Narasi

HTI Menyasar Anak Muda Militan, Tetapi Ilmu Agama Pas-pasan

Beberapa waktu lalu, muncul video mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang membahas aktivitas dakwah HTI, terutama mengenai konsep khilafah yang tetap aktif meskipun organisasi ini sudah dibubarkan secara hukum. Dalam video tersebut, terungkap bahwa HTI masih memanfaatkan karakter umat beragama yang rentan terhadap praktik formalistis-dogmatis. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menghidupkan kembali tradisi intelektualisme dalam Islam untuk mengantisipasi dan melawan propaganda bawah tanah HTI.

Praktik formalistis-dogmatis dalam beragama sering kali mengakibatkan umat mudah terjebak dalam pemahaman agama yang dangkal dan eksklusif. Simbolisme menjadi ukuran utama dalam menilai keimanan seseorang. Jika seseorang berbeda pendapat dengan konsep khilafah yang diusung HTI, maka ia akan langsung divonis sesat. Fenomena ini tidak hanya mengancam kerukunan umat beragama, tetapi juga menjadi pintu masuk bagi doktrin keagamaan yang eksklusif dan radikal.

Sasaran propaganda mereka adalah anak-anak muda dengan gairah beragama yang hanya menekankan militansi, tetapi dengan ilmu keagamaan yang pas-pasan. Militansi yang tinggi tetapi tidak dilengkapi dengan intelektualitas yang memadai. Mereka hanya disuguhkan dengan zaman keemasan masa lalu, tetapi tidak tahu cara membangkitkannya kecuali dengan satu solusi khilafah.

Menurut Dr. Muhamad Ali dalam jurnalnya “Islamic Radicalism in Indonesia: Roots and Sources,” formalisme agama tanpa pemahaman mendalam menjadi salah satu akar dari radikalisme keagamaan. HTI memanfaatkan celah ini untuk menyebarkan doktrinnya, dengan menekankan pentingnya simbol-simbol keagamaan tanpa memberikan ruang untuk dialog dan pemahaman yang lebih luas.

Kekerasan berbasis keagamaan sering kali berangkat dari ambisi untuk menjaga simbolisme yang ketat dan kaku. HTI, dengan visinya yang eksklusif, menekankan pentingnya penegakan khilafah sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai kejayaan Islam. Padahal, sejarah Islam mencatat bahwa khilafah bukanlah satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah dalam Islam. Berbagai model pemerintahan yang ada di dunia Islam, baik pada masa klasik maupun modern, menunjukkan bahwa esensi dari pemerintahan Islam adalah keadilan dan kesejahteraan umat, bukan semata-mata pada bentuk simboliknya.

Pentingnya pemahaman kontekstual terhadap ajaran Islam, supaya agama Islam dapat menjadi sumber inspirasi untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua, bukan sebagai alat untuk memaksakan satu bentuk pemerintahan atau doktrin tertentu. Ambisi HTI untuk menjaga simbolisme khilafah yang kaku justru bertentangan dengan semangat Islam yang inklusif dan rahmatan lil alamin.

Dalam menghadapi propaganda bawah tanah HTI, perlu ada upaya kontra narasi yang tepat dan terukur. Kontra narasi ini harus berbasis pada tradisi intelektualisme Islam yang kaya dan beragam. Salah satu caranya adalah dengan menghidupkan kembali tradisi pemikiran kritis dan dialog terbuka dalam Islam. Ulama dan intelektual Muslim harus berperan aktif dalam memberikan pemahaman yang mendalam dan kontekstual terhadap ajaran Islam.

Menurut Dr. Azyumardi Azra, tradisi intelektualisme dalam Islam memiliki akar yang kuat dalam sejarah Islam, mulai dari masa keemasan Islam di Baghdad hingga perkembangan pemikiran Islam di Andalusia. Tradisi ini perlu dihidupkan kembali untuk melawan narasi eksklusif dan radikal yang disebarkan oleh kelompok-kelompok seperti HTI.

Selain itu, penting juga untuk memperkuat pendidikan agama yang inklusif dan moderat. Pendidikan agama harus menekankan pentingnya pemahaman yang mendalam dan kontekstual terhadap ajaran Islam, bukan hanya sekadar hafalan dan simbolisme. Dengan demikian, umat Islam akan lebih tahan terhadap propaganda radikal yang memanfaatkan pemahaman agama yang dangkal.

Menghidupkan kembali tradisi intelektualisme dalam Islam merupakan langkah penting untuk mengantisipasi dan melawan propaganda bawah tanah HTI. Praktik formalistis-dogmatis yang rentan terhadap doktrin eksklusif harus dihadapi dengan pemahaman yang mendalam dan kontekstual terhadap ajaran Islam. Ulama dan intelektual Muslim harus berperan aktif dalam memberikan kontra narasi yang berbasis pada tradisi intelektualisme Islam. Selain itu, pendidikan agama yang inklusif dan moderat perlu diperkuat untuk membangun umat yang lebih kritis dan tahan terhadap propaganda radikal.

Dalam menghadapi tantangan ini, mari kita kembali menghidupkan tradisi intelektualisme dalam Islam yang telah lama menjadi sumber kekuatan dan kemajuan umat. Dengan demikian, kita dapat menjaga kedamaian dan kerukunan umat beragama, serta mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin.

This post was last modified on 19 Juni 2025 8:11 AM

Rosita A. Najati

Recent Posts

Membentuk Gen Z yang Tidak Hanya Cerdas dan Kritis, Tetapi Juga Cinta Perdamaian

Fenomena beberapa bulan terakhir menunjukkan betapa Gen Z memiliki energi sosial yang luar biasa. Di…

20 jam ago

Dilema Aktivisme Gen-Z; Antara Empati Ketidakadilan dan Narasi Kekerasan

Aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia di akhir Agustus lalu menginspirasi lahirnya gerakan serupa di…

20 jam ago

Menyelamatkan Gerakan Sosial Gen Z dari Eksploitasi Kaum Radikal

Gen Z, yang dikenal sebagai generasi digital native, kini menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena…

20 jam ago

Mengapa Tidak Ada Trias Politica pada Zaman Nabi?

Di tengah perdebatan tentang sistem pemerintahan yang ideal, seringkali pandangan kita tertuju pada model-model masa…

4 hari ago

Kejawen dan Demokrasi Substantif

Dalam kebudayaan Jawa, demokrasi sebagai substansi sebenarnya sudah dikenal sejak lama, bahkan sebelum istilah “demokrasi”…

4 hari ago

Rekonsiliasi dan Konsolidasi Pasca Demo; Mengeliminasi Penumpang Gelap Demokrasi

Apa yang tersisa pasca demonstrasi berujung kerusuhan di penghujung Agustus lalu? Tidak lain adalah kerugian…

4 hari ago