Narasi

Kebangkitan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, dan Kejawen

Nasionalisme, sejauh ini, selalu saja dihadapkan pada agama sebagaimana dua entitas yang sama sekali berbeda dan bahkan bertentangan. Sekali pun terjadi penggabungan, seperti halnya pada ideologi nasionalisme-religius, masih saja terdapat pengandaian dasar bahwa nasionalisme atau agama adalah dua entitas yang serba berkekurangan dan hanya akan lengkap ketika mereka digabungkan, seakan-akan pada kebangsaan sama sekali tak ada nilai-nilai yang dapat dianggap agamis atau pada agama sama sekali tak ada nilai-nilai yang dapat dianggap nasionalistis (Gula Klapa Nuswantara, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Sejarah nasionalisme Indonesia adalah sepenggal sejarah yang cukup menarik ketika dikuliti berbagai detail dalam prosesnya. Taruhlah Ki Hadjar Dewantara yang ditetapkan sebagai bapak pendidikan Indonesia sekaligus salah satu tokoh kebangkitan nasional.

Beberapa tahun belakangan ini ternyata statusnya sebagai bapak pendidikan Indonesia tengah digoyahkan oleh segolongan kaum Muhammadiyah. Bagi segolongan orang ini, dengan mengutip Buya Hamka, Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa yang didirikannya adalah sekumpulan kaum abangan yang pernah menistakan agama Islam ala mereka (Siapa Layak Jadi Panutan: Ki Hadjar atau KH Achmad Dahlan?, https://hidayatullah.com).

Celakanya, seusai menyerang Ki Hadjar Dewantara, segolongan kaum Muhammadiyah itu kemudian mengajukan Kyai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah yang konon lebih laik untuk menjadi panutan daripada Ki Hadjar Dewantara yang lebih menampilkan diri sebagai seorang kejawen atau penganut kebatinan yang kebarat-baratan.

Ki Hadjar Dewantara sendiri, dalam salah satu pidatonya, memang menempatkan apa yang disebutnya sebagai “rasa kebangsaan” adalah erat kaitannya dengan “rasa diri.” Tentu, orang yang sama sekali tak memahami Islam dari perspektif tasawuf akan salah dalam memahami atau menilai berbagai pandangan yang berlatarbelakang kebudayaan Jawa seperti itu.

Bagi saya, sesat berpikir kebanyakan “kaum agamis” adalah meletakkan kejawen, atau kearifan-kearifan lokal lainnya, sebagai tandingan daripada Islam. Dan hal ini jelas saja tak akan pernah tanding ataupun nyambung. Mestinya, ketika orang menginginkan cara berpikir yang konstruktif-produktif, perbandingan Islam bukanlah dengan kejawen, namun dengan Kristen, Katolik, Hindu ataupun Buddha. Sebab, banyak kita jumpai berbagai varian dari agama yang berkaitan erat dengan kebudayaan di mana mereka hidup dan berkembang: Islam-Jawa, Kristen-Jawa, Hindu-Jawa, dsb.

Maka, pada aras itulah penggoyahan status Ki Hadjar Dewantara di negara ini yang berlaku secara tak adil sama sekali tak akan berpengaruh pada kebesaran dirinya. Di hari ini tentu saja sebagian besar orang Indonesia tak akan pernah peduli apakah Ki Hadjar Dewantara pergi ke masjid atau tidak. Singkatnya, ia seorang muslim atau bukan. Ranah privat yang ia hidupi tentu saja jauh lebih kecil daripada sumbangsihnya pada bangsa ini.

Namun sebenarnya, ketika kita hendak menilai ajaran dan kiprah hidup Ki Hadjar Dewantara dari perspektif Islam, ia jelas adalah seorang yang sudah lepas dari pemahaman harfiah yang cenderung mengkotak-kotakkan—bukankah salah satu kawan diskusinya di “Gerombolan Selasa Kliwon” adalah Ki Ageng Suryamentaram, seorang yang konon mencita-citakan kebangkitan sesosok pribadi tanpa ciri, “Aku sejati,” yang tahu ketika akunya (diri kramadangsa) tenggelam dan terseret arus Kali Opak?

Tentu, tak banyak yang paham bahwa istilah “kebangkitan” dalam ungkapan “Kebangkitan Nasional” tak sekedar soal bangkit dari penjajahan. Ia juga memiliki makna kebudayaan yang lebih tinggi, yang dalam kebudayaan Jawa disebut sebagai “jumeneng.” Dan tahap inilah yang oleh para sufi dikenal sebagai tahapan dimana seseorang sudah paham akan segala pertanyaan yang bersifat eksistensial yang sebenarnya hanya bermuara pada satu kenyataan: “al-Insanu sirri wa Ana sirruhu.” Dan karena kenyataan inilah kenapa Ki Hadjar Dewantara terkesan lebih mengutamakan azas kemanusiaan (humanisme) daripada azas-azas kehidupan lainnya, yang jelas-jelas bukanlah sebentuk pandangan yang sekularistik.

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Membangun Sinergi Gerakan Nasional dan Pembaruan Keagamaan

Kebangkitan Nasional pada awal abad ke-20 bukan sekadar momentum politis untuk meraih kemerdekaan. Lebih dari…

8 jam ago

Cahaya dari Madinah: Pendidikan dan Moderasi sebagai Denyut Nadi Peradaban

Pada suatu masa, lebih dari empat belas abad silam, Yatsrib, sebuah oasis di tengah gurun…

8 jam ago

Refleksi Harkitnas; Redefinisi Kebangkitan Islam di Tengah Fenomena Banalitas Keagamaan

Salah satu fenomena menarik dalam lanskap keberagaman Indonesia pasca Reformasi adalah perubahan perilaku beragama di…

1 hari ago

Cobalah Kritis pada Diri, Ketika Agama Semata-mata Menjadi Ornamen Pribadi

"Satu ons praktik lebih berharga daripada berton-ton khotbah," demikian pernah diungkapkan oleh Mahatma Gandhi. Kutipan…

1 hari ago

Perusakan Makam Kristen di Bantul, Normalisasi Kebencian yang Terlembaga?

Sebuah insiden yang diduga bakal menambah daftar panjang intoleransi terjadi lagi belum lama ini. Sebanyak…

1 hari ago

Hikayat Akhir Zaman; Bedah Narasi Eskatologis Kelompok Radikal Teroris: Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 3 Mei 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

2 hari ago