mereka merasa dirinya paling benar dan menganggap yang lain salah dan bahkan sesat. Implikasi keyakinan mereka salah dan sesat menjadi pembenaran bagi mereka untuk menghalalkan darah manusia. Tidak akan ada penyesalan karena mereka Tindakan mereka adalah benar.

Jika melihat fakta-fakta pelaku teror yang tertangkap dan melakukan aksi kebanyak testimoni masyarakat akan mengatakan tidak menyangka dia melakukan tindakan kekerasan. Dia tinggal bersama kita tetapi jarang sekali bersosialisasi dan terlihat hanya datang dan pergi hanya bertegur sapa seadanya. Terkadang ada rombongan temannya datang dengan kegiatan tertutup.

Jika melihat sebagian lokasi aksi kekerasan adalah rumah ibadah umat lain semakin mempertegas sejatinya pelaku teror memang intoleran. Gereja mungkin sudah menjadi langganan tempat lokasi aksi teror. Ada pula wihara dan Candi Borobudur pun pernah menjadi korban aksi teror.

Jika berbicara masjid yang menjadi lokasi teror seperti kejadian di Masjid Polresta Cirebon sejatinya bukan karena masjidnya tetapi mereka sebenarnya mengincar para thagut, yakni aparat kepolisian. Masjid bukan halangan bagi mereka melakukan aksi teror sebagaimana terjadi rutin di negara-negara Timur Tengah yang berkonflik di mana masjid dan aktifitas jumatan menjadi lokasi teror.

Intoleransi kelompok teror bukan sekedar kepada penganut agama lain, tetapi juga kepada sesama agama dan seiman yang berbeda pandangan dengan mereka. Bagi mereka, umat Islam di Indonesia belum muslim karena tidak berbaiā€™at kepada amir dan gerakan yang mereka lakukan. Jadi, bukan persoalan untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan kepada sesama muslim apalagi yang bekerja di lingkungan thagut seperti aparat pemerintah.

Dengan fakta-fakta itu sejatinya pelaku teror tidak ada yang memiliki pandangan yang terbuka. Mereka bukan orang yang gemar bergaul dengan yang berbeda agama, apalagi mengucapkan Selamat Natal, Selamat Nyepi, Selamat Waisak dan Selamat Imlek. Bagi mereka ucapan itu adalah haram yang menggangu keimanan mereka.

Kelompok teror adalah individu yang memiliki pandangan sempit secara pengetahuan keagamaan dan pergaulan sosial. Mereka hanya mempunyai komunitas kecil yang hidup dalam tempurung. Kebenaran itu hanya ada di lingkaran tempurung mereka, sementara yang di luar sana adalah fitnah dan sesat.

Tetapi pertanyaannya apakah semua yang intoleran itu pasti pelaku teror? Tentu tidak, namun mereka yang memiliki pandangan intoleran merupakan gejala seseorang mudah terjangkiti virus terorisme. Kelompok teror akan mudah merekrut mereka yang memiliki pandangan intoleran. Sangat sulit mempengaruhi orang yang sudah memiliki pemahaman terbuka dan luas.

Sasaran empuk kelompok teror adalah mereka yang mempunyai benih tidak suka terhadap perbedaan dan menganggap yang berbeda sebagai musuh. Mereka yang menganggap yang berbeda agama sebagai orang yang tidak layak dijadikan teman dan mereka yang hanya berteman dengan lingkungan seiman secara tertutup dan tidak menerima yang berbeda pandangan meskipun satu agama.

Karena itulah, masyarakat yang terbiasa dengan bekerjasama dan gotong royong tanpa melihat batas agama dalam pergaulan sosial susah ditembuh oleh kelompok radikal. Mereka yang menganggap pertemanan tidak dibatasi dengan agama akan sulit termakan virus terorisme. Mereka yang sangat menghayati kebhinekaan dan keragaman adan sunnatullah sebagai anugerah akan kebal terhadap virus radikal terorisme.

This post was last modified on 6 Desember 2022 2:06 PM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

2 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

20 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

20 jam ago