Entah sejak kapan, perdebatan seolah telah menjadi konsumsi sehari-hari. Dalam berbagai forum, baik digital maupun non-digital, adu argumen selalu menjadi suguhan utama. Apalagi bila topik yang dibahas menyangkut sesuatu yang cukup serius, seperti tema politik dan agama, maka pembahasan akan selalu berujung pada ‘kontes perdebatan’ yang membuat kita semakin sulit untuk memahaminya. Bahkan tidak jarang, perbedebatan kerap kali dibumbui hal-hal destruktif seperti makian, hujatan, hingga ancaman kekerasan.
Sejatinya perdebatan adalah hal yang baik, karena proses ini mengajak orang bersifat kritis dan akurat, oleh karenanya perdebatan adalah proses yang sehat. Namun dewasa ini kita kerap disuguhi perdebatan yang justru tidak sehat. Tidak sehat karena dipenuhi dengan kebencian kepada lawan debat. Sehingga yang terjadi adalah kecenderungan untuk saling menyalahkan dan mengklaim kebenaran dipihak masing-masing.
Apa sebabnya? Mungkinkah perdebatan tidak sehat itu karena para pihak yang berdebat dangkal keilmuannya? Menurut saya tidak, karena banyak sekali debat yang menggunakan sumber-sumber rujukan berkualitas, teori dan model analisa yang digunakan juga sangat cadas. Hal ini paling tidak menunjukkan bahwa mereka sebenarnya adalah orang-orang yang cerdas.
Lalu dimana yang salah? Apakah justru semakin berilmu seseorang maka akan semakin anti terhadap orang yang berbeda pendapat? Sehingga ketika ada yang berbeda pasti mereka yang salah dan sesat?
Dalam usaha mencari jawabnya. Saya teringat pengalaman kecil sewaktu di masa SMA dulu. Ketika itu bulan Ramadan. Atas perintah ayah, selama Rhamadan saya dititipkan di sebuah pesantren sederhana di salah satu desa di Banyuwangi. Kebetulan pengasuhnya adalah teman nyantri ayah dahulu. Salah seorang ustad senior di sana juga adalah anak dari saudara jauh ayah, sehingga saya tidak kesulitan untuk beradaptasi. Kang Muadin, begitu kami memanggilnya, seorang yang sangat alim dan telah menjadi orang kepercayaan pengasuh. Ia sudah tinggal belasan tahun di pesantren itu. Berbagai kitab klasik sudah ia hatamkan, berkali-kali pula. Banyak yang bertanya-tanya, kenapa dengan keilmuan yang luar biasa di bidang keagamaan seperti itu ia masih betah di pesantren kecil, di daerah terpencil pula? Padahal dengan kemampuan yang ia miliki saat ini, ia dapat dengan mudah mendapat pekerjaan yang jauh lebih mentereng di luar sana, mungkin di kota.
Pertanyaan di atas sempat pula bergelanyut di benak saya. Hingga suatu malam kang Muadin mendatangi saya, dengan sangat tenang ia bertanya, “Kamu mencari ilmu untuk apa?”. Pertanyaan ini jelas mengagetkan, saya bisa saja memberikan jawaban klise sekenanya. Namun, saya tahu bukan itu yang ia harapkan. Di saat saya masih bergulat dengan retorika di kepala, kang Muadin menjawab sendiri pertanyaannya, “Mencari ilmu itu untuk mencapai ketenangan”. Kontan saya tertegun, saya tidak pernah membayangkan bahwa jawaban dari pertanyaan itu ternyata sangat sederhana. Meski harus diakui bahwa jawaban itu belum pernah terlintas di fikiran saya.
Ketika itu saya melihat sebuah kedamaian, ketenangan dari seorang yang berilmu. Saya langsung paham apa yang ia maksud. Mungkin itu pula alasan kenapa ia memilih untuk tetap tinggal di pesantren, karena di situ ia menemukan ketenangan.
Mari kita kembali ke persoalan orang-orang cerdas namun kerap terperosok dalam perdebatan tanpa batas seperti yang saya singgung di atas. Mungkinkah orang-orang cerdas itu lupa bahwa ilmu ditujukan untuk mencapai ketenangan, bukan ketegangan? Atau mungkinkah mereka lalai untuk menggunakan ilmu hanya sebagai cara memuaskan nafsu? Karena sejatinya ilmu adalah cahaya. Ia menerangi jalan kita. Menenangkan langkah kita. Membuat semuanya menjadi jelas. Ilmu seharusnya tidak dipakai hanya umtuk menjustifikasi siapa yang salah dan yang siapa yang benar. Ilmu terlalu mulia bila hanya digunakan untuk saling menyalahkan.
Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…
Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…
Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…
Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…
Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…
Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…
View Comments
Kebijaksanaan itu akan diperoleh jika kita tidak mempergunakan ilmu sebagai alat pengukur ilmu. Sejatinya ilmu digunakan sebagai alat yang memudahkan kita dalam menapaki ruas-ruas jalan kehidupan, bukan sebagai pengukur kehidupan. Sekali lagi bukan sebagai pengukurnya.
Sependapat pak, mari bersama amalkan ilmu yang bermanfaat bagi masa depan kita yang lebih baik
It is unlikely a sagave living 1400 ago would know universe is continously expanding (51:47), life is created from water (21:30), heaven and earth was joined together and was separated by great force (21:30), life began from hydrated inorganic matter (32:7), everything is made in pairs matter and antimatter (51:49), fire burns because of oxygen produced from green leaf (36:80), atmosphere reflects (86:11), there are submerged waves inside ocean (24:40) and 200+ other scientific discoveries that we have only discovered in 20th century.So, it is best if you get some understanding about what you are talking about and we can discuss about facts when you are properly trained.